Search

Senin, 19 Oktober 2009

Membangun Kerja Intelektual Dosen



Kampus, Suara Merdeka, Sabtu, 17 Oktober 2009

Tiga tugas utama dosen sesuai dengan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat. Ketiganya harus dilakukan secara proporsional. Artinya, harus dikerjakan secara beriringan tanpa memprioritaskan satu tugas dan mengesampingkan tugas yang lain.

SELAMA ini, masih ada —kalau tidak mau disebut banyak— dosen yang hanya ’’hobi’’ mengajar daripada dua tugas pokok lainnya: meneliti dan melakukan pengabdian kepada masyarakat.

Hal ini makin dikuatkan oleh amanat Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) yang menyatakan, setiap dosen yang ingin mendapatkan sertifikat dan tunjangan profesi diwajibkan memenuhi persyaratan ekuivalen waktu mengajar penuh (EWMP), sebanyak 12 satuan kredit semester (SKS).

Banyaknya waktu untuk mengajar ini sudah saatnya dijadikan pemacu untuk terus berkarya. Artinya, waktu mengajar yang banyak bukan menjadi alasan untuk tidak melakukan tugas pokok yang lainnya.

Mengajar memang pekerjaan mulia. Namun, dosen yang baik bukan hanya mengajar dan memenuhi target mengajar. Mengajar juga butuh inovasi, antara lain update data.
Masih banyak dosen yang menggunakan sistem pembelajaran atau buku acuan tempo doeloe.

Bahkan masih ada yang mengajar berbekal satu buku yang sudah lusuh. Ironisnya, itulah satu-satunya buku pegangan yang diajarkan kepada mahasiswanya sejak ia menjadi dosen.

Dosen yang baik adalah seseorang yang mau dan terus belajar, baik dari mahasiswanya, teman sesama dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat.

Dengan pergaulan yang luas, seorang dosen akan mampu menggairahkan semangat belajar mahasiswa. Hal ini karena dosen mampu bercerita banyak dan selalu baru dalam menyampaikan pandangan ataupun bahasan.
Kerja Intelektual Pendek kata, seorang dosen harus mempunyai cakrawala luas agar apa yang disampaikannya selalu mengundang decak kagum dan menggairahkan semangat belajar mahasiswa. Kemudian, bagaimana agar dosen mampu memesona mahasiswa?

Pertama, dosen harus terus membaca, diskusi, dan menulis (melakukan penelitian). Ketiga hal ini merupakan kamus wajib bagi seorang intelektual.

Seorang intelektual adalah seorang yang selalu gelisah. Ia terus-menerus mempertanyakan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dari kegelisahan ini ia akan mencari jawaban yang tepat dan bijak.

Jawaban tersebut adalah hasil dari permenungan yang mendalam, didasarkan pada hasil bacaan, penelaahan, dan penelitian. Jawaban yang demikian dapat menjadi pedoman bagi masyarakat yang terus berjuang mempertahankan hidup di tengah cepatnya perubahan sosial.

Mentalitas dosen seperti inilah yang diharapkan oleh bangsa. Dosen tidak hanya sebagai konsumen ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi sekaligus menjadi produsennya.

Kerja intelektual sebagai produsen ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hanya mengajar di depan kelas dan mampu memesona mahasiswa dalam kelas tersebut, melainkan juga harus menjadi kebanggaan para mahasiswa yang diajarnya.

Salah satu kebanggaan mahasiswa adalah jika dosennya mampu menulis dan menelurkan gagasan besar dalam jurnal-jurnal ilmiah, media massa, dan buku.

Sebagai mahasiswa, saya merasa bangga jika orang-orang yang mengajar saya mempunyai kemampuan akademis yang memadai.

Ia mampu berbicara banyak atas ilmu yang digelutinya, menjadi rujukan orang banyak, pendapatnya dikutip media massa, dan hasil penelitiaannya menjadi proyek percontohan bagi dosen atau perguruan tinggi lain.

Tentu semua itu tidak hanya dapat dilakukan dengan mengajar. Maka dari itu, seorang dosen tidak boleh (juga) terjebak dalam tiga tembok kekuasaan: kampus, kantin, dan rumah.

Jika dosennya saja terjebak dalam tiga dinding tersebut, bagaimana dengan mahasiswanya?
Reward-Punishment Kedua, diperlukan peranserta pemerintah untuk terus mendorong agar dosen berkarya.

Program pemerintah mengirimkan dosen untuk belajar S2/S3 ke luar negeri dan dalam negeri, juga program non-gelar, sudah saatnya disambut dengan suka cita oleh dosen.

Dosen harus mau bersaing guna memeroleh beasiswa tersebut, kendati kuotanya masih timpang antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS).

Pemerintah juga perlu memberi penghargaan (reward) kepada dosen berprestasi. Pemberian penghargaan akan menjadi semangat tersendiri bagi dosen.

Selain reward, pemerintah juga perlu memberi punishment (hukuman) kepada dosen yang tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.

Ancaman dosen di-TU-kan sudah saatnya dijalankan, bukan hanya sebagai hiasan hukuman.

Dosen yang tidak melakukan penelitian selama enam bulan, atau tidak menulis untuk jurnal ilmiah menimal dua buah, patut diberi sanksi.

Sebab enam bulan adalah waktu yang cukup panjang untuk menulis dua artikel ilmiah, minimal 20 halaman spasi ganda.

Dengan demikian, kerja intelektual dosen bukan hanya mengajar memenuhi EWMP. Kerja inteletual dosen adalah mampu menjawab persoalan sosial berdasarkan hasil penelitian dan penelaahan yang mendalam. Selamat berkarya! (32)

—Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar