Gagasan, Solo Pos, Senin, 27 Desember 2010 , Hal.4
Catatan akhir tahun keberagamaan Indonesia tahun 2010 dinilai kelam oleh beberapa lembaga. Moderate Muslim Society menilai tahun 2010 sebagai tahun kelam kebebasan beragama di Indonesia.
Sepanjang tahun 2010, setidaknya terjadi 81 kasus intoleransi. Yaitu pengusiran dua kasus, pembubaran kegiatan atas nama agama tiga kasus, diskriminasi karena keyakinan empat kasus, penyerangan dan perusakan 24 kasus, ancaman, tuntutan dan intimidasi 15 kasus, kriminalisasi paham keagamaan tiga kasus, penutupan dan penolakan rumah ibadah 24 kasus dan penghalangan kegiatan beribadah enam kasus.
Pantauan The Wahid Institute sepanjang tahun 2010 menemukan 63 kasus pelanggaran kebebasan beragama. Ironisnya, pelaku pelanggaran kebebasan beragama paling banyak justru pemerintah daerah dan kepolisian (72 persen). Bentuk pelanggaran yang dilakukan meliputi pembatasan dan pemaksaan untuk meninggalkan keyakinan tertentu (25 kasus atau 40 persen), pencabutan izin atau pelanggaran menggunakan rumah ibadah (19 kasus atau 30 persen), serta pembiaran tindak kekerasan oleh kelompok masyarakat terhadap umat beragama (14 kasus atau 22 persen).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana membangun harmoni kerukunan umat beragama agar tindak intoleransi dapat ditekan pada tahun mendatang?
Persaingan
Setiap terjadi konflik antarumat beragama, kita mengalami kesulitan untuk menemukan akar pokok penyebabnya. Bahkan penyebab utamanya seringkali berakar bukan pada aspek doktrin yang merupakan inti agama, melainkan pada akar serabut nonteologis, terutama pada persaingan politik dan ekonomi dari para elite pemimpinnya.
Dengan demikian, pemicu utama dari setiap konflik antaragama bukan karena perbedaan doktrin ajaran, tetapi lebih pada perebutan pengaruh politik dan ekonomi dari masing-masing pemeluknya. Celakanya, seperti dipaparkan oleh Lester Kurtz dalam Gods in the Global Village (1995), religious conflict can be extraordinarily bitter, and is aften destructive because the parties to the dispute view themselves as respresentative of supraindividual claims, of flighting not for themselves but only for a cause which can give the conflict a radicalism and mercilessness.
Lebih lanjut, Kurtz menjelaskan watak dari konflik antaragama cenderung mengabaikan kualitas kesalehan individu yang dimusuhi dan bahkan yang sering terjadi adalah baik yang memerangi maupun yang diperangi sama-sama rendah kualitas keberagamaannya.
Di sini yang menjadi garis pembeda hanyalah sebuah sikap prejudice dan sebuah kategori yang sangat artifisial dan menyesatkan, yaitu setiap orang yang dianggap “bukan kelompok kita” harus dimusnahkan. Karena konflik agama sifatnya sangat emosional dan destruktif maka emosi massa yang terlibat akan sangat mudah dikobarkan dengan cara dihasut.
Bagi pihak yang merasa dirugikan sulit untuk berdamai sebelum melakukan pembalasan setimpal, sedangkan pihak yang merasa unggul akan semakin agresif agar lawan benar-benar lumpuh, sehingga peluang pembalasan semakin menyempit.
Semangat untuk saling memusnahkan akan bertambah ketika faktor keyakinan eskatologis ikut andil, yaitu anggapan siapa yang berhasil membunuh lawan berarti pintu surga sudah menunggu. Demikian absurd dan kompleksnya pertikaian antaragama sehingga setiap konflik antaragama cenderung merusak prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia (Komaruddin Hidayat: 2006).
Konflik antaragama yang dibumbui oleh motif ekonomi dan politik hanya akan semakin memperkeruh situasi kebangsaan. Situasi kebangsaan Indonesia sudah saatnya dibangun dengan suasana tenang dan damai. Jika kedamaian dicederai dengan berbagai urusan politik (kekuasaan) dan ekonomi maka persoalan keagamaan hanya dijadikan kedok kebrutalan pihak-pihak yang tidak bertangung jawab.
Piagam Madinah
Namun demikian, intoleransi keagamaan yang terjadi di Indonesia menjadi senjakala dan sekaligus ujian umat beragama. Apa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini merupakan potret betapa kelompok minoritas masih dianggap liyan. Kelompok minoritas belum diterima dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat masih menganggap kelompok minoritas sebagai ancaman bagi kehidupan umat beragama.
Padahal kelompok minoritas wajib dilindungi sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Dalam konsepsi Islam (Piagam Madinah) misalnya, Nabi Muhammad melarang umat Islam memusuhi dan memerangi kaum kafir dhimi (kelompok minoritas Madinah kala itu). Jika mereka dimusuhi maka ia akan berhadapan langsung dengan Nabi Muhammad.
Menilik semangat Piagam Madinah dalam membangun masyarakat madani ini maka tidak ada pembedaaan antara minoritas dan mayoritas. Semua umat beragama mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Semua umat beragama sama di hadapan Tuhan, yang membedakan hanyalah kualitas keimanan dan pengabdian kepada Tuhannya.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan wajib memberikan kemudahan bagi umat beragama beribadat secara tenang tanpa tekanan. Salah satunya dengan mempermudah pendirian rumah ibadah tanpa syarat yang neka-neka dan njlimet, serta menjamin kebebasan guna melaksanakan agama sebagaimana amanat UUD 1945.
Peristiwa intoleransi tidak boleh terulang di kemudian hari. Sudah saatnya semua pihak sadar bahwa kerukunan umat beragama merupakan modal sosial bangsa Indonesia. Jika hal ini tercederai oleh kelompok-kelompok yang mengaku beragama, maka perlu dipertanyakan komitmen mereka terhadap agama yang mereka yakini.
Dan jika pemerintah membiarkan hal ini tetap terjadi maka kondisi kebangsaan Indonesia akan runtuh karena sikap pemerintah yang tidak tegas dan membiarkan masyarakatnya “berperang” atas nama agama.
- Oleh : Benni Setiawan Peneliti Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta
1 komentar:
Great Blog..!!!! Keep Blogging.... :)
Posting Komentar