Solo Pos, Selasa, 08 Februari 2011 , Hal.4
Memalukan. Di tengah perayaan Hari Kerukunan Umat Beragama yang berpusat di Jakarta, kekerasan terjadi di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten.
Tiga jemaah Ahmadiyah menjadi korban keganasan massa. Apa yang terjadi di Cikeusik Pandeglang ini semakin menegaskan bahwa keberagamaan di Indonesia belum dijamin oleh negara. Negara membiarkan warga negaranya berperang atas nama Tuhan.
Padahal menurut Locke sebagaimana diikuti Magee (2008), negara berkewajiban melindungi life and freedom (hidup dan kebebasan) warga negaranya (Tim Impuls, ed: 2010). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa negara sampai hari ini hanya bisa mengutuk dan akan mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan atas nama agama?
Regulasi
Kasus kekerasan atas nama agama yang dialami oleh jemaat Ahmadiyah tidak hanya terjadi kali ini. Sudah berulang kali. Mulai dari perusakan rumah ibadat, pengusiran, dan penganiayaan. Namun, sepertinya pemerintah masih saja duduk termangu melihat penderitaan jemaat Ahmadiyah. Pemerintah sepertinya tidak mampu berbuat banyak guna menghentikan tindak kekerasan ini.
Pemerintah lebih disibukkan oleh urusan-urusan yang dapat menaikkan citra diri dan golongan. Ujung-ujungnya adalah memperoleh dukungan masyarakat dalam pemilu. Politik pencitraan pemerintah telah melukai kerukunan hidup umat beragama di Indonesia. Bangsa plural ini menjadi bangsa yang tidak ramah terhadap kaum minoritas.
Kaum minoritas apalagi berbeda dalam hal pandangan keagamaan wajib enyah dari bumi Nusantara. Maka mereka melakukan apa saja demi “tugas mulia” tersebut. Jika cara-cara merujuk pada UU atau Surat Keputusan Bersama (SKB) tidak mampu, jalan kekerasan dianggap “halal” untuk membasmi kelompok minoritas.
Jika hal ini terus menerus dibiarkan, disintegrasi bangsa Indonesia tinggallah menunggu waktu. Bangsa Indonesia akan terkoyak oleh ulah kaum yang mengaku beriman dan bertuhan.
Negara sudah saatnya mengambil peran guna mencegah kekerasan kalau tidak mau disebut perang atas nama Tuhan. Negara wajib mencegah tindak kekerasan atas nama apapun. Dan apabila tidak dikelola dengan baik akan memunculkan benih-benih dendam yang dapat meletup kapan saja.
Guna mencegah hal tersebut negara wajib membuat sebuah regulasi. Regulasi dimaksud dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara, bukan intervensi. Regulasi itu berkaitan dengan upaya-upaya melindungi keselamatan masyarakat (public safety), ketertiban masyarakat (public order), kesehatan masyarakat (public health), etik dan moral masyarakat ( public morality) dan melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundamental rights and freedom of orders).
Untuk tujuan-tujuan tersebut, negara perlu menetapkan rambu-rambu agar setiap agama tidak mengajarkan hal-hal yang mengganggu ketertiban masyarakat dan kesehatan mereka, tidak mengajarkan kekerasan (violence) kepada siapa pun dan dengan alasan apa pun, dan tidak melakukan penghinaan terhadap pengikut agama lain (Moh Shofan: 2011).
Negara tidak boleh hanya mengutuk dan turut prihatin atas kejadian-kejadian yang menjurus pada intoleransi. Pernyataan mengutuk dan turut prihatin yang sering disampaikan oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas negara menunjukkan betapa ia tidak mampu mengelola negara dengan baik.
Etika global
Lebih lanjut, pernyataan tersebut merupakan bukti otentik bahwa pemerintah tidak mempunyai sikap dan kepekaan dalam melindungi warga negaranya. Warga minoritas dibiarkan menjadi mangsa atau sasaran empuk pihak-pihak yang mengaku ”pengawal tuhan” yang dapat menghakimi orang lain atas dasar keyakinan mayoritas. Pemerintah telah abai terhadap kewajibannya melindungi seluruh tumpah darah bangsa Indonesia.
Lebih dari itu, pemuka atau pimpinan umat beragama sudah saatnya menyemai etika global. Hans Kung menawarkan etika global untuk memecahkan permasalahan konflik-konflik di dunia. Semua agama dan paham kebijakan apa pun diajak menyumbangkan nilai-nilai etisnya sehingga terbentuk etika global untuk seluruh dunia, yang tidak berlatar belakang pada hanya satu agama atau paham budaya tertentu. Namun sebagai etika, ketentuan-ketentuannya tidaklah mengikat dan memaksa seperti halnya hukum internasional, melainkan tawaran yang mengajak untuk memperbarui bareng dunia ini.
Etika global bisa dianggap sebagai etika pergaulan umum, termasuk pergaulan antaragama (religious ethics) yang berbeda-beda. Etika ini berbeda dari etika dari suatu agama (ethics of a religion), yang berlalu secara khusus dalam masing-masing dan setiap agama (A Sudiarja, dalam Mencungkil Sumbatan Toleransi, 2010).
Pada akhirnya, kekerasan atas nama agama dan Tuhan yang berujung pada kematian manusia merdeka merupakan potret buram kerukunan hidup umat beragama. Hal ini juga menunjukkan betapa lemahnya negara melindungi hajat hidup dan kebebasan warga negaranya. Wallahualam. - Oleh : Benni Setiawan Peneliti, alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta