Harian Joglosemar, Senin, 08/11/2010
Benni Setiawan
Penulis buku,
tinggal di Sukoharjo
Memperoleh gelar kesarjanaan bagi seseorang merupakan kebanggaan yang tak ternilai harganya. Dengan gelar ini mereka dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Dengan gelar ini pula, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan dapat naik pangkat dan jabatan. Tanpa harus menunggu empat tahun, ia dapat menduduki pangkat dan jabatan penting di pemerintahan. Dengan kenaikan pangkat dan jabatan maka pundi-pundi uang pun akan bertambah. Mereka dapat hidup sejahtera dengan gaji yang hampir setiap tahun naik.
Kecukupan sandang, pangan, dan papan ini akan mengantarkan seseorang dalam posisi yang mulia di tengah masyarakat. Masyarakat (terutama ekonomi lemah) akan hormat dan patuh terhadap mereka. Seorang dengan gelar berjejer akan dengan mudah menduduki strata sosial yang tinggi di masyarakat, apalagi dia adalah seorang PNS (abdi negara).
Karena dorongan inilah sering kali seseorang menghalalkan segala cara guna mendapatkan sebuah gelar kesarjanaan. Cara-cara pintas pun dilakukan. Seperti membeli kepada pembuat jasa ijazah palsu yang semakin menyemut di tengah riuhnya kota. Dengan uang Rp 25 juta hingga Rp 50 juta, seseorang sudah dapat menyandingkan gelar di belakang nama mereka, tanpa harus kuliah.
Uang sebanyak itu tidak menjadi masalah besar bagi seseorang yang gila gelar dan kedudukan. Gelar bagi mereka merupakan kunci utama dalam mempertahankan hidup dan gengsi di tengah perubahan zaman yang semakin cepat.
Paradigma ini tak ubahnya saat masa kolonialisme dulu. Seseorang yang mempunyai gelar kebangsawanan akan dengan mudah mengakses ruang publik. Dengan gelar ini mereka dapat sekolah, menjadi abdi dalem, dan bergaul dengan masyarakat non-pribumi.
Tampaknya paradigma ini masih melekat kuat dalam budaya masyarakat Indonesia. Bahkan dalam sistem ketenagakerjaan. Ia lebih bernafsu menjadi pegawai negeri sipil (PNS) daripada entrepreneurship (pengusaha). Menjadi PNS dalam pandangan masyarakat lebih mulia daripada yang lain. Karena mereka menduduki strata sosial non-pribumi. Maka tidak aneh jika di masa pendaftaran CPNS sebagaimana bulan ini, banyak generasi muda (fresh graduate) berlomba menjadi abdi negara.
Padahal dalam masyarakat kolonial (baca: feodal), PNS merupakan sebuah pekerjaan yang melayani hajat hidup penjajah. Mereka diangkat oleh penjajah untuk melanggengkan misi menguras sumber daya alam dan manusia bumi Nusantara. Seorang PNS tidak dapat mengatakan tidak kepada majikannya (penjajah, sekarang pemerintah), hatta itu pilihan politik. Mereka akan manut, tunduk takluk terhadap kemauan sang penguasa.
Harus Diakhiri
Mentalitas ini sudah saatnya diakhiri. Kita sudah merdeka 65 tahun. Ironis memang! Di tengah zaman global seperti ini masih ada orang yang berpikiran dan bermental feodal.
Kemudian apa yang dapat dilakukan guna mengakhiri periodeisasi feodalis ini? Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pertama, kesadaran perguruan tinggi (PT) untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Salah satu aturan wajib bagi sebuah PT adalah mengajukan akreditasi program studi (prodi) atau jurusan kepada direktorat perguruan tinggi (Dikti) setiap empat tahun sekali. Hanya (prodi) yang memenuhi kualifikasi saja yang boleh menyelenggarakan pendidikan. Dengan ini pula perkembangan prodi dapat terpantau dan meminimalisir terjadi pelanggaran seperti pembuatan ijazah palsu.
Namun, program akreditasi ini bukan ajang untuk membantai Perguruan Tinggi Swasta (PTS), sebagaimana terjadi baru-baru ini. Akreditasi merupakan wahana koreksi antara institusi pendidikan tinggi dengan pemerintah. Ketika banyak PTS bangkrut karena ketidakmampuan membiayai operasional disebabkan sedikitnya jumlah mahasiswa, maka kewajiban pemerintah untuk membantu. Inilah kewajiban pemerintah sebagai pengayom masyarakat. Pendek kata, akreditasi merupakan hubungan simbiosis mutualisme antara penyelenggaraan PT dengan pemerintah.
Kedua, kepedulian media massa. Artinya, banyak penyelenggara pendidikan palsu sengaja mengiklankan produknya di media massa. Iklan yang tidak mendidik ini perlu ditolak. Hal ini karena media massa sebagai salah satu pilar demokrasi tentunya tidak mau disebut “calo” atau “broker” ijazah palsu karena menerima “iklan bodong”. Pemikiran pragmatis mendapatkan pemasukan besar dari iklan tentunya tidak boleh mengabaikan etika dan hajat hidup orang banyak.
Ketiga, memaksimalkan peran serta kopertis/kopertais (koordinator perguruan tinggi agama Islam) di setiap wilayah. Jaringan pemalsu ijazah dapat diputus jika peran kopertis/kopertais bekerja secara maksimal. Pekerjaan kopertis/kopertais bukan hanya tukang stempel kenaikan pangkat dosen. Kopertis/kopertais bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan yang memadai dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di bawah koordinasinya.
Jika kopertis/kopertais mampu memaksimalkan perannya dalam membina sebuah PT, maka sulit bagi jaringan pemalsu ijazah beroperasi dengan leluasa. Lebih dari itu, kopertis/kopertais tidak menjadi “macan ompong” yang tidak mempunyai kuasa dan kewenangan menindak sebuah PT nakal.
Keempat, keberanian pemerintah pusat dan daerah untuk memberhentikan pegawainya secara tidak hormat. Pegawai dengan ijazah palsu selain merusak citra pemerintah juga hanya akan menjadi problem bagi terselenggaranya pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Pegawai dengan ijazah palsu hanya ingin mengeruk kekayaan negara demi kepentingan pribadi. Mereka pasti tidak akan mampu bekerja maksimal, karena dalam benak dan niatnya hanya ingin mendapatkan penghidupan yang layak tanpa harus bekerja keras.
Pada akhirnya, gelar kesarjanaan ternyata masih menjadi barang mahal di tengah era globalisasi. Globalisasi dan modernisasi ternyata belum mampu menggerus mental feodal masyarakat Indonesia. Wallahu a’lam. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar