Oleh Benni Setiawan
30 Juli 2013 | Bali Post, Opini
Hannah Arendt (1906-1975), filsuf Jerman keturunan Yahudi, warga negara Amerika Serikat, mengingatkan praktik demokrasi liberal menyisakan masalah. Salah satunya adalah menempatkan kekuasaan bukan sebagai ruang artikulasi kebebasan warga, melainkan sebagai ruang birokratisasi dan administrasi segi-segi kehidupan. Arendt pun menyebut demokrasi modern, lebih menonjolkan prosedur, struktur, dan sistem; bukan subjek politik yang autentik. Demikian pula prasangka-prasangka telah mendegradasi politik sebagai medium dominasi, bukan medium pembebasan (Agus Sudibyo, 2012).
Apa yang diretas Arendt tersebut seakan mewujud dalam sistem demokrasi di Nusantara. Kita secara gamblang melihat banyak kepala daerah terseret masalah korupsi. Tidak jarang mereka harus bermalam di hotel prodeo dalam beberapa tahun. Namun, wajah demokrasi Indonesia tidak sebopeng itu. Masih ada kepala daerah (bupati, wali kota, gubernur) melakukan upaya ''menghidupkan'' demokrasi autentik. Demokrasi autentik adalah upaya seseorang atau sekelompok orang menggerakkan politik memiliki makna kebebasan, penghargaan terhadap keberagamaan, dan solidaritas antarwarga masyarakat.
Mereka mempunyai keunikan dalam membangun daerah. Berbekal potensi diri dan lingkungan mereka tampil menyapa masyarakat. Mereka menggerakkan seluruh potensi masyarakat dan sumber daya alam guna kemakmuran bersama.
Kemanusiaan
Mengubah wajah birokrasi yang rumit menjadi birokrasi berbasis kemanusiaan. Artinya, birokrasi selayaknya seperti menara air yang menghadirkan manfaat bagi rakyat kebanyakan. Birokrasi yang nyata hadir dan omni present menjawab permasalahan rakyat akan memantik harapan dan memupus segala antipati yang ada terhadap pemerintahan.
Seorang pemimpin selayaknya mengejawantahkan pengabdian kepada masyarakat dengan semangat pamong (pelayan, pengurus pemerintahan). Pamong pun bermakna seorang pemimpin bukanlah penguasa. Namun, dia adalah pelayan yang menyenangkan untuk rakyatnya. Manifestasi dari sikap melayani adalah program kerja pro-rakyat. Program kerja tersebut pun lahir dari keresahan masyarakat, bukan dari nafsu atau keinginan seorang pemimpin. Dengan demikian, langkah kerja seorang pemimpin tertata dan benar dibutuhkan oleh masyarakat, bukan program penuh kemunafikan (pencitraan).
Selain itu, pemimpin harus menjadi penjaga moral dan memimpin dengan etika. Tindakan korupsi dalam birokrasi bisa terjadi karena nilai-nilai etika tidak lagi dipakai. Nilai-nilai yang bersifat preventif itu sengaja dilanggar, sehingga pelaku korupsi tidak merasa malu bertindak seperti itu.
Etika itu pun telah mendorong kesadaran baru birokrasi yang humanis. Birokrasi yang mendorong aparatur pemerintah bertindak atas nama kemanusiaan, mendorong meritokrasi (penghargaan atas prestasi), dan akuntabilitas pelayanan publik.
Lebih lanjut, pemimpin selayaknya melakukan inovasi dan terobosan-terobosan dalam membangun sebuah wilayah. Melalui inovasi, sikap keterbukaan, kerendahan hati, dan gagasan membangun yang bersinergi dengan kekuatan masyarakat.
Cinta Kasih
Pemimpin pun merupakan pembelajar sejati. Belajar sepanjang hayat merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh setiap individu yang menghendaki masa depan hidupnya cerah benderah. Sekolah yang paling nyata adalah kehidupan itu sendiri yang dapat diperoleh dengan merefleksikan pengalaman.
Hal-hal tersebut menjadikan seorang pemimpin mampu menginspirasi bagi orang banyak. Inspirasi yang melecut semangat bagi orang banyak dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan tantangan ini. Melalui hal itu, pemimpin pun selalu memotivasi rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan kemalasan dan kebodohan. Hingga akhirnya rakyat perlahan bangkit menatap masa depan cerah.
Keberhasilan ini tak lepas dari sentuhan cinta kasih tanpa batas. Ia senantiasa menyapa warga dan memompa semangat untuk bangkit. Sentuhan tanpa menggurui berbekal pengalaman hidup inilah yang kemudian mengantarkan menjadi pemimpin masyarakat. Pemimpin yang melayani dengan keserhanaan dan cinta.
Kemajuan dan kemunduran daerah mau tidak mau bergantung pada visi, misi, dan strategi seorang pemimpinnya. Jika yang dimiliki suatu daerah adalah pemimpin yang visioner, maka harapan untuk mengejar kemajuan akan lebih mudah tercapai. Karena hanya dengan pemimpin yang visionerlah daerah mampu merumuskan visi yang jelas, rasional, dan berorientasi ke masa depan sehingga bisa mengantisipasi dan mentransformasikan tuntutan zaman serta mampu mengarahkan daerahnya untuk mencapai tujuan.
Seakan menjawab kritik Arendt di atas, pemimpin daerah harus gagah berani melawan arus demokrasi liberal yang tak tentu arah. Mereka membuka ruang publik masyarakat untuk berkontribusi terhadap pembanguan daerah. Mereka juga membuka diri terhadap partisipasi publik dalam membangun relasi kuasa yang berperikemanusiaan.
Medium pembebasan politik ala Arendt pun mewujud melalui gerak tanggap kepala daerah membangun sistem berkeadaban. Salah satunya melalui penciptaan sistem birokrasi yang melayani serta membuka artikulasi warga masyarakat.
Perwujudan sistem birokrasi berkeadaban pun muncul berbarengan dengan sinergi program kerja berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal menjadi warna yang makin menghiasai keadaban publik. Kearifan lokal pun tidak hanya menjadi bumbu penyedap namun menjadi roh dalam setiap gerak dan langkah.
Kerja keras kepala daerah memantik harapan bahwa semangat demokrasi dan politik berkeadaban masih ada di Nusantara. Berbekal potensi diri dan bersinergi dengan kekuatan alam dan kesadaran masyarakat.
Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Selasa, 30 Juli 2013
Sabtu, 20 Juli 2013
Menyoal Konsumerisme Ramadan
Oleh Benni Setiawan
Sudah menjadi tren, bulan suci Ramadan seakan menjadi pestanya para pemuja belanja. Pada bulan suci ini Masyarakat dijejali tawaran berbagai produk yang konon mendukung kelancaran dan kekhusukan dalam menjalan ibadah puasa.
Mental konsumtif rupanya telah merasuki relung bulan Ramadan hingga ke sendi-sendi terkecil. Hal ini dapat kita lihat dari keseharian masyarakat. Lihat saja, masyarakat yang dimanjakan dengan layanan kartu telepon seluler yang menyediakan layanan surat-surat al-Qur’an, Hadis Nabi, tausiyah Ramahan, hiburan lagu-lagu Islami, dan konten Islami lainnya. Layanan tersebut berbiaya murah bahkan gratis.
Belum puas dengan hal tersebut, produsen kartu seluler memanjakan pelanggannya dengan layanan gratis sampai tiga hari tiga malam dengan membayar harga yang murah. Belum lagi para perancang busana yang menjajakan pakaian khusus di bulan penuh berkah ini.
Seorang perancang busana kenamaan, misalnya, mengaku hanya menjual produknya di bulan Ramadan. Ia juga mengaku meraih keuntungan berlipat dari berjualan pakaian dengan harga antara Rp 80.000 sampai Rp 260.000. Bahkan ada seorang ibu rumah rangga yang membeli produk pakaian untuk Lebaran hingga satu lusin potong. Iklan besar di pelbagai media cetak maupun elektronik yang memajang harga diskon pun seakan melengkapi pesta tahun ini.
Pesta tampaknya terus berlanjut meski di tengah melambungnya harga pangan. Pemerintah pun sigap dengan mengambil langkah praktis, yakni mengimpor bahan pangan. Konon, impor dilakukan untuk menekan tingginya harga di pasar Indonesia. Rakyat pun dipaksa membeli bahan makanan yang tidak dipanen di kebunnya sendiri. Tentu, dengan harga yang cukup tinggi. Namun, ironisnya, mereka acuh terhadap realitas ini.
Mereka tetap saja doyan berbelanja dan tanpa sadar kocek terkuras untuk memuaskan nafsu raga. Tidak kalah dengan hal itu, tayangan televisi pun disulap menjadi bergenre Ramadan. Acara hiburan, lawak, kuis, dan sejuta polah tingkah seleb senantiasa menjadi teman dalam mengisi bulan Ramadan ini. Ada kesan seolah puasa menjadi sesuatu yang menyusahkan sehingga pemilik media berlomba “menghibur dengan kegembiraan”. Namun, semua itu sesungguhnya semu, tanpa makna.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa bulan Ramadan menjadi ajang unjuk diri dengan mengonsumsi seluruh produk “islami” daripada berderma kepada orang-orang lemah (mustadh’afin)?
Menggusur Local Wisdom
Dalam The Consumer Society: Myths & Structures, Jean Baudrillard menganologikan konsumsi pada masyarakat masa kini dengan bahasa dan sistem tanda dalam masyarakat primitif. Manusia sepanjang masa membutuhkan suatu simbol yang dipuja dan disembah. Jika dahulu ada pohon, patung hingga muncul cargo myth, masyarakat masa kini pun punya kultuskultus sendiri seperti terhadap kemasan benda-benda, citra (image), televisi, serta terhadap konsep kemajuan (progress) dan pertumbuhan (growth).
Baudrillard menyatakan sistem tanda baru dewasa ini adalah objek konsumsi, bukan sebagai benda itu sendiri sesuai daya gunanya. Masyarakat masa kini menempatkan apa yang dikonsumsinya sebagai symbol status, identitas, dan pengangkat rasa percaya diri. Makanya, isu dasar konsumerisme adalah kepemilikan status, kenyamanan, dan percaya diri (Herry-Priyono: 2003).
Dengan demikian, konsumerisme sudah menjadi ’tuhan’ baru dalam masyarakat modern. Kemodernan masyarakat ini belum lengkap tanpa membeli produk yang disesuaikan dengan momentummomentum tertentu. Mereka tidak memedulikan lagi berapa banyak rupiah yang harus dikeluarkan.
Perilaku masyarakat seperti ini telah menggusur dasar lokalitas adiluhur – nilai-nilai lokal (local wisdom) — seperti gotong royong, berderma kepada sesama, dan turut merasa prihatin terhadap kondisi tetangganya yang menderita.
Ironisnya, hilangnya local wisdom tersebut justru terjadi saat bulan Ramadan, di mana umat Islam justru diperintahkan untuk memperbanyak derma, berlatih disiplin, dan berperilaku hemat. Bulan Ramadan yang mulia malah dijadikan ajang memupuk rasa keakuan yang jauh dari spirit kebersamaan.
Mereka bangga makan di restoran dan berbelanja produk terbaru serta semakin menikmati indahnya hidup. Sedangkan orang miskin akan tetap bergelimangan dengan kesedihan dan ketidakberdayaan. Dengan demikian, sistem sosial masyarakat kian timpang.
Punya Visi Pembebasan
Makna puasa untuk pembebasan manusia dari keterkungkungan hawa nafsu pun telah hilang. Yang ada hanyalah manusia semakin bernafsu untuk berbelanja di mall dan menghabiskan uangnya untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Misi sosial puasa hanya menjadi bahan ceramah di mimbar masjid tanpa arti.
Puasa sudah seharusnya mempunyai visi pembebasan, yaitu pembebasan manusia dari keterkungkungan nafsu, sehingga manusia dapat saling berbagi, member maaf dan mendermakan sebagian harta yang dimiliki. Hal ini karena, di dalam harta kekayaan seseorang terdapat atau melekat hak orang miskin.
Puasa bukanlah ritual tahunan yang selalu diwarnai dengan aneka ragam hal instan berbau Islami. Lebih dari itu, puasa sudah saatnya dijadikan momentum bersama untuk merasakan penderitaan orang miskin, sehingga kita dapat berbagi dan saling memberi.
Ketika puasa hanya dimaknai dalam hal-hal konsumtif dan menjadikan manusia semakin boros, maka fungsi keadilan agama yang diperoleh melalui ibadah puasa akan hilang. Oleh sebab itu, masyarakat harus disadarkan bahwa puasa bukan momentum untuk semakin boros dan mengumbar hawa nafsu dengan belanja.
Pada akhirnya, mental konsumtif saat Ramadan sudah saatnya dihentikan. Jika tidak, Ramadhan hanya akan menjadi bulan pestanya kaum borjuis (kaya dan bermodal) di tengah penderitaan kaum proletar (miskin dan terlantar) yang makan sekali dalam sehari saja sudah sangat bersyukur.
Benni Setiawan, dosen pada Universitas Negeri Yogyakarta, peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity (ID.20/07/2013)
Sudah menjadi tren, bulan suci Ramadan seakan menjadi pestanya para pemuja belanja. Pada bulan suci ini Masyarakat dijejali tawaran berbagai produk yang konon mendukung kelancaran dan kekhusukan dalam menjalan ibadah puasa.
Mental konsumtif rupanya telah merasuki relung bulan Ramadan hingga ke sendi-sendi terkecil. Hal ini dapat kita lihat dari keseharian masyarakat. Lihat saja, masyarakat yang dimanjakan dengan layanan kartu telepon seluler yang menyediakan layanan surat-surat al-Qur’an, Hadis Nabi, tausiyah Ramahan, hiburan lagu-lagu Islami, dan konten Islami lainnya. Layanan tersebut berbiaya murah bahkan gratis.
Belum puas dengan hal tersebut, produsen kartu seluler memanjakan pelanggannya dengan layanan gratis sampai tiga hari tiga malam dengan membayar harga yang murah. Belum lagi para perancang busana yang menjajakan pakaian khusus di bulan penuh berkah ini.
Seorang perancang busana kenamaan, misalnya, mengaku hanya menjual produknya di bulan Ramadan. Ia juga mengaku meraih keuntungan berlipat dari berjualan pakaian dengan harga antara Rp 80.000 sampai Rp 260.000. Bahkan ada seorang ibu rumah rangga yang membeli produk pakaian untuk Lebaran hingga satu lusin potong. Iklan besar di pelbagai media cetak maupun elektronik yang memajang harga diskon pun seakan melengkapi pesta tahun ini.
Pesta tampaknya terus berlanjut meski di tengah melambungnya harga pangan. Pemerintah pun sigap dengan mengambil langkah praktis, yakni mengimpor bahan pangan. Konon, impor dilakukan untuk menekan tingginya harga di pasar Indonesia. Rakyat pun dipaksa membeli bahan makanan yang tidak dipanen di kebunnya sendiri. Tentu, dengan harga yang cukup tinggi. Namun, ironisnya, mereka acuh terhadap realitas ini.
Mereka tetap saja doyan berbelanja dan tanpa sadar kocek terkuras untuk memuaskan nafsu raga. Tidak kalah dengan hal itu, tayangan televisi pun disulap menjadi bergenre Ramadan. Acara hiburan, lawak, kuis, dan sejuta polah tingkah seleb senantiasa menjadi teman dalam mengisi bulan Ramadan ini. Ada kesan seolah puasa menjadi sesuatu yang menyusahkan sehingga pemilik media berlomba “menghibur dengan kegembiraan”. Namun, semua itu sesungguhnya semu, tanpa makna.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa bulan Ramadan menjadi ajang unjuk diri dengan mengonsumsi seluruh produk “islami” daripada berderma kepada orang-orang lemah (mustadh’afin)?
Menggusur Local Wisdom
Dalam The Consumer Society: Myths & Structures, Jean Baudrillard menganologikan konsumsi pada masyarakat masa kini dengan bahasa dan sistem tanda dalam masyarakat primitif. Manusia sepanjang masa membutuhkan suatu simbol yang dipuja dan disembah. Jika dahulu ada pohon, patung hingga muncul cargo myth, masyarakat masa kini pun punya kultuskultus sendiri seperti terhadap kemasan benda-benda, citra (image), televisi, serta terhadap konsep kemajuan (progress) dan pertumbuhan (growth).
Baudrillard menyatakan sistem tanda baru dewasa ini adalah objek konsumsi, bukan sebagai benda itu sendiri sesuai daya gunanya. Masyarakat masa kini menempatkan apa yang dikonsumsinya sebagai symbol status, identitas, dan pengangkat rasa percaya diri. Makanya, isu dasar konsumerisme adalah kepemilikan status, kenyamanan, dan percaya diri (Herry-Priyono: 2003).
Dengan demikian, konsumerisme sudah menjadi ’tuhan’ baru dalam masyarakat modern. Kemodernan masyarakat ini belum lengkap tanpa membeli produk yang disesuaikan dengan momentummomentum tertentu. Mereka tidak memedulikan lagi berapa banyak rupiah yang harus dikeluarkan.
Perilaku masyarakat seperti ini telah menggusur dasar lokalitas adiluhur – nilai-nilai lokal (local wisdom) — seperti gotong royong, berderma kepada sesama, dan turut merasa prihatin terhadap kondisi tetangganya yang menderita.
Ironisnya, hilangnya local wisdom tersebut justru terjadi saat bulan Ramadan, di mana umat Islam justru diperintahkan untuk memperbanyak derma, berlatih disiplin, dan berperilaku hemat. Bulan Ramadan yang mulia malah dijadikan ajang memupuk rasa keakuan yang jauh dari spirit kebersamaan.
Mereka bangga makan di restoran dan berbelanja produk terbaru serta semakin menikmati indahnya hidup. Sedangkan orang miskin akan tetap bergelimangan dengan kesedihan dan ketidakberdayaan. Dengan demikian, sistem sosial masyarakat kian timpang.
Punya Visi Pembebasan
Makna puasa untuk pembebasan manusia dari keterkungkungan hawa nafsu pun telah hilang. Yang ada hanyalah manusia semakin bernafsu untuk berbelanja di mall dan menghabiskan uangnya untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Misi sosial puasa hanya menjadi bahan ceramah di mimbar masjid tanpa arti.
Puasa sudah seharusnya mempunyai visi pembebasan, yaitu pembebasan manusia dari keterkungkungan nafsu, sehingga manusia dapat saling berbagi, member maaf dan mendermakan sebagian harta yang dimiliki. Hal ini karena, di dalam harta kekayaan seseorang terdapat atau melekat hak orang miskin.
Puasa bukanlah ritual tahunan yang selalu diwarnai dengan aneka ragam hal instan berbau Islami. Lebih dari itu, puasa sudah saatnya dijadikan momentum bersama untuk merasakan penderitaan orang miskin, sehingga kita dapat berbagi dan saling memberi.
Ketika puasa hanya dimaknai dalam hal-hal konsumtif dan menjadikan manusia semakin boros, maka fungsi keadilan agama yang diperoleh melalui ibadah puasa akan hilang. Oleh sebab itu, masyarakat harus disadarkan bahwa puasa bukan momentum untuk semakin boros dan mengumbar hawa nafsu dengan belanja.
Pada akhirnya, mental konsumtif saat Ramadan sudah saatnya dihentikan. Jika tidak, Ramadhan hanya akan menjadi bulan pestanya kaum borjuis (kaya dan bermodal) di tengah penderitaan kaum proletar (miskin dan terlantar) yang makan sekali dalam sehari saja sudah sangat bersyukur.
Benni Setiawan, dosen pada Universitas Negeri Yogyakarta, peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity (ID.20/07/2013)
Jumat, 05 Juli 2013
Bijak Menyikapi Beda Awal Puasa
Oleh Benni Setiawan
Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta
Pengurus Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah.
Solo Pos, Jum'at Kliwon, 5 Juli 2013
Penetapan 1 Ramadan tahun ini mungkin terjadi perbedaan. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid menetapkan ijtimak jelang Ramadan 1434 H terjadi pada hari Senin Pon, 8 Juli 2013 M pukul 14:15:55 WIB. Tinggi bulan pada saat terbenam matahari di Yogyakarta adalah +0044’59’’ (hilal sudah wujud). Pada saat Matahari terbenam tanggal 8 Juli 2013 M (hari Senin), di sebagian wilayah barat Indonesia, hilal sudah wujud dan di sebagian wilayah timur Indonesia belum wujud.
Dengan demikian, garis batas wujudul hilal melewati wilayah Indonesia dan membagi wilayah Indonesia menjadi dua bagian. Berdasarkan hal tersebut, PP Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadan 1434 H jatuh pada hari Selasa Wage, 9 Juli 2013 M.
Sebelumnya, Badan Hisab Rukyat Provinsi Sumatra Utara telah memutuskan awal Ramadan 1434 Hijriyah/2013 Masehi jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013 dan 1 Syawal 1434 H/2013 M jatuh pada Kamis, 8 Agustus 2013.
Namun, pemerintah dan ormas lain masih menunggu hasil rukyah dan isbat (sidang penetapan) pada Senin (8/7) sore yang mungkin akan menetapkan awal puasa pada Rabu Kliwon, 10 Juli 2013 M.
Mengenal Hisab Rukyah
Penentuan awal dan akhir bulan Ramadan didasarkan pada Hadis “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Apabila tertutup awan maka sempurnakanlah (30 hari)”.
Berdasarkan Hadis ini muncul cara pandang atau cara menentukan awal dan akhir bulan. Secara garis besar ada dua aliran, yakni aliran rukyah dan aliran hisab.
Bahkan di Indonesia, karena kebersingungan Islam sebagai great tradition dan budaya lokal sebagai little tradition melahirkan banyak corak dalam permasalahan hisab rukyah. Setidaknya ada tujuh cara penentuan awal bulan dan akhir bulan Ramadan.
Pertama, aliran aboge, yakni aliran yang berpedoman pada tahun Jawa lama dengan ketetapan tahun alif jatuh pada hari Rabu Wage sebagaimana diikuti oleh masyarakat muslim di dusun Golak, Ambarawa, Jawa Tengah.
Kedua, aliran asapon, yakni aliran yang berpedoman pada kalender Jawa Islam yang sudah diperbarui dengan ketetapan tahun alif jatuh pada hari Selasa Pon, sebagaimana diikuti lingkungan Keraton Yogyakarta.
Ketiga, aliran rukyah dalam satu negara (rukyatulhilal fi wilayatihukmi). Aliran ini berpedoman pada hasil rukyah yang dilakukan pada setiap akhir bulan (tanggal 29), jika berhasil merukyah, esok harinya sudah masuk tanggal satu, sedangkan jika tidak berhasil maka harus diistikmalkan (disempurnakan 30 hari), dan hisab hanya sebagai alat bantu dalam melakukan rukyah. Aliran ini yang selama ini dipegangi Nahdlatul Ulama (NU).
Keempat, aliran hisab wujudulhilal, prinsipnya jika menurut perhitungan (hisab) hilal sudah dinyatakan di atas ufuk, maka esok harinya sudah dapat ditetapkan sebagai tanggal satu tanpa harus menunggu rukyah. Aliran ini yang dipakai Muhammadiyah.
Kelima, aliran rukyah internasional (rukyah global). Aliran ini berprinsip, di mana pun tempat di muka bumi ini, jika ada yang menyatakan berhasil melihat hilal, waktu itu pula mulai tanggal satu dengan tanpa mempertimbangkan jarak geografisnya. Aliran ini dipedomani oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Keenam, aliran hisab imkanurrukyah, yakni penentuan awal bulan berdasarkan hisab yang memungkinkan untuk dilakukan rukyah. Aliran inilah yang dipegangi oleh pemerintah. Ketujuh, aliran mengikuti Mekkah, di mana penetapannya atas dasar kapan Mekkah menetapkannya (Ahmad Izzuddin, 2006).
Beragam corak pemikiran di atas memungkinkan terjadinya perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadan. Banyaknya ragam tersebut selayaknya menjadikan pemerintah lebih dewasa untuk tidak “memaksakan” penentuan awal puasa (1 Ramadan).
Persoalan Ijtihadiyah
Dengan demikian, penetapan tanggal satu Ramadhan dan atau satu Syawal sudah saatnya tidak dijadikan ajang perdebatan. Lebih lanjut, pemerintah tidak perlu bersusah payah menyatukan persoalan ijtihadiyah ini.
Penentuan awal bulan Qomariyah adalah persoalan ijitihadiyah (pemahaman) bukan masalah yang qath’yah (pasti). Maka dari itu, biarkanlah masyarakat memilih sesuai dengan kemampuan dan cara pandang masing masing. Jika masyarakat, berpandangan bahwa tanggal satu Ramadan jatuh pada hari Selasa, wajib baginya untuk berpuasa. Jika masyarakat meyakini bahwa satu Ramadan jatuh pada hari Rabu, masyarakat berkewajiban menghormati warga masyarakat lain yang mulai berpuasa sehari sebelumnya.
Sikap toleransi inilah yang akan menjadikan bangsa Indonesia semakin dewasa. Kedewasaan bangsa pun terkait erat dengan stateman pakar atau tokoh bangsa. Seorang pakar atau tokoh tidak perlu menyebut Muhammadiyah tafarruq (memisahkan) diri dari umat. Penyebutan ini hanya akan membuat kegaduhan dan melukai hati umat. Seorang tokoh selayaknya mewartakan cara pandang dan pilihan metode yang digunakan oleh setiap ormas, tanpa harus menghakimi kebenaran atau kesalahanya.
Persoalan ijtihadiyah sudah saatnya diselesaikan oleh intern umat Islam. Masih banyak persoalan yang lebih penting dan mendesak untuk segera diselesaikan daripada sekadar membahas persoalan penentuan awal bulan Ramadan dan satu Syawal.
Ketika pemimpin umat masih saja disibukkan oleh persoalan ijtihadiyah dan melupakan persoalan qath’yah yang dihadapi masyarakat, seperti kemiskinan, korupsi, ketimpangan sosial, dan seterusnya, maka akan banyak masyarakat meninggalkan agamanya karena “perilaku menyimpang” pemimpinnya. Pemimpin agama akan kehilangan legitimasi dari masyarakat, karena terlalu sibuk dengan urusan yang tidak penting dan tidak mendesak.
Pada akhirnya, mari kita sikapi persoalan ijtihadiyah (penetapan 1 Ramadan) ini dengan sikap bijak, legawa dan sportif. Bukan dengan saling mencela yang malah memperkeruh suasana kebangsaan. Wallahu a’alam.
Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta
Pengurus Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah.
Solo Pos, Jum'at Kliwon, 5 Juli 2013
Penetapan 1 Ramadan tahun ini mungkin terjadi perbedaan. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid menetapkan ijtimak jelang Ramadan 1434 H terjadi pada hari Senin Pon, 8 Juli 2013 M pukul 14:15:55 WIB. Tinggi bulan pada saat terbenam matahari di Yogyakarta adalah +0044’59’’ (hilal sudah wujud). Pada saat Matahari terbenam tanggal 8 Juli 2013 M (hari Senin), di sebagian wilayah barat Indonesia, hilal sudah wujud dan di sebagian wilayah timur Indonesia belum wujud.
Dengan demikian, garis batas wujudul hilal melewati wilayah Indonesia dan membagi wilayah Indonesia menjadi dua bagian. Berdasarkan hal tersebut, PP Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadan 1434 H jatuh pada hari Selasa Wage, 9 Juli 2013 M.
Sebelumnya, Badan Hisab Rukyat Provinsi Sumatra Utara telah memutuskan awal Ramadan 1434 Hijriyah/2013 Masehi jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013 dan 1 Syawal 1434 H/2013 M jatuh pada Kamis, 8 Agustus 2013.
Namun, pemerintah dan ormas lain masih menunggu hasil rukyah dan isbat (sidang penetapan) pada Senin (8/7) sore yang mungkin akan menetapkan awal puasa pada Rabu Kliwon, 10 Juli 2013 M.
Mengenal Hisab Rukyah
Penentuan awal dan akhir bulan Ramadan didasarkan pada Hadis “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Apabila tertutup awan maka sempurnakanlah (30 hari)”.
Berdasarkan Hadis ini muncul cara pandang atau cara menentukan awal dan akhir bulan. Secara garis besar ada dua aliran, yakni aliran rukyah dan aliran hisab.
Bahkan di Indonesia, karena kebersingungan Islam sebagai great tradition dan budaya lokal sebagai little tradition melahirkan banyak corak dalam permasalahan hisab rukyah. Setidaknya ada tujuh cara penentuan awal bulan dan akhir bulan Ramadan.
Pertama, aliran aboge, yakni aliran yang berpedoman pada tahun Jawa lama dengan ketetapan tahun alif jatuh pada hari Rabu Wage sebagaimana diikuti oleh masyarakat muslim di dusun Golak, Ambarawa, Jawa Tengah.
Kedua, aliran asapon, yakni aliran yang berpedoman pada kalender Jawa Islam yang sudah diperbarui dengan ketetapan tahun alif jatuh pada hari Selasa Pon, sebagaimana diikuti lingkungan Keraton Yogyakarta.
Ketiga, aliran rukyah dalam satu negara (rukyatulhilal fi wilayatihukmi). Aliran ini berpedoman pada hasil rukyah yang dilakukan pada setiap akhir bulan (tanggal 29), jika berhasil merukyah, esok harinya sudah masuk tanggal satu, sedangkan jika tidak berhasil maka harus diistikmalkan (disempurnakan 30 hari), dan hisab hanya sebagai alat bantu dalam melakukan rukyah. Aliran ini yang selama ini dipegangi Nahdlatul Ulama (NU).
Keempat, aliran hisab wujudulhilal, prinsipnya jika menurut perhitungan (hisab) hilal sudah dinyatakan di atas ufuk, maka esok harinya sudah dapat ditetapkan sebagai tanggal satu tanpa harus menunggu rukyah. Aliran ini yang dipakai Muhammadiyah.
Kelima, aliran rukyah internasional (rukyah global). Aliran ini berprinsip, di mana pun tempat di muka bumi ini, jika ada yang menyatakan berhasil melihat hilal, waktu itu pula mulai tanggal satu dengan tanpa mempertimbangkan jarak geografisnya. Aliran ini dipedomani oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Keenam, aliran hisab imkanurrukyah, yakni penentuan awal bulan berdasarkan hisab yang memungkinkan untuk dilakukan rukyah. Aliran inilah yang dipegangi oleh pemerintah. Ketujuh, aliran mengikuti Mekkah, di mana penetapannya atas dasar kapan Mekkah menetapkannya (Ahmad Izzuddin, 2006).
Beragam corak pemikiran di atas memungkinkan terjadinya perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadan. Banyaknya ragam tersebut selayaknya menjadikan pemerintah lebih dewasa untuk tidak “memaksakan” penentuan awal puasa (1 Ramadan).
Persoalan Ijtihadiyah
Dengan demikian, penetapan tanggal satu Ramadhan dan atau satu Syawal sudah saatnya tidak dijadikan ajang perdebatan. Lebih lanjut, pemerintah tidak perlu bersusah payah menyatukan persoalan ijtihadiyah ini.
Penentuan awal bulan Qomariyah adalah persoalan ijitihadiyah (pemahaman) bukan masalah yang qath’yah (pasti). Maka dari itu, biarkanlah masyarakat memilih sesuai dengan kemampuan dan cara pandang masing masing. Jika masyarakat, berpandangan bahwa tanggal satu Ramadan jatuh pada hari Selasa, wajib baginya untuk berpuasa. Jika masyarakat meyakini bahwa satu Ramadan jatuh pada hari Rabu, masyarakat berkewajiban menghormati warga masyarakat lain yang mulai berpuasa sehari sebelumnya.
Sikap toleransi inilah yang akan menjadikan bangsa Indonesia semakin dewasa. Kedewasaan bangsa pun terkait erat dengan stateman pakar atau tokoh bangsa. Seorang pakar atau tokoh tidak perlu menyebut Muhammadiyah tafarruq (memisahkan) diri dari umat. Penyebutan ini hanya akan membuat kegaduhan dan melukai hati umat. Seorang tokoh selayaknya mewartakan cara pandang dan pilihan metode yang digunakan oleh setiap ormas, tanpa harus menghakimi kebenaran atau kesalahanya.
Persoalan ijtihadiyah sudah saatnya diselesaikan oleh intern umat Islam. Masih banyak persoalan yang lebih penting dan mendesak untuk segera diselesaikan daripada sekadar membahas persoalan penentuan awal bulan Ramadan dan satu Syawal.
Ketika pemimpin umat masih saja disibukkan oleh persoalan ijtihadiyah dan melupakan persoalan qath’yah yang dihadapi masyarakat, seperti kemiskinan, korupsi, ketimpangan sosial, dan seterusnya, maka akan banyak masyarakat meninggalkan agamanya karena “perilaku menyimpang” pemimpinnya. Pemimpin agama akan kehilangan legitimasi dari masyarakat, karena terlalu sibuk dengan urusan yang tidak penting dan tidak mendesak.
Pada akhirnya, mari kita sikapi persoalan ijtihadiyah (penetapan 1 Ramadan) ini dengan sikap bijak, legawa dan sportif. Bukan dengan saling mencela yang malah memperkeruh suasana kebangsaan. Wallahu a’alam.