Search

Jumat, 06 Desember 2013

Intoleransi Mengusik Kebangsaan (Catatan Hari Toleransi Internasinal 16 November 2013)

Oleh Benni Setiawan*)


Kebangsaan dan keindonesiaan hari ini mulai terkikis. Salah satu indikasinya adalah semakin masifnya intoleransi, tindak kekerasan, permusuhan, dan perilaku menyimpang lainnya. Seperti “gugatan” sebagian orang kepada Lurah Susan. Lurah Susah yang memimpin Lenteng Agung disoal oleh sebagian masyarakat. penolakan ini bukan berdasarkan kinerja, namun berdasarkan agama. Sungguh ironis. Bangsa dengan pluralitas agama ini masih bersitegang dan memandang pemimpin yang berbeda agama dari komunitas utama.

Bangsa Indonesia seakan tidak pernah mau belajar mengenai perbedaan. Padahal sejak era kemerdekaan para foundhing fathers mengajarkan hal ini kepada bangsa. Penyoalan keberadaan seseorang pemimpin berdasarkan agama sungguh mengusik akal sehat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa keberagamaan belum mampu menjadi perekat kebangsaan dan keindonesiaan?

Makhluk Terbaik
Emha Ainun Nadjib, dalam Markesot Bertutur (2012) menyebut manusia itu rata-rata adalah tukang dusta! Mereka pura-pura menyembah Tuhan, padahal setiap saat mereka tidak menomorsatukan Tuhan. Mereka merusak alam. Mereka rakus dan serakah. Mereka hanya tahu kepentingan diri sendiri. Mereka itu pencuri-pencuri yang mengaku alim!

Manusia senantiasa bernafsu untuk menumpuk harta walaupun dengan cara yang haram. Korupsi, kolusi, nepotisme manjadi hal biasa. Korupsi pun dilakukan serempak dan saling menutupi kesalahan kawan. Maka, tidak heran jika kelak di alam kubur ketika ditanya, “Man Rabbuka?” (Siapa Tuhanmu), manusia banyak yang menjawab, “Mercy, Rabbi” (Mercy Tuhanku).

Saat itu mulut tidak kuasa menjawab, melainkan realitas sejarah kita selama hidup di dunia. Jadi, Tuhan kita atau apa saja yang kita nomorsatukan dalam hidup, mungkin harta benda, hedonisme, popularitas, karier pribadi, egoisme, Mercy, Tiger, atau apa saja yang memang kita sembah, kita utamakan dari lain-lainnya dalam kehidupan. Nafsu dan kekhilafan hidup itu sekadar menjadi rumbai atau “hiasan dinding jiwanya”—namun hakikatnya tetaplah apa yang dia nomorsatukan.

Menilik betapa durhakanya manusia, maka tidak mengherankan jika bumi, gunung dan laut geram. Mereka pun berdoa kepada Tuhan untuk menghancurkan makhluk berakal ini. Bumi, gunung, dan laut, beralasan, manusia itu rata-rata adalah tukang dusta! Mereka pura-pura menyembah Tuhan, padahal setiap saat mereka tidak menomorsatukan Tuhan. Mereka merusak alam, mereka rakus dan serakah, mereka hanya tahu kepentingan diri mereka sendiri. Mereka itu pencuri-pencuri yang mengaku alim!

Namun, Tuhan Maha Penyayang. Dengan bijak Tuhan berseru kepada bumi, gunung, dan laut. “Wahai gunung, laut, dan bumi, tenanglah! Tingkat kemakhlukan kalian lebih rendah daripada manusia. Jadi, kalian tidak akan sanggup menghayati betapa Aku amat mencintai manusia. Manusia adalah masterpiece ciptaan-Ku. Mereka itu ahsanu taqwim. Tenanglah kalian. Aku Maha Mengerti apa yang Aku kehendaki. Dan ketahuilah, seandainya engkau yang menciptakan manusia, akan demikian juga cintamu kepada manusia…” (Emha Ainun Nadjib: 2012).

Peradaban Utama
Kecintaan Allah terhadap manusia ini selayaknya menjadikan manusia selalu semangat untuk melakukan kebaikan. Pasalnya, keimanan tanpa amal saleh hanya akan menjadikan diri kita menjadi manusia tuna sosial. Sebaliknya, amal saleh tanpa keimanan akan menyeret manusia pada keangkuhan, riya, dan melalaikan Allah, sebagai Dzat Yang Maha Berkehendak.
Melalui konsepsi tersebut, tatanan kebangsaan selayaknya terbangun atas dua dasar utama, yaitu iman dan amal saleh (perbuatan baik). Dua hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dua hal tersebut selayaknya mewujud dalam satu langkah dan tindakan.
Sayangnya dua hal tersebut belum menjadi kesatuan langkah bagi bangsa Indonesia. Maka tidak aneh jika kebangsaan semakin rapuh dan cenderung mendistorsi makna kemanusiaan.
Proses keberagamaan dalam kehidupan sosial selayaknya menjadi spirit kebangsaan. Bangsa Indonesia selayaknya terus membangun etos kerja peradaban. Artinya, umat selayaknya tersadarkan dan segera bergegas untuk membina dan memperbaiki keadaan.
Umat selayaknya menjadi pelopor dalam kehidupan sosial. Umat menjadi pemimpin masyarakat berperadaban dengan cara giat bekerja. Segera menyelesaikan satu pekerjaan dengan kesungguhan jiwa dan keimanan dan bergegas melangkah menuju kerja selanjutnya.
Spirit ini tertuang jelas dalam al-Qur’an. “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (Q.S. Alam Nasrah, 94: 7-8).
Ayat tersebut mengajarkan kepada umat Islam, khususnya, untuk senantiasa memiliki etos kerja membangun peradaban dalam bingkai ihsan (berbuat baik). Ihsan yang mewujud dalam kehidupan sosial dan membingkai keadaban bangsa menuju peradaban utama (baldatun thoyyibatun wa rabbun qhafur).
Kerja-kerja ini tidaklah ringan namun juga tidak berat. Berbekal tekad dan potensi yang ada, bangsa Indonesia akan mampu terlepas dari jerat disintegrasi.
Ketika bangsa ini tidak berlomba dalam kebaikan, dan malah terseret dalam disintegrasi dan intoleransi maka, kebangsaan akan hancur. Apalagi jika kepemimpinan diukur dari agama seseorang, bukan karena prestasi.
Pada akhirnya, sikap penolakan berdasarkan agama yang dialami oleh Lurah Susan, seakan mengusik kebangsaan kita. Kebangsaan yang dibangun dari jerih payah, kerja keras, dan prestasi, dikotori oleh perilaku sebagian orang yang masih memandang sempit berdasarkan agama. Padahal keberagamaan mengajarkan untuk senantiasa berbuat baik dan giat bekerja untuk kehidupan tanpa memandang agama.(Opini Sinar Harapan, Sabtu, 16 November 2013)


*)Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar