Search

Selasa, 19 Maret 2013

Paus Baru dan Dialog Antaragama

Oleh Benni Setiawan


Opini, Koran Jakarta, Senin, 18 Maret 2013

Setelah melewati masa konklaf selama dua hari dan hanya lima putaran pemungutan suara, akhirnya Kardinal Jorge Mario Borgoglio SJ terpilih menggantikan Paus Benediktus XVI. Dia adalah Kardinal Argentina yang lahir pada 17 Desember 1936. Dia merupakan Uskup Agung Buenos Aires, Argentina, untuk periode 1998 sampai 2012, dan kini menjadi Paus ke-266. Dia dikenal sebagai sosok konservatif.

Beberapa pandangannya mencakup penentangan atas praktik aborsi dan homoseksualitas. Meski menyatakan menghormati gay dan lesbian sebagai individu, Paus menentang keras undang-undang yang dirilis pada 2010 di Argentina karena melegalkan perkawinan sesama jenis. Sebaliknya, Paus yang menggunakan nama Fransiskus ini juga dikenal sebagai sosok yang sangat memiliki kepedulian sosial, termasuk mengkritisi masalah perbedaan kelas sosial kaya dan miskin.

Menilik kepribadian Paus Fransiskus yang agung ini, tidak salah jika dunia menyambutnya dengan suka cita. Masyarakat dunia mengharapkan dia terus berkarya dalam bidang kemanusiaan. Salah satunya dengan semakin mengintensifkan dialog antaragama yang pernah diretas Paus Paulus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI.

Pengembangan dialog ini menjadi penting, khususnya di Indonesia, karena angka intoleransi cukup tinggi. Human Right Watch (HRW), lembaga internasional pemerhati hak asasi manusia, menuding Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono lembek menghadapi gerombolan militan antipluralisme.

Riset terbaru yang dirilis HRW di Jakarta, Kamis (28/2), mengungkap kegagalan pemerintah mengatasi gerombolan-gerombolan militan. Kelompokkelompok itu melakukan intimidasi dan serangan terhadap rumah-rumah ibadah serta anggota minoritas agama. Temuan HRW menyebut gerombolan militan ini makin lama makin agresif. Sasaran mereka termasuk Ahmadiyah, Kristen, dan muslim Syiah.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa dialog antaragama perlu terus disuarakan? Lester Kurtz, dalam Gods in the Global Village (1995), menulis "Religious conflict can be extraordinarily bitter, and is aften destructive because the parties to the dispute view themselves as respresentative of supraindividual claims, of flighting not for themselves but only for a cause which can give the confl ict a radicalism and mercilessness."

Lebih lanjut, Kurtz menjelaskan watak dari konflik antaragama cenderung mengabaikan kualitas kesalehan individu yang dimusuhi, bahkan yang sering terjadi adalah baik yang memerangi maupun yang diperangi sama-sama rendah kualitas keberagamaannya. Di sini yang menjadi garis pembeda hanyalah sebuah sikap prejudice dan sebuah kategori yang sangat artifisial dan menyesatkan, yaitu setiap orang yang dianggap "bukan kelompok kita" (laisa minni) harus dimusnahkan.

Karena konflik agama sifatnya sangat emosional dan destruktif, maka emosi massa yang terlibat akan sangat mudah dikobarkan dengan cara dihasut. Yang dirugikan sulit untuk berdamai sebelum melakukan pembalasan setimpal. Sedangkan pihak yang merasa unggul akan semakin agresif agar lawan benar-benar lumpuh sehingga peluang pembalasan semakin menyempit.

Semangat untuk saling memusnahkan akan bertambah intens ketika faktor keyakinan eskatologis ikut andil, yaitu anggapan siapa yang berhasil menyingkirkan lawan berarti pintu surga sudah menunggu. Demikian absurd dan kompleksnya pertikaian antaragama sehingga setiap konfl ik cenderung merusak prinsip-prinsip keadilan dan HAM (Komaruddin Hidayat: 2006).

Kebhinekaan
Konflik antaragama yang dibumbui motif ekonomi dan politik hanya akan memperkeruh situasi kebangsaan. Situasi kebangsaan Indonesia sudah saatnya dibangun dengan suasana tenang dan damai. Jika kedamaian dicederai dengan berbagai urusan politik (kekuasaan) dan ekonomi (urusan perut dan kuasa modal), agama hanya kedok. Kondisi sosial politik yang memanas di tahun 2013 tentu cukup mengkhawatirkan jika aktor-aktor politik menggunakan sentimen agama untuk meraih keuntungan sesaat.

Geger dan gaduh politik yang dibumbui isu suku, agama, ras, dan antargolongan pun hanya semakin menjauhkan semangat kebinekaan dalam realitas hidup berbangsa. Oleh karena itu, falsafah bangsa Bhineka Tunggal Ika tampaknya perlu kembali didengungkan. Kebinekaan menjadi prasyarat mutlak dalam mewujudkan hidup damai dalam bingkai kemanusiaan yang beradab.

Tanpa ini, manusia hanya akan semakin bersifat homo homini lupus (menjadi serigala manusia lain). Kemanusiaan pun tercerabut dari akarnya sehingga manusia semakin limbung dalam menjalakan proses kebangsaan. Lebih lanjut, intoleransi keagamaan yang terjadi di Indonesia menjadi senjakala sekaligus ujian umat beragama.

Kejadian akhir-akhir ini merupakan potret betapa kelompok minoritas masih dianggap liyan. Dia belum diterima dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah. Padahal negara wajib melindungi semua. Maka, sudah seharusnya tidak ada lagi dikotomi mayor-minor. Di sinilah peran penting seorang Paus dalam dialog antaragama.

Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus II ketika berkunjung ke Polandia. Seorang mufti, pemimpin komunitas muslim di Polandia, pernah berkata, "Dengan inisiatif dialog Paus Yohanes Paulus II, kami tidak lagi merasa minoritas di Polandia. Kami minoritas hanya dalam jumlah. Tetapi kami memiliki segala hak yang sama dengan siapa pun di sini" (Armada Riyanto CM, 2013).

Olah karena itu, untuk mengurai masalah ini, dibutuhkan dialog antaragama (Islam-Kristen). Dialog pun menjadi buah pemikiran yang segar dalam perjumpaan Islam-Kristen di abad kedua puluh/ empat belas. Dalam pandangan Hugh Goddard (2013), seorang dosen senior Teologi Islam di Universitas of Notthingham, dialog bukan merupakan sesuatu yang baru.

Beberapa abad sebelumnya, kedua komunitas itu telah berselisih dan berdebat. Hanya, perkembangan terbaru pada abad kedua puluh dilanjutkan abad ke-21 melibatkan aktivitas pemikiran yang lebih maju, ditunjang kajian kritis terhadap agama, dan hasrat yang lebih besar untuk saling mendengarkan. Dialog dan saling jumpa memang menjadi agenda penting abad ini.

Tanpa dialog, perjumpaan Islam-Kristen yang sempat mesra di awal abad keenam hanya akan tinggal kenangan. Pada akhirnya, semoga terpilihnya Paus Fransiskus yang bersahaja ini mampu semakin mengeratkan harmoni Islam-Kristen. Intoleransi yang semakin tinggi di Indonesia pun akan terurai dan tidak terjadi lagi pada tahun-tahun mendatang berkat inisiatif dialog antarumat.

Dialog antaragama kali ini pun selayaknya lebih membumi agar dapat dilakukan siapa pun dan tidak hanya menjadi konsumsi elite agama. Selamat berkarya, Paus Fransiskus. Dunia mendoakanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar