Search

Selasa, 30 Juli 2013

Pemimpin Harus Mampu Memberi Inspirasi

Oleh Benni Setiawan


30 Juli 2013 | Bali Post, Opini

Hannah Arendt (1906-1975), filsuf Jerman keturunan Yahudi, warga negara Amerika Serikat, mengingatkan praktik demokrasi liberal menyisakan masalah. Salah satunya adalah menempatkan kekuasaan bukan sebagai ruang artikulasi kebebasan warga, melainkan sebagai ruang birokratisasi dan administrasi segi-segi kehidupan. Arendt pun menyebut demokrasi modern, lebih menonjolkan prosedur, struktur, dan sistem; bukan subjek politik yang autentik. Demikian pula prasangka-prasangka telah mendegradasi politik sebagai medium dominasi, bukan medium pembebasan (Agus Sudibyo, 2012).

Apa yang diretas Arendt tersebut seakan mewujud dalam sistem demokrasi di Nusantara. Kita secara gamblang melihat banyak kepala daerah terseret masalah korupsi. Tidak jarang mereka harus bermalam di hotel prodeo dalam beberapa tahun. Namun, wajah demokrasi Indonesia tidak sebopeng itu. Masih ada kepala daerah (bupati, wali kota, gubernur) melakukan upaya ''menghidupkan'' demokrasi autentik. Demokrasi autentik adalah upaya seseorang atau sekelompok orang menggerakkan politik memiliki makna kebebasan, penghargaan terhadap keberagamaan, dan solidaritas antarwarga masyarakat.

Mereka mempunyai keunikan dalam membangun daerah. Berbekal potensi diri dan lingkungan mereka tampil menyapa masyarakat. Mereka menggerakkan seluruh potensi masyarakat dan sumber daya alam guna kemakmuran bersama.



Kemanusiaan

Mengubah wajah birokrasi yang rumit menjadi birokrasi berbasis kemanusiaan. Artinya, birokrasi selayaknya seperti menara air yang menghadirkan manfaat bagi rakyat kebanyakan. Birokrasi yang nyata hadir dan omni present menjawab permasalahan rakyat akan memantik harapan dan memupus segala antipati yang ada terhadap pemerintahan.

Seorang pemimpin selayaknya mengejawantahkan pengabdian kepada masyarakat dengan semangat pamong (pelayan, pengurus pemerintahan). Pamong pun bermakna seorang pemimpin bukanlah penguasa. Namun, dia adalah pelayan yang menyenangkan untuk rakyatnya. Manifestasi dari sikap melayani adalah program kerja pro-rakyat. Program kerja tersebut pun lahir dari keresahan masyarakat, bukan dari nafsu atau keinginan seorang pemimpin. Dengan demikian, langkah kerja seorang pemimpin tertata dan benar dibutuhkan oleh masyarakat, bukan program penuh kemunafikan (pencitraan).

Selain itu, pemimpin harus menjadi penjaga moral dan memimpin dengan etika. Tindakan korupsi dalam birokrasi bisa terjadi karena nilai-nilai etika tidak lagi dipakai. Nilai-nilai yang bersifat preventif itu sengaja dilanggar, sehingga pelaku korupsi tidak merasa malu bertindak seperti itu.

Etika itu pun telah mendorong kesadaran baru birokrasi yang humanis. Birokrasi yang mendorong aparatur pemerintah bertindak atas nama kemanusiaan, mendorong meritokrasi (penghargaan atas prestasi), dan akuntabilitas pelayanan publik.

Lebih lanjut, pemimpin selayaknya melakukan inovasi dan terobosan-terobosan dalam membangun sebuah wilayah. Melalui inovasi, sikap keterbukaan, kerendahan hati, dan gagasan membangun yang bersinergi dengan kekuatan masyarakat.



Cinta Kasih

Pemimpin pun merupakan pembelajar sejati. Belajar sepanjang hayat merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh setiap individu yang menghendaki masa depan hidupnya cerah benderah. Sekolah yang paling nyata adalah kehidupan itu sendiri yang dapat diperoleh dengan merefleksikan pengalaman.

Hal-hal tersebut menjadikan seorang pemimpin mampu menginspirasi bagi orang banyak. Inspirasi yang melecut semangat bagi orang banyak dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan tantangan ini. Melalui hal itu, pemimpin pun selalu memotivasi rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan kemalasan dan kebodohan. Hingga akhirnya rakyat perlahan bangkit menatap masa depan cerah.

Keberhasilan ini tak lepas dari sentuhan cinta kasih tanpa batas. Ia senantiasa menyapa warga dan memompa semangat untuk bangkit. Sentuhan tanpa menggurui berbekal pengalaman hidup inilah yang kemudian mengantarkan menjadi pemimpin masyarakat. Pemimpin yang melayani dengan keserhanaan dan cinta.

Kemajuan dan kemunduran daerah mau tidak mau bergantung pada visi, misi, dan strategi seorang pemimpinnya. Jika yang dimiliki suatu daerah adalah pemimpin yang visioner, maka harapan untuk mengejar kemajuan akan lebih mudah tercapai. Karena hanya dengan pemimpin yang visionerlah daerah mampu merumuskan visi yang jelas, rasional, dan berorientasi ke masa depan sehingga bisa mengantisipasi dan mentransformasikan tuntutan zaman serta mampu mengarahkan daerahnya untuk mencapai tujuan.

Seakan menjawab kritik Arendt di atas, pemimpin daerah harus gagah berani melawan arus demokrasi liberal yang tak tentu arah. Mereka membuka ruang publik masyarakat untuk berkontribusi terhadap pembanguan daerah. Mereka juga membuka diri terhadap partisipasi publik dalam membangun relasi kuasa yang berperikemanusiaan.

Medium pembebasan politik ala Arendt pun mewujud melalui gerak tanggap kepala daerah membangun sistem berkeadaban. Salah satunya melalui penciptaan sistem birokrasi yang melayani serta membuka artikulasi warga masyarakat.

Perwujudan sistem birokrasi berkeadaban pun muncul berbarengan dengan sinergi program kerja berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal menjadi warna yang makin menghiasai keadaban publik. Kearifan lokal pun tidak hanya menjadi bumbu penyedap namun menjadi roh dalam setiap gerak dan langkah.

Kerja keras kepala daerah memantik harapan bahwa semangat demokrasi dan politik berkeadaban masih ada di Nusantara. Berbekal potensi diri dan bersinergi dengan kekuatan alam dan kesadaran masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar