Search

Sabtu, 20 Juli 2013

Menyoal Konsumerisme Ramadan

Oleh Benni Setiawan


Sudah menjadi tren, bulan suci Ramadan seakan menjadi pestanya para pemuja belanja. Pada bulan suci ini Masyarakat dijejali tawaran berbagai produk yang konon mendukung kelancaran dan kekhusukan dalam menjalan ibadah puasa.

Mental konsumtif rupanya telah merasuki relung bulan Ramadan hingga ke sendi-sendi terkecil. Hal ini dapat kita lihat dari keseharian masyarakat. Lihat saja, masyarakat yang dimanjakan dengan layanan kartu telepon seluler yang menyediakan layanan surat-surat al-Qur’an, Hadis Nabi, tausiyah Ramahan, hiburan lagu-lagu Islami, dan konten Islami lainnya. Layanan tersebut berbiaya murah bahkan gratis.

Belum puas dengan hal tersebut, produsen kartu seluler memanjakan pelanggannya dengan layanan gratis sampai tiga hari tiga malam dengan membayar harga yang murah. Belum lagi para perancang busana yang menjajakan pakaian khusus di bulan penuh berkah ini.

Seorang perancang busana kenamaan, misalnya, mengaku hanya menjual produknya di bulan Ramadan. Ia juga mengaku meraih keuntungan berlipat dari berjualan pakaian dengan harga antara Rp 80.000 sampai Rp 260.000. Bahkan ada seorang ibu rumah rangga yang membeli produk pakaian untuk Lebaran hingga satu lusin potong. Iklan besar di pelbagai media cetak maupun elektronik yang memajang harga diskon pun seakan melengkapi pesta tahun ini.

Pesta tampaknya terus berlanjut meski di tengah melambungnya harga pangan. Pemerintah pun sigap dengan mengambil langkah praktis, yakni mengimpor bahan pangan. Konon, impor dilakukan untuk menekan tingginya harga di pasar Indonesia. Rakyat pun dipaksa membeli bahan makanan yang tidak dipanen di kebunnya sendiri. Tentu, dengan harga yang cukup tinggi. Namun, ironisnya, mereka acuh terhadap realitas ini.

Mereka tetap saja doyan berbelanja dan tanpa sadar kocek terkuras untuk memuaskan nafsu raga. Tidak kalah dengan hal itu, tayangan televisi pun disulap menjadi bergenre Ramadan. Acara hiburan, lawak, kuis, dan sejuta polah tingkah seleb senantiasa menjadi teman dalam mengisi bulan Ramadan ini. Ada kesan seolah puasa menjadi sesuatu yang menyusahkan sehingga pemilik media berlomba “menghibur dengan kegembiraan”. Namun, semua itu sesungguhnya semu, tanpa makna.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa bulan Ramadan menjadi ajang unjuk diri dengan mengonsumsi seluruh produk “islami” daripada berderma kepada orang-orang lemah (mustadh’afin)?

Menggusur Local Wisdom
Dalam The Consumer Society: Myths & Structures, Jean Baudrillard menganologikan konsumsi pada masyarakat masa kini dengan bahasa dan sistem tanda dalam masyarakat primitif. Manusia sepanjang masa membutuhkan suatu simbol yang dipuja dan disembah. Jika dahulu ada pohon, patung hingga muncul cargo myth, masyarakat masa kini pun punya kultuskultus sendiri seperti terhadap kemasan benda-benda, citra (image), televisi, serta terhadap konsep kemajuan (progress) dan pertumbuhan (growth).

Baudrillard menyatakan sistem tanda baru dewasa ini adalah objek konsumsi, bukan sebagai benda itu sendiri sesuai daya gunanya. Masyarakat masa kini menempatkan apa yang dikonsumsinya sebagai symbol status, identitas, dan pengangkat rasa percaya diri. Makanya, isu dasar konsumerisme adalah kepemilikan status, kenyamanan, dan percaya diri (Herry-Priyono: 2003).

Dengan demikian, konsumerisme sudah menjadi ’tuhan’ baru dalam masyarakat modern. Kemodernan masyarakat ini belum lengkap tanpa membeli produk yang disesuaikan dengan momentummomentum tertentu. Mereka tidak memedulikan lagi berapa banyak rupiah yang harus dikeluarkan.

Perilaku masyarakat seperti ini telah menggusur dasar lokalitas adiluhur – nilai-nilai lokal (local wisdom) — seperti gotong royong, berderma kepada sesama, dan turut merasa prihatin terhadap kondisi tetangganya yang menderita.

Ironisnya, hilangnya local wisdom tersebut justru terjadi saat bulan Ramadan, di mana umat Islam justru diperintahkan untuk memperbanyak derma, berlatih disiplin, dan berperilaku hemat. Bulan Ramadan yang mulia malah dijadikan ajang memupuk rasa keakuan yang jauh dari spirit kebersamaan.

Mereka bangga makan di restoran dan berbelanja produk terbaru serta semakin menikmati indahnya hidup. Sedangkan orang miskin akan tetap bergelimangan dengan kesedihan dan ketidakberdayaan. Dengan demikian, sistem sosial masyarakat kian timpang.

Punya Visi Pembebasan
Makna puasa untuk pembebasan manusia dari keterkungkungan hawa nafsu pun telah hilang. Yang ada hanyalah manusia semakin bernafsu untuk berbelanja di mall dan menghabiskan uangnya untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Misi sosial puasa hanya menjadi bahan ceramah di mimbar masjid tanpa arti.

Puasa sudah seharusnya mempunyai visi pembebasan, yaitu pembebasan manusia dari keterkungkungan nafsu, sehingga manusia dapat saling berbagi, member maaf dan mendermakan sebagian harta yang dimiliki. Hal ini karena, di dalam harta kekayaan seseorang terdapat atau melekat hak orang miskin.

Puasa bukanlah ritual tahunan yang selalu diwarnai dengan aneka ragam hal instan berbau Islami. Lebih dari itu, puasa sudah saatnya dijadikan momentum bersama untuk merasakan penderitaan orang miskin, sehingga kita dapat berbagi dan saling memberi.

Ketika puasa hanya dimaknai dalam hal-hal konsumtif dan menjadikan manusia semakin boros, maka fungsi keadilan agama yang diperoleh melalui ibadah puasa akan hilang. Oleh sebab itu, masyarakat harus disadarkan bahwa puasa bukan momentum untuk semakin boros dan mengumbar hawa nafsu dengan belanja.

Pada akhirnya, mental konsumtif saat Ramadan sudah saatnya dihentikan. Jika tidak, Ramadhan hanya akan menjadi bulan pestanya kaum borjuis (kaya dan bermodal) di tengah penderitaan kaum proletar (miskin dan terlantar) yang makan sekali dalam sehari saja sudah sangat bersyukur.

Benni Setiawan, dosen pada Universitas Negeri Yogyakarta, peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity (ID.20/07/2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar