Search

Jumat, 06 Desember 2013

Membangun Semangat Kebangsaan

Oleh Benni Setiawan*)


Setiap tanggal 16 November, dunia memperingati Hari Internasional untuk Toleransi. Meskipun lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Unesco sudah mengadopsi peringatan tersebut sejak 1995, Indonesia baru memperingatinya pada tahun 2008.

Kekerasan atas nama agama masih saja mewarnai kehidupan bangsa ini. Berdasarkan catatan Setara Institute selama periode Januari hingga November 2013, angka kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan masih sangat tinggi.

Pemantauan di 23 provinsi selama ini menunjukkan, masih terjadi 213 peristiwa dengan 243 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Umumnya praktik intoleransi, kekerasan, dan diskriminasi terjadi karena ketidaktegasan negara dalam menghadapi praktik-praktik tersebut.

Dalam kasus penyelenggelan masjid Al-Muslih, tempat ibadah jemaah Ahmadiyah di Sumedang, Jawa Barat, pada 26 Oktober 2013 lalu, misalnya, pihak aparat keamanan seolah diam saja.

Lalu, pertanyaannya, mengapa hal seperti itu masih selalu saja berulang? Mengapa bangsa Indonesia seakan tidak pernah belajar untuk menghormati keyakinan orang lain?

Bertentangan dengan Konstitusi Padahal, UUD 1945 telah menjamin kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Bahkan UUD mengamanatkan negara menjadi benteng bagi terciptanya kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jaminan UUD ini ternyata belum mampu dibaca secara baik oleh warga negara. UUD seakan menjadi pembenar kebijakan yang menguntungkan saja. UUD tidak terpakai jika hal itu merugikan kepentingan pribadi dan kelompok.

Potret nyata inilah yang seringkali menggusur kearifan. Kearifan sebagai penanda kemanusiaan telah luntur dan pudar. Kearifan dalam beragama pun tertutupi oleh kerak kebencian. Kebencian dan menganggap orang lain liyan telah mengenyahkan pandangan teologis yang inklusif.

Teologi inklusif berubah menjadi eksklusif. Seseorang menganggap apa yang diyakini paling benar dan menyalahkan pandangan keagamaan orang lain. Ketika hal tersebut telah merasuk dalam kehidupan seseorang, maka tidak aneh jika kekerasan menjadi hal yang lumrah.

Kekerasan tersebut digerakkan oleh kesadaran teologis yang menjadikan seseorang bergerak atas nama Tuhan. Apa yang mereka lakukan adalah benar dan bahkan diperintahkan oleh Tuhan.

Padahal, dalam agama (Islam), sudah dijelaskan secara gamblang bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (2: 256). Bahkan, dalam Surat al-Kahfi (18: 29) dijelaskan bahwa “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.”

Dengan demikian, pemaksaan pindah keyakinan dari “Ahmadiyah ke Islam yang diakui oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)” itu bertentangan dengan akal sehat (aqli) dan ketentuan Allah (naql). Keyakinan merupakan pilihan historis seseorang.

Ia lahir dari sebuah kesadaran akal sehat dan ketenteraman batin yang tidak seorangpun kuasa untuk menyalahkan pilihan itu. Keyakinan beragama pun seakan menjadi bukti bahwa proses pencarian unsur-unsur ketuhanan (lahut) bersinergi dengan unsur-unsur kemanusiaan (nasut).

Azyumardi Azra (2012), dengan mengutip Ali Syariati, pemikir terkemuka Iran, mengemukakan tarik menarik antara unsur-unsur lahut dan nasut dalam diri manusia merupakan pergulatan perennial, abadi. Jika manusia beragama memenangkan pergulatan itu dan, dengan demikian, berhasil mengembangkan unsur-unsur lahut-nya, maka ia tidak hanya dapat kembali kepada fitrahnya tetapi juga sekaligus dapat mengangkat harkatnya lebih mulia daripada malaikat sekalipun. Tetapi, sebaliknya, jika manusia kalah dalam pergumulan itu dan lebih dikuasai unsur-unsur nasut-nya, maka ia akan dan dapat terjerumus ke dalam abyss, lubang kenistaan terdalam tanpa dasar.

Keberagamaan yang Sakit
Lebih lanjut, ketika terjadi pemaksaan terhadap keyakinan dan keagamaan pun seakan membenarkan apa yang pernah diungkapkan oleh William James. Kira-kira satu abad yang lalu, William James dalam The Varienties of Religions Experience: A Study in Human Nature membuat kategorisasi keberagamaan. Ada keberagamaan yang sehat (healthy minded) dan keberagamaan yang sakit (sick soul).

Tanda-tanda keberagamaan yang “sehat” antara lain adanya sikap dan pandangan dunia (world view) yang optimistik, ekstrovert, dan gradual. Mereka adalah orang-orang yang memiliki harapan, terbuka, dan menekankan proses berkesinambungan dalam mencapai cita-cita.

Ciri-ciri keberagamaan yang “sakit” adalah world view yang bercorak pesimistik, introvert dan non-gradual. Orang yang masuk dalam kategori ini senantiasa putus asa dan berwajah murung. Pergaulan dibatasi dalam internal kelompoknya saja, namun jika memiliki keinginan, mereka tidak memerhatikan proses panjang yang harus dilalui.

Keberagamaan yang sakit atau bersifat ekstrinsik sangat mudah menjadi target bidik para “provokator” yang dengan kepentingannya ingin mengail di air keruh. Masyarakat akan menjadi sangat rentan, rapuh, frigile, mudah pecah, dan mudah terpancing oleh isu. Mereka bagaikan rumput kering yang mudah dibakar (suggestibility). Keberagamaan yang bercorak ekstrinsik memang sangat rentan (M. Amin Abdullah, 2012).

Kerentanan tersebut terbukti dengan tidak kunjung kondusifnya hubungan antar warga terkait Jemaat Ahmadiyah. Sebagian masyarakat masih menganggap Ahmadiyah bukan bagian dari keberagamaan di Indonesia. Kondisi yang demikian kemudian menimbulkan ketakutan bagi Jemaat Ahmadiyah. Penyegelan rumah ibadat merupakan teror psikis dan fisik yang paling nyata.

Kondisi tersebut selayaknya disudahi. Melalui semangat kebangsaan dan keindonesiaan selayaknya kita menjadi penyokong keberagamaan yang sehat. Keberagamaan yang menekankan prinsip-prinsip keterbukaan dan toleransi, menghargai keyakinan dan pilihan hidup seseorang sebagai insan merdeka. Insan yang senantiasa gandrung pada kedamaian, hidup berdampingan, dan menghormati keragaman dalam perbedaan.

Masyarakat Indonesia selayaknya mempraktikkan keberagamaan yang sehat, yaitu dengan menggelorakan dialog yang didasarkan ilmu pengetahuan, bukan saling memaksakan. Melalui dialog ini harapan dan keterbukaan akan menjadi hal lumrah, sehingga semua pihak mempunyai harapan besar membangun kesinambungan dan menegakkan nalar kebebasan beragama dan keyakinan.

Melalui proses kebangsaan dan keberagamaan, seluruh komponen bangsa ini mampu bersinergi dalam gerak langkah membangun keadaban publik. Keberagamaan kemudian menjadi perekat kebangsaan yang menjadi ruh bangsa.

Pada akhirnya, selayaknya kebangsaan dan keberagamaan bukan hanya seruan dalam teks UUD 1945 dan teks suci keagamaan. Namun, hal itu harus mewujud dalam keseharian dengan sikap menghormati dan hidup berdampingan dan bekerja sama walaupun berbeda dalam keyakinan dan keagamaan. Semoga. Wallahu a’lam. (ID, 16 November 2013)

Benni Setiawan
Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta
(UNY), peneliti Maarif Institute for
Culture and Humanity

Tidak ada komentar:

Posting Komentar