Oleh Benni Setiawan
Gagasan, Solo Pos, Jum'at, 15 Maret 2013
Pemimpin tertinggi umat Katolik di dunia telah terpilih. Terpilihnya Paus baru dalam konklaf di Vatikan ini pun menjawab penantian umat Katolik khususnya dan penduduk dunia secara umum. Kardinal gereka Katolik Argentina, Jorge Mario Bergoglio, yang kemudian menggunakan nama Paus Fransiskus, adalah pemimpin baru umat Katolik sedunia.
Ia dikenal sebagai sosok konservatif. Beberapa pandangannya mencakup penentangan atas praktik aborsi dan homoseksualitas. Meski menyatakan menghormati gay dan lesbian sebagai individu, dia menentang keras undang-undang yang dirilis pada 2010 di Argentina yang melegalkan perkawinan sesama jenis.
Paus Fransiskus juga dikenal sebagai sosok yang sangat memiliki kepedulian sosial, termasuk mengkritik masalah perbedaan kelas sosial kaya dan miskin. Menilik kepribadian Paus kelahiran 17 Desember 1936 ini, dunia sangat berharap akan tindakan dan langkah nyatanya. Termasuk dalam hubungan dengan Islam.
Apa yang pernah dirintis Paus Benediktus XVI melalui dialog antaragama (Islam-Kristen) dapat dilanjutkan. Mengapa dialog Islam-Kristen perlu terus disuarakan? Dialog adalah duduk bersama untuk mencari titik temu tanpa harus mengedepankan egoisme pribadi, kelompok, maupun golongan. Dialog Islam-Kristen di era kekinian pada dasarnya bukanlah hal yang baru.
Dalam kajian Hugh Goddard (2013), Konsili Vatikan II menjadi penanda penting dalam perkembangan ini. Konsili ini mengubah pandangan Kristen tradisional yang eksklusif terhadap Islam dan agama-agama lainnya. Konsili itu juga mengajak umat Kristen dan kaum muslim melupakan masa lalu dan berusaha dengan tulus untuk saling memahami satu sama lain. Sebelum pernyataan Konsili pada 1964/1384 itu, seruan ini dilembagakan dengan dibentuknya Sekretariat untuk Kaum Bukan Kristen, yang pada 1989/1409 berubah nama menjadi Pontifical Council for Inter-Religious Dialogue (Lembaga Kepausan bagi Dialog Antaragama).
Kira-kira pada waktu yang sama, perubahan pandangan semacam itu pun berlangsung di kalangan Kristen non-Katolik—meskipun butuh waktu yang lebih lama untuk membentuk sebuah lembaga resmi. Lebih lanjut, Hugh menyatakan dialog dalam kerangka konferensi Islam-Kristen yang paling menarik dan lebih mutakhir adalah konferensi di Institut Teologi Agama Fakultas Teologi St Gabriel, Wina, pada 1993/1413 atas anjuran Dr Alois Mock, Menteri Luar Negeri Austria, yang menyuguhkan tema Perdamaian bagi Kemanusiaan.
Saat itu hadir 23 tokoh Kristen dan 23 tokoh Islam dari seluruh dunia. Deklarasi Wina disampaikan pada akhir konferensi dan ditujukan bukan hanya kepada umat Kristen dan kaum muslim sedunia, melainkan juga kepada para penguasa hukum dan politik.
Ajang Perseteruan
Namun, dialog pun meninggalkan sejumlah masalah. William Montgomery Watt (1996) menyatakan barangkali sebagian pemeluk Kristen merasa bahwa untuk ikut dalam dialog ini berarti menjauhkan perintah Kristus untuk mengabarkan ajaran Injil kepada setiap makhluk; dan sebagian pemeluk Islam punya perasaan sana. Sementara tiap perasaan itu adalah salah secara mendasar.
Dalam dialog, kita menyaksikan iman kita merupakan jalan untuk mengabarkan ajaran itu. Dalam beberapa kejadian ini dapat menjadi cara yang lebih efektif untuk memproklamasikan iman ketimbang metode-metode tradisional. Akibatnya orang mengatakan, “Aku pernah mendapatkan sesuatu yang bagus dan aku ingin memberi andil dialog itu kepadamu.”
Dengan kata lain, orang menunjukkan kesaksian terhadap nilai-nilai positif iman kita dan melakukan hal ini dengan baik tanpa memperbandingkan keimanan satu dengan keimanan yang lain sehingga merugikan pemeluk agama lain. Walaupun demikian, setelah kesaksian itu lahir pada jalan ini maka harus terbuka untuk para pendengar agar menanggapi kesaksian itu dalam termanya masing-masing.
Tak dapat dimungkiri bahwa dialog Kristen-Islam itu kadang-kadang menjadi ajang perseteruan. Bahkan, salah satu kumpulan dokumen mengenai dialog itu benar-benar memasukkan kata ”perseteruan”. Dan akhir-akhir ini, dialog yang digelar justru memunculkan realitas hubungan yang rapuh, seperti terlihat pada beberapa diskusi yang digelar di Roma.
Diskusi itu mengenai hubungan antara dialog dan proklamasi. Posisi Pastor Jacques Dupuis yang terlibat dalam dialog dengan agama-agama wilayah Asia selain Islam, namun pendapatnya mengenai hubungan antara Kristen dan agama-agama lain secara umum telah memicu kontroversi. Dalam bingkai komunikasi verbal, satu-satunya pilihan selain dialog adalah monolog atau kebisuan total, dan tampaknya dialog tidak dapat disingkirkan sepenuhnya (Hugh Goddard, 2013).
Pada akhirnya, semoga Paus yang memegang gelar doktor dari Jerman dan menguasai ilmu filsafat dan teologi ini semakin mengukuhkan peran keagamaan Islam-Kristen. Dua agama besar dunia ini sudah selayaknya ”akur” dalam mengemban misi keumatan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
Melalui dialog yang intensif, semoga terwujud titik temu (kalimatussawa’) Islam-Kristen. Titik temu yang dimaksud adalah pengembangan dialog yang lebih dapat dicerna oleh umat, tentu ini yang harus menjadi agenda utamanya. Selama ini dialog hanya menjadi konsumsi elite agama dan tidak pernah menyentuh akar rumput (umat). Selamat berkarya Paus Fransiskus, warga dunia memberkati Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar