Search

Jumat, 14 Juni 2013

Partai Politik di Persimpangan Jalan

Oleh Benni Setiawan


"Opini", Sinar Harapan, Jum’at, 14 Juni 2013

Partai politik bungker koruptor. Kalimat tersebut kembali nyaring terdengar akhir-akhir ini. Hal ini terbukti dengan semakin banyak kader parpol terseret kasus korupsi. Tidak hanya dari parpol nasionalis, namun juga parpol berlabel Islam.

Perilaku korup tersebut menimbulkan sikap apatis masyarakat. masyarakat seakan sudah bosan dan enggan berurusan dengan parpol. Maka tidak aneh jika dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) golput seringkali memenangkan hajatan lima tahunan itu. Teranyar adalah hasil pilkada Jateng yang memenangkan Golput daripada pasangan Ganjar Pramono-Heru Sudjatmoko yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Tingginya angka golongan putih ini selayaknya menjadi catatan bagi perjalanan parpol. Artinya, menghadapi pemilu 2014, parpol harus berubah dan benar menjadi alat penyambung aspirasi rakyat.

Parpol bukan hanya menjelma menjadi “malaikat” yang siap menolong rakyat disaat jelang pemilu atau pilkada. Semua parpol mengklaim sebagai parpol yang bersih, jauh dari korupsi, dan memperjuangkan nasib rakyat. Namun, setelah pemilu atau pilkada usai parpol secepat kilat berubah menjadi Butho Cakil, yang siap mempecundangi rakyat dengan janji-janji palsu.

Mungkin benar apa yang pernah dikatakan oleh Jason Jones dan Shân Wareing, “Bagaimana caranya agar kita tahu kapan politisi berbohong? Jawabnya setiap kali mereka berbohong, mereka selalu menggerakkan bibir mereka”. Artinya, politisi tidak pernah berhenti berbohong dan selalu berbohong.

Persoalan-persoalan tersebut di atas nampaknya telah mendarah-daging dalam diri parpol. Mereka tidak lagi peduli dengan konstituen (rakyat), ketika mereka sudah berada pada posisi yang menguntungkan, dan sebaliknya "menyembah-nyembah" rakyat ketika posisinya terjepit.

Kharisma
Lebih dari itu, parpol yang telah memenangkan kursi di dewan dan Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II) tidak bisa lepas dari kekuatan pendahulunya. Artinya, mereka masih menggunakan kharisma pendahulunya untuk mempertahankan (mendulang) suara.

Ambil contoh, PDI Perjuangan, yang masih menjual kharisma dan kepemimpinan Megawati (Soekarno) dan ajaran Marhaennya. Partai Golkar dengan kejayaan masa silam Orde Baru, yang mampu membuat rakyat hidup dengan harga-harga murah. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang tidak dapat dilepaskan dari kharisma para kiai dan NU. Partai Amanat Nasioanal (PAN) yang tergila-gila dengan H.M. Amien Rais, dan Partai Demokrat dengan SBY.

Kita dapat melihat dengan jelas betapa kepemimpinan baru pun tidak mampu lepas dari pendiri atau “orang besar” yang telah berjasa kepada parpol. Gambar-gambar berukuran besar terpampang di setiap sudut kantor DPP hingga ranting.

Hal yang lebih menggelikan adalah ketika pemilihan kepala daerah (pilkada). Calon-calon kepala daerah merasa belum "PD" dengan programnya. Ia masih memasang gambar, petuah dan sebagainya untuk melancarkan aktivitasnya menuju kemenangan.

Fenomena tersebut di atas tentunya tidak dapat terpisahkan pada kondisi bangsa Indonesia. Keadaan seperti ini mengutip pendapat Kuntowijoyo termasuk dalam masyarakat tradisionalis yang masing mengagungkan mitos (kharisma).

Pengagungan mitos ini tentunya sangat membelenggu. Artinya, masyarakat akan semakin dibuat bodoh dan tidak berdaya dengan pilihannya kelak.

Parpol sebagai salah satu organisasi yang diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat, ternyata menjadi organisasi yang menyesatkan dengan kepalsuan. Mereka dengan bangga menyesatkan rakyat dengan cara-cara yang tak lazim. Parpol tidak menjual program-program pencerahan bangsa, melainkan menjual kharisma seseorang yang belum tentu terbukti kebenarannya.

Keadaan yang demikian sudah saatnya disadari oleh masyarakat. Artinya, ketika parpol masih belum mampu menjual program kerjanya, maka kewajiban rakyat untuk menjauhinya dan tidak memilihnya. Memilih parpol yang demikian, sama artinya membeli “keledai dunggu” yang tidak dapat memberikan manfaat lebih.

Masyarakat Terdidik
Rakyat sudah saatnya keluar dan menjadi masyarakat terdidik. Artinya, peran serta kaum cendekiawan sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan persoalan ini.

Beberapa pihak yang berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pertama, mahasiswa dan kaum intelektual (terdidik) sebagai agent of change dapat melakukan proses pendampingan ini ketika mereka kembali ke kampung halaman. Warga desa yang mudah dibodohi oleh parpol korup tentunya menjadi garapan bagi mahasiswa dan kaum intelektual (terdidik). Mahasiswa dan kaum intelektual (terdidik) dapat memberikan pengarahan dan pendidikan bagi pemilih pemula maupun pemilih lama dengan jalan, menjelaskan latar belakang, program kerja dan seterusnya.

Kedua, lembaga sosial keagamaan. Walaupun lembaga ini tidak dapat dilepaskan secara langsung dari parpol, mereka mempunyai kewajiban untuk membina warganya agar tetap kritis terhadap pilihannya. Ormas tentunya tidak menginginkan warganya dibodohi oleh kepentingan sesaat.

Ketiga, kesadaran rakyat sendiri. Artinya, mereka berkewajiban untuk keluar dan mencari informasi sebanyak mungkin, agar mereka tidak terjebak oleh tipu daya parpol.
Keempat, adalah peran serta media massa. Media massa cetak maupun elektronik sudah saatnya menyajikan berita dan fakta secara aktual dan dapat dipertanggung jawabkan. Independensi media massa saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Jangan sampai media massa dibeli oleh kepentingan parpol yang tidak “PD” dengan apa yang telah mereka programkan.

Semoga pemilu 2014 nanti rakyat mampu memilih parpol yang dapat memperjuangkan nasib dan masa depannya. Tak terkecuali, rakyat mampu memilih parpol yang tidak hanya menjual kharisma pendahulunya melaikan program pencerahan dan pendidikan bagi rakyat.

Penulis adalah Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity

Tidak ada komentar:

Posting Komentar