Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Minggu, 23 Agustus 2009
Merangsang Embrio Metafisika
Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 23 Augustus 2009
Tema metafisika menurut Aristoteles ialah ”kenyataan sebagai kenyataan”.Metafisika terfokus kepadait isjustru karena it is.Hal yang berlaku juga untuk it is karena it is berlaku untuk all what is. It is ialah seluas segala kenyataan.
Pertanyaan khas metafisika terarah kepada it is,that it is dan why it is.Metafisika dalam arti yang khas lebih tepat disebut ontologia. Karena ontologi,menurut Aristoteles, terarah kepada to on hei on (on berarti keadaan, logos berarti paham) atau dalam bahasa Latin disebut ens in quantum ens, maka terarah kepada ”pengada sekadar pengada”,yaitu suatu usaha untuk memahami ”kenyataan sekadar kenyataan”. Metafisika dalam arti ontologia menuju metaphysical insight.
Dalam it is disentuh all what is. Luasnya tidak terbatas (paling ekstensif) dan paham terarah kepada ”akarnya” sehingga merupakan yang paling dasariah (hlm 30- 31). Maka, metafisika membahas ”seluas segala kenyataan”. Metafisika yang dirumuskan Aristoteles ini sering disebut dengan metafisika pertama.Rumusan kesatuan dan kebanyakan ala Aristoteles ini juga menimbulkan masalah pokok yang tetap aktual sampai sekarang.Rumusan metafisika Aristoteles berhadapan dengan ”realisme dan idealisme” ala Immanuel Kant.
Masalah bagi realisme dan idealisme adalah manusia terkurung dalam pengetahuan (imanensi) atau manusia terbuka untuk membiarkan kenyataan untuk menyatakan dirinya (transendensi). Batu ujian bagi kebenaran dalam metafisika realisme adalah kenyataan yang menyatakan diri (evidential objectiva). Menurut Kant, yang datang dari luar melalui impressions yang menyentuh indera (sependapat dengan Hume).
Untuk membela sifat umum dan perlu, maka keputusan science (kontra Hume) memerlukan struktur apriori dalam akal. Struktur apriori dalam akal merupakan kondisi apriori dan dasar bagi sifat umum dan perlu atas keputusan science. Dasar sifat umum dan perlu bukanlah kenyataan (metaphysics of objectivity), melainkan merupakan struktur apriori dalam akal manusia (metaphysics of subjectivity).
Budi manusia bersifat mengonstruksikan impressions yang datang dari luar dan menyembunyikan kenyataan. Budi bukan lumen (cahaya) yang olehnya kenyataan menjadi nyata dan menyatakan diri.Akal manusia dalam idealisme ekstrem bersifat menciptakan (idealisme radikal). Budi manusia menurut Kant bersifat mengonstruksikan impressions (idealisme filsafat kritisisme Kant). Maksud Kant mengenai struktur apriori diterangkan dengan contoh kacamata yang berwarna biru. Bayangkan semua manusia lahir dengan kacamata berwarna biru.
Manusia tidak mengetahui keberadaan kacamata itu.Manusia melihat semua kenyataan berwarna biru. Dasarnya bukan kenyataan, melainkan kacamata yang berwarna biru. Untuk memastikan hal itu, kita harus memanggil seseorang yang tidak memakai kacamata tersebut dan ternyata orang itu tidak ada. Kacamata yang berwarna biru bersifat transendental dalam arti superindividual dan kodrati. Dalam contoh ini, kacamata berwarna biru terdapat pada manusia sejak lahir.
Akhirnya,manusia tak pernah mengetahui apakah kenyataan itu berwarna biru atau hanya dilihat berwarna biru karena memakai kacamata berwarna biru. Contoh ini ingin mengatakan bahwa kacamata merupakan struktur apriori dalam akal, maka bersifat transendental dan kodrati (hlm 101-102). Masalah lain bagi idealisme atau realisme sebenarnya terletak pada ”titik awal”.Titik awal dari kritisisme Kant adalah dualisme. Pengetahuan dan kenyataan dari awal terpisah.Manusia terkurang pada pengetahuan yang terpisah dari kenyataan. Inilah titik dari transcendental idealism(Kant).
Dalam transcendental thomism, dari awal pengetahuan dan kenyataan merupakan suatu kesatuan. Kondisi apriori dari segala kegiatan manusiawi merupakan prapengetahuan yang seluas kenyataan. Inilah titik tolak dari transcendental realisme. Prapengetahuan ”seluas segala kenyataan” berarti bahwa dari awal, pengetahuan dan kenyataan tidak terpisah. Manusia terbuka tanpa batas. Prapengetahuan yang seluas segala kenyataan mendahului proses eksplisitasi yang terbatas.
Eksplisitasi tidak terkurung dalam pengetahuan, tetapi sungguh mengeksplisitasi kenyataan. Inilah metafisika realisme tradisi Aristoteles-Thomas yang kontra dengan metafisika idealisme Kant. Eksplisitasi merupakan eksplisitasi terbatas atas prapengetahuan yang tak terbatas. Inilah paradoks pengetahuan manusiawi, terbatas dan tidak terbatas serta ilahi dan manusiawi. Paradoks ini menjadi dasar bagi dinamika. Eksplisitasi tidak terkurung dalam pengetahuan. Eksplisitasi bersifat relatif dan terbatas namun benar kalau sesuai dengan kenyataan yang dari awal luasnya secara implisit identik dengan luas pengetahuan.
Prapengetahun menjadi dasar untuk menilai apakah eksplisitasi benar atau tidak.Dasar metafisika realisme adalah kehadiran prapengetahuan yang dari awal seluas kenyataan (hlm 150-151). Buku Seluas Segala Kenyataan ini merupakan kelanjutan dari karya Manusia, Paradoks dan Seruan (2004),Manusia dan Kebenaran (2006). Ini trilogi dari peraih gelar doktor dari Perguruan Tinggi Propaganda Fide,Roma,tahun 1957.
Sebagaimana dua buku sebelumnya, buku yang ditulis dosen Fakultas Filsafat Agama,Universitas Katolik St Thomas, Medan, (1986- 1999) ini agak sulit dimengerti bagi mereka yang tidak terbiasa dengan bacaan filsafat.Apalagi dua buku sebelumnya terlewatkan.Namun, sebagai sebuah trilogi, buku ini menawarkan sebuah kajian akademis yang mendalam.Dengan kesabaran dan ketekunan kita akan dibawa menyelami kajian filsafat yang memesona dan mencerahkan.
Lebih dari itu, buku ini bertujuan merangsang pembaca supaya mulai bermetafisika. Di zaman sekarang saintisme telah mendewa-dewakan salah satu cara untuk memperoleh paham, scientifical insight. Padahal manusia bersifat multidimensional dan paham itu pun multidimensional. Scientifical insight, philosophical insight, dan metaphysical insight masing-masing otentik. Berfilsafat dan bermetafisika merupakan kegiatan manusiawi yang asli.
Pentinglah menyentuh dan merangsang embrio metafisika yang hadir sejak awal. Embrio ini perludirangsanguntukdapatselalu dinamis menuju kedewasaan.(*)
Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga,Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar