Search

Jumat, 14 Juni 2013

Teologi Welas Asih untuk Semua

Oleh Benni Setiawan


"Gagasan", Solo Pos, Jum’at, 14 Juni 2013

Karen Armstrong, penulis buku kenamaan hadir di Indonesia, Jum’at-Sabtu, (14-15/06). Kehadiran Armstrong ini dalam rangka menyebarkan semangat welas asih (Compassion). Acara yang digagas Penerbit Mizan ini tentu semakin mengukuhkan peran agama dalam ranah kemanusiaan.

Charter for Compassion (Piagam Belas Kasih) bertujuan mengembalikan belas kasih (welas asih) sebagai inti kehidupan religius dan moral. Prinsip belas kasih yang bersemayam di dalam jantung seluruh agama, etika, tradisi spiritual, mengimbau kita untuk selalu memperlakukan semua orang lain sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan.

Belas kasi mendorong kita untuk bekerja tanpa lelah menghapuskan penderitaan sesame manusia, melengserkan diri kita sendiri dari pusat dunia kita dan meletakkan orang lain di sana, serta menghormati kesucian setiap manusia lain, memperlakukan setiap orang, tanpa kecuali, dengan keadilan, kesetaraan, dan kehormatan mutlak.

Dalam kehidupan publik maupun pribadi pun penting untuk secara konsisten dan empatik mencegah apa-apa yang mengakibatkan penderitaan. Bertindak atau berbicara secara kasar karena kebencian, chauvinism atau kepentingan sendiri, untuk memiskinkan, mengeksploitasi atau mencabut hak-hak dasar siapapun, dan menghasut kebencian dengan merendahkan orang lain—musuh kita sekalipun—merupakan penyangkalan kemanusiaan kita bersama.

Namun, seringkali, agama belum mampu memberi jawaban atas persoalan yang timbul. Wajah agama seakan baku, kaku, dan tunggal. Padahal, agama mempunyai banyak wajah dan penafsiran. Islam, misalnya, mengajarkan kepada umatnya untuk sedikit-demi sedikit dalam menjalankan perintah Allah. Agama Islam sangat menekankan arti penting persatuan, persaudaraan dan tidak membeda-bedakan masyarakat. Islam secara tegas menyatakan yang membedakan hanyalah ketakwaan seseorang. Ketakwaaan akan membebaskan umat dari belenggu ketidakadilan.

Ketidakadilan yang muncul mengiringi perjalanan proses keagamaan dapat kita lihat dengan banyaknya peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama. Agama dijadikan legitimasi oleh seseorang untuk menghakimi dan menyerang kelompok lain yang tidak sepaham. Mereka seringkali mengerahkan masa dengan bertindak anarkitis bahkan brutal.
Meminjam bahasa Paulo Freire, kesadaran mereka masih berada pada taraf kesadaran magis bahkan naïf. Mereka belum mampu berfikir kritis tentang apa yang telah mereka perbuat. Keadaan ini semakin berkembang dan terus meluas ke daerah-daerah. Maka tidak aneh jika sekarang, banyak umat Islam yang menjadi "polisi".

Artinya, mereka bebas dan berhak untuk bertindak atas nama agama. Hal yang melekat dalam dirinya adalah apa yang telah mereka kerjakan adalah benar. Kebenaran ini akan mendapatkan balasan dari Tuhan berupa pahala yang melimpah dan gelar syahid (kemuliaan).

Contoh di atas dengan jelas menggambarkan bahwa agama telah menjadi ortodoksi-ideologis (meminjam bahasa Mohammed Arkoun, filsof dari Aljazair). Dengan demikian, agama menjadi sangat kaku dalam memandang sebuah persoalan. Lebih dari itu, agama kembali dikuasai oleh sebagian pemilik otoritas menafsir yang diangkat dan dipilih oleh kaumnya sendiri.

Visi Kemanusiaan
Keadaan yang demikian menjadikan agama semakin jauh dari realitas sosial. Artinya, manifestasi agama sebagai rahmatan lil alamin telah hilang. Agama telah menjadi rahmatan lil qoumiy (rahmatan untuk jamaahku). Agama telah kehilangan daya dobraknya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial yang timbul. Agama hanya berkutat pada hal yang melangit (eskatologi) dan kurang menyentuh persoalan bumi. Terjebaknya agama pada persoalan langit yang kaku telah menjadikan agama mapan. Artinya, agama ya agama. "Agama itu ibadah kepada Tuhan dan menjunjung panji-paji Tuhan, menegakkan agama adalah jihad akbar".

Pemahaman seperti ini akan menghilangankan visi agama kemanusiaan. Agama diturunkan bukan untuk Tuhan. Pada dasarnya agama diturunkan untuk manusia itu sendiri. Dengan adanya agama manusia mampu mengetahui baik dan buruk, halal haram dan seterusnya. Ketika agama lebih mengedepankan aspek-aspek hablu mina Allah (hubungan dengan Allah, vertikal) dan mengerdilkan aspek hablul minan nass (hubungan dengan sesama manusia, horizontal), maka tatanan kehidupan manusia akan hancur.

Artinya, agama hanya dijadikan sebagai alat legitimasi untuk menyerang kelompok-kelompok yang tidak sepaham. Maka guna menghindari hal-hal di atas, maka agama perlu mengubah wujudnya dalam bingkai kemanusiaan. Pendek kata, agama mempunyai visi kemanusiaan yang berpihak.

Teks-teks suci bervisi keumatan inilah yang akan mendorong agama menjadi sesuatu yang inhern dalam kehidupan umat manusia. Agama tidak hanya menjadi milik sebagain orang saja atau bahkan menjadi milik Tuhan. Agama akan menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari dan amat dekat dengan umatnya.

Kedekatan agama dengan umatnya akan menjadi sebuah kekuatan baru dalam memaknai kehidupan beragama. Artinya, agama adalah teman atau bahkan sahabat yang selalu dapat membantu dan menyelesaikan setiap persoalan yang timbul di tengah masyarakat.
Dengan demikian agama mempunyai visi kemanusiaan. Artinya, agama tidak melulu bersentuhan dengan Tuhan dalam artian ibadah, melainkan agama adalah teks terbuka yang wajib ditafsirkan guna menyelesaikan persoalan keumatan. Guna mendapatkan pemahaman keagamaan yang demikian tentunya diperlukan adanya sekian teori yang dapat dijadikan sebagai sebuah rujukan.

Pertama, agama adalah milik bersama. Otoritas pemegang teks-teks agama tidak boleh dimiliki oleh satu orang atau kelompok orang. Umat beragama diberikan kebebasan untuk dapat memilih dan memahami setiap ajaran yang diturunkan dalam bingkai kemanusiaan itu tadi. Dengan demikian, sakralitas teks dan otoritas penafsir menjadi hal yang boleh ada dalam pemahaman keagamaan sekarang.

Kedua, agama harus memiliki keberpihakan. Artinya, pemahaman konsepsi keagamaan yang cenderung kaku dan banyak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sudah saatnya ditiadakan. Agama sudah saatnya memaknai kehidupan dan zaman. Konsepsi keagamaan yang selama ini cenderung bersifat eskatologis menuju sikap keagamaan yang membumi. Yaitu sikap agama yang dapat menyelesaikan persoalan keumatan yang semakin kompleks.

Semoga spirit teologi welas asih yang ditularkan oleh Armstrong di Indonesia mampu membuka mata dan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya spirit kemanusiaan dalam keberagamaan. Keberagamaan yang saling menyapa antar umat dan menjadi motor perubahan sosial menuju pemanusiaan dan keadilan yang beradab.

*)Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity

Tidak ada komentar:

Posting Komentar