Search

Jumat, 08 Juli 2011

Korupsi Melumpuhkan Bangsa



Jurnal Nasional | Selasa, 5 Jul 2011

Benni Setiawan

PERSOALAN korupsi yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan publik seakan telah menjadi bom waktu yang siap menghancurkan tatanan bangsa Indonesia. Korupsi tidak lagi dikonsumsi oleh pejabat-pejabat pada level elite, melainkan telah menjadi perilaku yang sudah mendarah-daging dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Betapa tidak, korupsi berjamaah pembangunan asrama atlet untuk SEA Games misalnya telah menjelma dan menjadi bukti betapa koruptor tidak saja mengeruk aset bangsa, namun telah bersemayam dalam tubuh partai politik yang menjadi bungker pelindung.

Begitu peliknya persoalan korupsi di negeri ini, sehingga mengakibatkan bangsa ini menduduki peringkat teratas negara terkorup di Asia Tenggara. Padahal kita semua tahu bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama. Bangsa Indonesia mempunyai norma ketimuran dan aturan hukum yang kuat dan mengikat. Masyarakatnya pun sangat plural dan menghormati keragaman serta menghargai hajat hidup orang banyak.

Lebih dari itu, survei Transparency Internasional Indonesia tahun 2010 menempatkan Kota Denpasar mendapatkan skor paling tinggi (6,71), disusul Tegal (6,26), Solo (6,00), Yogyakarta dan Manokwari (5,81). Sementara Kota Cirebon dan Pekanbaru mendapatkan skor terendah (3,61), disusul Surabaya (3,94), Makassar (3,97), dan Jambi (4,13).

Kota-kota dengan skor tertinggi mengindikasikan bahwa para pelaku bisnis di sana menilai korupsi mulai menjadi hal yang kurang lazim terjadi, dan usaha pemerintah dan penegak hukum di sana dalam memberantas korupsi cukup serius. Sebaliknya, korupsi masih lazim terjadi di sektor-sektor publik, sementara pemerintah daerah dan penegak hukum kurang serius dalam pemberantasan korupsi --menurut persepsi para pelaku bisnis di kota-kota yang mendapat skor rendah.

Jalan Kebahagiaan

Ada beberapa alasan mengapa seseorang melakukan korupsi. Pertama, korupsi adalah jalan tercepat menuju kebahagian dunia. Dengan korupsi orang akan kaya dan dihormati oleh masyarakat, karena orang kaya mempunyai nilai lebih di tengah masyarakat. Sikap masyarakat yang seringkali menghormati orang kaya dan tidak memedulikan orang miskin adalah tindakan pendukung terjadinya korupsi.

Sikap "arogan" ini dipicu oleh gaya hidup glamor dan malu disebut miskin. Padahal kita sering melihat realitas di lapangan bahwa sebagian pejabat pemerintahan lebih bangga disebut miskin ketika akan datang bantuan dari pusat, sehingga mereka akan mendapatkan berapa persen bagian dari dana yang diturunkan.

Meminjam istilah Sindhunata, keadaan ini tidak ada bedanya dengan perilaku muja. Artinya, mencari kekayaan dengan cepat tanpa peduli dari mana sumber kekayaan tersebut. Lebih lanjut, perilaku muja juga tidak memedulikan keadaan orang lain dan bahkan keluarga. Pemuja makhluk halus tidak segan mengorbankan anggota keluarganya sebagai tumbal. Sebagai gantinya ia akan mendapatkan kekayaan yang melimpah dalam waktu singkat tanpa harus bekerja keras.

Kedua, korupsi sudah menjadi sistem dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, jika kita tidak korupsi, maka uang ini akan dikorup oleh orang lain. Maka, orang berlomba-lomba melakukan korupsi. Mungkin mereka menghayati sebuah ungkapan: Hari gini tidak korupsi, apa kata dunia? --sebagaimana iklan di televisi.

Munir Mulkhan pernah menyinyalir, suburnya korupsi di Indonesia karena adanya persaingan antara satu kelompok dengan kelompok lain. Jika Departemen/Kementerian A tidak dikuasai oleh kelompok Y, maka kelompok X tidak akan mendapat jatah apa-apa. Perebutan posisi dan kedudukan secara tidak sehat merupakan pemicu suburnya tindakan korupsi.

Ketiga, masyarakat acuh terhadap persoalan korupsi. Artinya, masyarakat pun sedemikian tersistem menggunakan jasa koruptor untuk memperlancar kegiatannya. Ambil contoh ketika kita melanggar lalu lintas. Kebanyakan warga masyarakat menyelesaikan kasus ini dengan sidang di tempat. Dengan cara membayar sesuai kesepakan dengan pihak terkait, maka pelaku dapat lolos.

Melumpuhkan Bangsa

Maka itu, dari sudut pandang etika, korupsi harus dicela. Ada dua alasan. Pertama, setiap rupiah yang diperoleh secara korup adalah uang curian. Setiap koruptor adalah seorang pencuri. Kedua, korupsi adalah ketidakadilan tingkat tinggi, karena terjadi dengan memanfaatkan kedudukan istimewa yang tidak dimiliki orang lain. Akibatnya, korupsi membuat orang miskin tidak bisa keluar dari kemiskinan.

Korupsi adalah salah satu kecurangan terbesar dalam kehidupan berbangsa. Karena korupsi, orang kecil tidak dapat hidup secara manusiawi. Karena biaya siluman yang membebani perindustrian kita, para buruh kita tidak dapat dibayar secara wajar. Ini bukan saja mencurangi orang kecil, tetapi juga membuat tidak berhasil usaha menciptakan lapangan kerja serta produk yang bermutu.

Itulah sisi terburuk korupsi, dan fatal. Garis jelas antara kemanusiaan yang wajar dan sikap penjahat menjadi kabur. Orang terbiasa menipu, mencuri, main curang, dan tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, korupsi melumpuhkan ketahanan moral bangsa secara keseluruhan.

Korupsi merusak karakter dan jati diri bangsa. Singkatnya, bangsa yang tidak lagi tahu apa itu kejujuran tidak akan bisa maju. Bangsa yang terdiri atas penjahat yang malas, tidak tahu apa itu kompetensi dan hanya ngiler menempuh jalan pendek (to make a quick buck) adalah bangsa yang sakit (Franz Magnis-Suseno: 2009).

Guna mencegah berjangkitnya virus korupsi di negeri ini, perhatian semua pihak sangat diperlukan. Pemerintah bersama penegak hukumnya wajib melakukan upaya nyata dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pemerintah harus tegas bahwa korupsi adalah musuh bersama dan tidak ada kata maaf bagi koruptor. Ia wajib dihukum gantung agar benih koruptor mati di tempat.

Organisasi sosial-keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU yang telah melakukan kerja sama dalam pemberantasan korupsi harus terus berusaha menyadarkan masyarakat, khususnya warganya, agar selalu hidup sederhana tanpa korupsi. Perlu ditularkan cara pandang kepada masyarakat luas bahwa kekayaan materi bukan satu-satunya kebanggaan dalam hidup, dan bukan kunci utama dalam menyelesaikan berbagai masalah. n

Peneliti, Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar