Oleh Benni Setiawan*)
Satu dari tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan atau pelecehan seksual. Demikian menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Laporan yang dirilis WHO, London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM), serta South African Medical Research Council (SAMRC), menjadi laporan sistematis pertama secara global yang merinci dampak pelecehan terhadap fisik dan mental perempuan.
Beberapa data yang ditemukan antara lain: kekerasan yang dilakukan pasangan merupakan kasus pelecehan yang paling umum terjadi, mempengaruhi 30% perempuan di dunia; 38% pembunuhan perempuan, dilakukan oleh pasangannya; korban serangan seksual dan kekerasan (yang dilakukan bukan oleh pasangan) akan mengalami depresi dan kegelisahan 2,6 kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengalami kekerasan; korban pelecehan (dengan pelaku pasangan sendiri) mengalami depresi dan kegelisahan dua kali lebih besar; korban cenderung memiliki masalah dengan alkohol, aborsi, dan penyakit yang dibawa dalam hubungan seksual, dan HIV (Kompas, 21 Juni 2013).
Mengutip data kekerasan dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, angka Kekerasan terhadap perempuan (KtP) terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data Komnas Perempuan menyebutkan pada 2011 terdapat 19.107 ribu kasus dan meningkat menjadi 216.156 ribu pada 2012.
Dari data Legal Resource Keadilan Jender dan Hak Asasi Maunusia (LRC KJHAM) Semarang, tercatat kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah hingga medio November 2013 sudah mencapai 454 kasus, jumlah kasus itu mengalami peningkatan jika dibandingkan pada 2012 yang hanya mencapai 408 kasus (Suara Merdeka, 20 November 2013).
Data tersebut tentu sangat meresahkan. Perempuan masih saja dijadikan “alat pemuas nafsu” laki-laki. Perempuan-perempuan pun masih saja dianggap lemah. Bahkan, perempuan adalah the second sex (seks kedua) yang mempunyai banyak kelemahan. Perempuan pun masih dianggap sebagai hiasan. Masyarakat masih memandang perempuan dari kemolekan tubuh yang dapat setiap saat dijamah. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mengurai masalah ini?
Payudara
Tubuh perempuan memang senantiasa menjadi hal yang menjadi perdebatan. Tubuh perempuan menjadi harga tersendiri bagi kaum hawa. Tubuh molek nan seksi senantiasa menjadi pergunjingan kaum adam. Jika seorang perempuan mempunyai hal yang demikian ia dianggap “mahal”.
Bagian kemolekan dari tubuh itu pun biasanya hanya dilihat dari payudara. Menurut, Freud, payudara itu tak ubahnya penis pada laki-laki. Keduanya—payudara dan penis—bersifat libidis, yaitu membangkitkan nafsu birahi secara instinktif. Kedunya adalah sumber kenikmatan seksual yang bisa dinikmati secara oral.
Lebih lanjut, Germaine Greer menyebut tubuh yang indah dan seksi, wajah jelita, kulut cemerlang, payudara montok adalah paket yang dikejar hampir setiap kaum perempuan agar kecantikannya menyamai para dewi yang hidup dalam dongeng. Mengapa harus menjadi seorang dewi, jika tubuhnya hanya menjadi objek permainan kaum laki-laki? Sementara itu, ada peran lain yang lebih penting menanti.
Menurut Betty Freidan, tokoh feminis yang menulis buku The Feminine Mystique, para perempuan yang terjerumus ke dalam gelapnya gua-gua masochism bukanlah atas kehendaknya. Melainkan karena kaum laki-laki hanya menghargai feminitas sebagai objek seksual belaka.
Jika kaum lelaki menghargai feminitas secara keseluruhan, yang terjadi tidak akan demikian, sehingga kaum perempuan punya peran lebih luas seperti peran kaum lelaki di masyarakat. Ini yang mendorong kaum feminis liberal berjuang keras untuk punya hak yang sama di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan lingkungan hidup seperti halnya kaum laki-laki (Naning Pranoto, 2010).
Dengan demikian, tubuh tidak hanya menjadi indah dengan atribut keindahan seperti di atas. Perempuan sudah selayaknya menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia dapat lebih berperan dalam banyak hal.
Simone de Beauvoir dalam The Second Sex merekomendasikan kemandirian perempuan. Ia tampak membela perempuan apa yang ditempatkannya lain, ditentukan oleh laki-laki yang dinamakan sebuah insistensi pada semacam subjektivitas laki-laki yang dicapai perempuan sendiri. Perempuan bebas dari laki-laki sebagaimana banyak yang membacanya, sejumlah perempuan mengambil milik dan kekuatan yang ditujukkan laki-laki, melakukan apa yang dilakukan laki-laki.
Apa yang diperlukan, beberapa orang memberi alasan, adalah bukan perempuan yang menjadi seperti laki-laki tetapi bahwa manusia, secara umum harus mengubah asal muasal dunia yang didominasi oleh laki-laki sedemikian rupa caranya sehingga perempuan bebas menjadi perempuan, tidak sekadar perempuan yang bertindak seperti apa yang dilakukan oleh laki-laki. Apa yang keliru dengan banyak keterangan, adalah androsentivitas dan solusinya tidaklah melihat otentisitas sebagai hidup maskulin, tetapi menyangkut hidup individual apa pun jenis kelaminnya (James Garvey, 2010).
Memiliki Jiwa
Di zaman serba cepat sekarang ini, perempuan mempunyai peran lebih dalam turut serta membangun peradaban. Kekaryaan perempuan ditunggu di era sekarang ini. Perempuan-perempuan yang masih terjebak pada rutinitas dan kemolekan diri hanya akan menjadi “masalah” di era kekinian.
Tubuh perempuan adalah modal untuk bergerak. Tubuh tidak hanya untuk dipercantik, namun sikap juga perlu untuk diperbaiki. Kemolekan tubuh tanpa kekuatan pribadi yang membudaya hanya akan semakin mengerdilkan peran perempuan.
Padahal laki-laki dan perempuan adalah setara. Kesetaraan itu berpangkal pada asal penciptaan manusia yang diciptakan dari satu jiwa (an-Nisa’, 4:1). Hadis-hadis yang menyatakan bahwa perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki merupakan pernyataan yang perlu dipahami maknanya secara simbolik. Dengan pernyataan itu, Rasulullah (juga para pencipta tradisi Perjanjian Lama) tidak bermaksud untuk menunjukkan bahwa perempuan itu merupakan second creature, tapi untuk menunjukkan pandangan bahwa perempuan itu merupakan manusia yang memiliki jiwa.
Karena merupakan makhluk yang berjiwa, maka perempuan, memiliki otonomi. Di dunia ini, sebagaimana laki-laki, dia juga merupakan khalifah dan kehambaan itu merupakan sesuatu yang melekat padanya sesuai dengan kemanusiaannya. Keduanya tidak akan terlepas darinya selama dia masih menjadi manusia.
Kemudian, karena sama-sama memiliki otonomi, maka relasi laki-laki dan perempuan harus didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan (al-Isra’, 17:70), keadilan (al-Maidah, 5:8), dan saling menghormati (an-Nisa’, 4:86). (Hamim Ilyas, 2001).
Menilik argumentasi di atas, selayaknya laki-laki tidak memperlakukan perempuan bak hiasan. Laki-laki dan perempuan punyak hak yang sama membangun peradaban.
Lebih lanjut, tingginya angka kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan hanya akan semakin memperlambat laju pembangunan. Perempuan akan menderita. Padahal mereka adalah ibu dari generasi yang akan datang.
Kekerasan terhadap perempuan atas nama apapun merupakan perbuatan biadab. Kekerasan terhadap perempuan pun mencerminkan betapa masih banyak laki-laki yang hanya menikmati kemolekan tubuh, tanpa mengajak mereka untuk bersama-sama membangun keadaban publik.
Pada akhirnya, kekerasan terhadap perempuan sudah selayaknya diakhiri. Pasalnya, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam membangun kebangsaan dan keindonesiaan. (Harian Joglosemar, Kamis, 5 Desember 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar