oleh Benni Setiawan
Opini, Sinar Harapan, Senin, 18 Maret 2013
Mereka berkumpul bukan atas nama ke-Indonesia-an, melainkan atas nama ‘kepentingan bersama’
Tahun politik 2013 terlalu dini gaduh. Baru memasuki bulan Maret saja, iklim politik negeri sudah panas. Elite politik saling sikut dan serang. Perang urat saraf di media massa pun menjadi menu harian.
Panasnya perpolitikan Tanah Air tak lepas dari kasus rumah tangga Partai Demokrat yang menyeret Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden SBY berdiri atas nama Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat mengambil alih kewenangan. Pada saat bersamaan Anas Urbaningrum, sang ketua akhirnya ditetapkan sebagai tersangka korupsi Hambalang.
Anas melawan penetapan ini. Ia berikrar akan membuka lembaran-lembaran baru dari buku catatannya. Kini berembus kabar Anas sudah mulai membuka skandal Bank Century.
Gaduh politik di pusat ternyata merembet ke daerah. Daerah kembali memanas, salah satunya di Papua. Peristiwa tersebut seakan menjadi bukti Republik ini penuh dengan kegaduhan—kalau tidak mau disebut anarkisme. Mengapa Republik ini gaduh?
Humanisasi
Kegaduhan yang terjadi saat ini menunjukkan betapa keadaban publik sudah mulai luntur. Proses humanisasi dalam terma pembudayaan ala Driyarkara sudah semakin terpinggirkan.
Proses humanisasi adalah perjalanan tiap pelaku, aktor, subjek manusia Indonesia yang berjuang dengan cerdas, batin hening untuk mencipta struktur-struktur hidup bersama yang semakin manusiawi, berharkat hingga keragaman sebagai bangsa yang satu mengarah menuju bernegara yang demokratis dan berkepastian hukum, di mana setiap kemajemukan dihormati dengan keberlainannya, dan belajar hidup saling damai sebagai warga negara Indonesia.
Humanisasi pun bermakna kerja-kerja peradaban yang semakin mencipta kondisi hidup bersama semakin manusiawi, semakin menyejahterakan satu sama lain, karena orang-orangnya juga saling mengembangkan kemanusiaan sesama dan dirinya.
Humanisasi dari kondisi sosial manusia saling mengerkah sesamanya sebagai serigala (homo homini lupus) menuju ke kondisi hidup bersama di mana manusia memperlakukan sesamanya dan hidup bersama sebagai sahabat (homo homini socius) (Mudji Sutrisno, 2009).
Namun, proses humanisasi tersebut belum mampu berjalan sebagaimana mestinya. Manusia Indonesia masih saja menjadi serigala bagi orang lain. Saling memangsa dan menyerang pada saat sempit maupun luang.
Perilaku bengis membela kepentingan pribadi dan golongan seperti menjadi sebuah keharusan. Tidak ada rasa saling memiliki sesama. Orang lain adalah musuh. Mereka adalah ancaman. Sikap saling curiga semakin menyulut emosi.
Lebih lanjut, keadaban publik hanya ada dalam ucapan. Namun, dalam perilaku kita saling serang bahkan saling bunuh. Membunuh seperti menjadi sesuatu yang halal. Padahal pekerjaan ini tidak mencerminkan perilaku kemanusiaan. Perilaku itu tak lebih seperti hewan. Nafsu hewaniyah berdiri di atas kemanusiaan yang mulia. Sebuah potret perilaku hidup yang timpang dan salah arah.
Kegalauan Bangsa
Kondisi yang demikian justru menjadi mantra pemimpin bangsa ini. Mereka saling terkam, membunuh karakter, dan saling jegal. Aksi tipu-menipu tidak pernah luput dari keseharian mereka.
Ketika para pemimpin bangsa masih menjadi homo homini lupus maka tidak aneh jika masyarakat di akar rumput menjadi lebih beringas. Keberingasan mereka tampak dengan mudahnya disulut emosi dan melakukan aksi-aksi ala masyarakat bawah, membakar (obong) dan saling bunuh.
Hal tersebut tentunya berbeda dengan tabiat pemimpin kita. Mereka korupsi berbarengan dan saling membentengi guna menyelamatkan “aset bersama”. Kesejahteraan hanya milik penguasa tanpa pernah terdistribusi kepada masyarakat kelas bawah.
Jangan sampai teman sejawat masuk ke penjara. Pasalnya, ketika teman masuk penjara, banyak orang yang terseret. Gerbong golongan/partai politik akan tercoreng. Saling melindungi menjadi agenda wajib. Aparat penegak hukum (KPK) pun perlu dilemahkan guna memuluskan “agenda golongan” ini. Tujuannya hanya satu “menyelamatkan rumah partai”.
Menilik kondisi demikian, tidak aneh jika proses humanisasi belum bergerak menuju homo homini socius. Masyarakat Indonesia masih terkotak dalam fragmen-fragmen.
Mereka berkumpul bukan atas nama ke-Indonesia-an, melainkan atas nama “kepentingan bersama”. Ke-Indonesia-an telah usang dalam hati mereka. Bendera partai dan kelompok wajib dijaga. “Walaupun negara ambruk yang penting panji partai tetap tegak,” celetuk mereka.
Kebangsaan yang ditandai semangat Pancasila dan UUD 1945 tidak menjadi semangat hidup bersama (society). Dua nilai luhur bangsa Indonesia seakan telah tercabut dari akar budaya masyarakat. Ironisnya, nilai-nilai tersebut hanya menjadi mata pelajaran yang dihafal di bangku sekolah. Hafalan yang miskin makna dan tanpa bekas.
Maka dari itu, pawiyatan (pendidikan) sudah selayaknya mulai menyadari kondisi demikian. Jika sekolah masih berkutat dengan rutinitas dan “menjunjung tinggi” ritual pendidikan ala Barat maka kondisi kebangsaan akan semakin kronis. Pasalnya, masyarakat tidak dididik menjadi pribadi yang berkarakter (pinter dan pener).
Pada akhirnya, apa yang terjadi di pusat dan polah tingkat elite politik saat ini merupakan sebuah jawaban atas kegalauan bangsa. Bangsa tanpa panglima atau pemimpin (auto pilot). Jika kondisi ini tidak segera disadari maka kemanusiaan akan semakin terkoyak dan kebangsaan akan semakin terpinggirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar