Search

Kamis, 19 Januari 2012

Membangun Teologi Lingkungan



Merapi, Kamis Pahing, 19 Januari 2012

Bencana alam sepertinya tidak pernah berhenti meluluhlantakkan bumi Indonesia. Banjir bandang dan tanah longsor kembali menerpa semesta alam Indonesia. Seperti di Bandung Jawa Barat, Wonosobo Jawa Tengah dan Pasuruan Jawa Timur. Hingga kini pun banjir masih senang menyapa masyarakat Indonesia di Serang Banten, Bojonegoro, Jawa Timur. Bahkan, awal tahun lalu wilayah DI Yogyakarta dan Solo Raya pun tak luput dari luapan air. Tidak terelakkan lagi kerugian materiil dan immaterial. Beberapa pengamat lingkungan dan pejabat menengarahi bencana alam banjr dan tanah lonsor yang ada di Indonesia dikarenakan rusaknya hutan akibat pembalakan liar (illegal logging).

Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), laju penghancuran (deforestasi) hutan di Indonesia tahun 2002-2005 merupakan yang terbesar dan terparah di dunia. Setiap tahun, menurut FAO, rata-rata 1,871 juta hektar hutan Indonesia hancur atau 2 persen dari luas hutan yang tersisa pada tahun 2005, yakni 88,495 juta hektar. Lebih lanjut, luas hutan Indonesia semakin menyusut dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990 luas hutan Indonesia 116.567.000 ha, berkurang menjadi 97.852.000 ha pada tahun 2000 dan tinggal 88.496.000 ha pada tahun 2005.

Kerusakan alam yang begitu hebat tentunya membawa dampak buruk bagi kehidupan makhluk hidup. Ekosistem alam terganggu. Alam adalah tempat dimana makhluk hidup berlindung. Dengannya makhluk bertahan hidup dan berlindung. Alam telah menyediakan berbagai kebutuhan manusia. Seperti, buah-buahan, sayuran, daging hewan dan seterusnya. Jika alam rusak, manusia tidak dapat lagi menikmati hasil alam tersebut.
Keadaan ini tentunya tidak boleh dibiarkan begitu saja. Diperlukan cara yang jitu guna mencegahnya. Pendek kata, diperlukan teologi lingkungan yang dapat menyadarkan manusia akan arti penting alam bagi kehidupannya.

Teologi lingkungan adalah upaya nyata menyadarkan manusia untuk kembali membuka teks-teks suci sebagai acuan dalam hidupnya. Teologi lingkungan juga berarti, manusia adalah bagian dari alam, dan alam telah menyediakan kebutuhan manusia dalam jumlah terbatas. Oleh karena itu, kewajiban manusia untuk melestarikannya demi kehidupan yang lebih baik.

Teologi lingkungan ini dapat diajarkan kepada peserta didik sejak dini, yaitu dimulai dari lingkungan keluarga. Orang tua mempunyai kewajiban untuk mendidik anak-anaknya agar mengerti akan eksistensi dirinya dan alam. Artinya, anak perlu dikenalkan bagaimana cara menjaga ekosistem alam. Ambil contoh, anak dikenalkan bagaimana merawat tumbuhan dan melakukan penghijaun lingkungan (menanam minimal satu pohon) di sekitar rumah. Orang tua juga dapat mengajarkan kepada anak jika menebang (mengambil) manfaat dari tumbuhan, maka kewajibannya untuk menumbuhkan yang baru sebagai persediaan di hari esok.

Setelah anak mengerti dan dididik secara langsung (praksis) oleh orang tua, maka kewajiban lembaga pendidikan (sekolah) untuk mendidiknya secara teoritis. Artinya, peserta didik diajak untuk berfikir secara logis berdasarkan teori-teori yang telah ada. Ketika, alam rusak, maka akan terjadi ketimpangan ekosistem. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya bencana alam.

Pelajaran pendidikan agama Islam (khususnya) di sekolah sudah saatnya diajarkan secara sederhana dan menyentuh substansi (persoalan masyarakat). Artinya, pelajaran agama yang selama ini bersifat hafalan dan dalil yang ndakik-ndakik sudah saatnya diarahkan kepada bagaimana peserta didik dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah dituliskan dalam al-Qur'an dan Hadis.

Ambil contoh, mengajarkan ayat-ayat tentang etika lingkungan. Peserta didik diharapkan tidak hanya hafal, melainkan dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah dihafalnya. Yaitu, dengan menghubungkan secara langsung dengan realitas sosial yang terjadi dan teori-teori yang telah dikembangkan oleh ilmuan.

Dengan demikian, mengutip pendapat, Nurcholish Madjid, kegagalan pendidikan agama disebabkan pendidikan agama Islam lebih menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formal dan hafalan, bukan pada pemaknaannya, tidak akan pernah terjadi lagi.

Teologi lingkungan pada dasarnya adalah kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial. Artinya, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, termasuk di dalamnya dengan alam. Meminjam istilah A. Sonny Keraf (2002), teologi lingkungan juga berhubungan erat dengan moral. Alam telah memberikan manfaat lebih bagi manusia, maka kewajibannya adalah melestarikan dan tidak menjadi frointer.

Manusia frointer (manusia pembuka jalan atau pendobrak) menurut Daniel D. Chiras, Environmental Science A Framework for Decision Making sebagaimana dikutip oleh Mafutucah Yusuf (2000) yaitu manusia yang berpandangan, pertama, bahwa alam adalah pemberian sumber bahan kehidupan yang tidak terbatas, dengan keyakinan bahwa "selalu akan ada sesuatu lagi". Kedua, memandang manusia sebagai makhluk hidup di luar alam bukan bagian dari alam. Dan ketiga, menganggap alam sebagai yang perlu dikuasai.

Pada akhirnya, teologi lingkungan hanya merupakan salah satu cara untuk mencegah bencana. Konsepsi ini tidak akan mampu menyelesaikan persoalan bencana alam yang pelik, tanpa adanya kesadaran dan langkah nyata manusia untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam.

Benni Setiawan, Peneliti, Pemerhati Masalah Sosial.

3 komentar:

Unknown mengatakan...

nice share. nice post. semoga bermanfaat bagi

kita semua :)
keep update!
mobil baru

harga daihatsu xenia 2014 mengatakan...

Jangan berhenti untuk terus berkarya, semoga kesuksesan senantiasa menyertai kita semua.
keep update!Harga Daihatsu Xenia 2014

Raisa mengatakan...


terima kasih atas informasinya..
semoga dapat bermanfaat bagi kita semua :) Raisa

Posting Komentar