Oleh Benni Setiawan
Esai, Koran Sindo, Minggu, 28 Desember 2014.
Bencana longsor besar mengubur Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, pada dua pekan lalu menelan ratusan korban nyawa.
Bencana senantiasa meninggalkan tangis dan kedukaan. Namun, seakan hal itu belum mampu menggugah kesadaran manusia untuk menyesali segala kekeliruannya. Bencana pun terus berlangsung. Bencana seakan menjadi cara alam mengingatkan keangkuhan manusia.
Manusia adalah makhluk kecil di tengah kuatnya kuasa alam. Inilah mungkin yang dalam bahasa Emha Ainun Najib dalam Markesot Bertutur sebagai manifestasi penciptaan manusia oleh Tuhan. Walaupun manusia terus melakukan perusakan, Tuhan Maha Asih kepadanya. Perusakan yang dilakukan oleh manusia sering membuat gunung, bumi, dan laut geram.
Namun, Tuhan Maha Penyayang. Dengan bijak Tuhan berseru kepada bumi, gunung, dan laut. ”Wahai gunung, laut, dan bumi, tenanglah! Tingkat kemakhlukan kalian lebih rendah daripada manusia. Jadi, kalian tidak akan sanggup menghayati betapa Aku amat mencintai manusia.
Manusia adalah masterpiece ciptaan-Ku. Mereka itu ahsanu taqwim. Tenanglah kalian. Aku Maha Mengerti apa yang Aku kehendaki. Dan ketahuilah, seandainya engkau yang menciptakan manusia, akan demikian juga cintamu kepada manusia...” (Emha Ainun Najib, 2012).
Saling Berkomunikasi
Namun, Ian G. Barbour dalam Nature, Human Nature and God (2002), mengingatkan bahwa hubungan manusia tidak hanya sebatas antara manusia saja akan tetapi juga termasuk sikap pertanggungjawaban dengan Tuhan, berkonsentrasi pada kesejahteraan ciptaan Tuhan yang lain. Ketika kedua hubungan ini saling berkomunikasi maka manusia akan memberikan kontribusi pada etika penjagaan dan sikap tanggung jawab terhadap sifat dasar dunia yang membutuhkan hubungan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Manusia menjadikan alam sebagai nilai dalam dirinya sendiri, yang perlu juga untuk dihormati, dijaga dan tidak disakiti. Alam adalah tempat makhluk hidup berlindung. Dengannya makhluk bertahan hidup dan berlindung. Alam telah menyediakan berbagai kebutuhan manusia. Seperti, buah-buahan, sayuran, daging hewan dan seterusnya. Jika alam rusak, manusia tidak dapat lagi menikmati hasil alam tersebut.
Manusia dan alam selayaknya berkomunikasi. Artinya, manusia sebagai makhluk berakal selayaknya memahami posisi dan kedudukannya. Posisi manusia adalah sebagai pemimpin (khalifah ) di muka bumi. Pemimpin ialah yang mampu menjadi harmoni antar sesama hidup. Tugas seorang pemimpin adalah melakukan kebaikan (islah ).
Kebaikan demi keberlangsungan makhluk hidup di muka bumi. Manusia adalah pengembang persaudaraan semakhluk. Semua makhluk berhak mendapatkan penghidupan yang layak. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang dikaruniai akal dan nurani mempunyai kewajiban menjamin semua makhluk dapat berkembang biak dengan baik di alam raya ini. Saat manusia tak mampu menjaga alam raya, maka ia akan menerima buahnya. Alam raya pun akhirnya yang berkomunikasi dengan manusia. Alam mengingatkan manusia dengan dahsyatnya bencana.
Sahabat
Bencana dengan demikian merupakan komunikasi bisu alam dengan manusia. Komunikasi ini bisa menjadi awal bagi terciptanya harmoni baru. Hal itu terjadi saat manusia menyadari kesalahannya. Namun, saat manusia tak mampu menyadari segala kekhilafannya, maka alam akan terus menunjukkan superioritasnya. Alam pun terus bergerak dan menyapa manusia dengan kedukaan yang mendalam.
Bencana sekali lagi menjadi penanda betapa alam mampu mengubur setiap impian mulia manusia. Bencana kini seakan telah bersinergi dengan alam dan menyatakan diri sebagai ”pemenang”. Dan manusia pun akhirnya menjadi pecundang (the looser ). Sudah saatnya manusia menyadari bahwa alam merupakan sahabat.
Mengeksploitasi alam secara berlebihan tanpa menghiraukan kehidupan selanjutnya, menjadikannya rusak. Kerusakan alam merupakan lonceng kematian bagi manusia. Pada akhirnya, bencana dan alam kini sedang mengingatkan manusia untuk kembali ke jalan yang benar. Jalan perbaikan bukan perusakan. Semoga bencana Banjarnegara memberi pelajaran bagi manusia tentang pentingnya berkomunikasi dan berkonsentrasi menjadi harmoni sesama makhluk.
Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Senin, 29 Desember 2014
Senin, 22 Desember 2014
Bencana dan Harmoni Hidup
oleh Benni Setiawan
Opini Tribun Jogja, Selasa, 16 Desember 2014 halaman 1 sambung 11
Kabar duka hadir dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Hingga Minggu petang (14) Desember 2014, telah ditemukan 39 korban tanah longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar. Korban yang sudah teridentifikasi tersebut, 18 orang di antaranya laki-laki, termasuk seorang anak, dan 17 korban lainnya perempuan. Petugas hingga kini masih terus mencari ratusan korban yang diperkirakan tertimbun longsoran Bukit Telagalele.
Bencana tersebut seakan membenarkan temuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dimana banjir dan tanah longsor mendominasi bencana di Tanah Air dalam kurung waktu tahun 2014. Yaitu, sedikitnya tercatat 332 bencana longsor dan menewaskan 262 jiwa.
Tingginya bencana banjir dan tanah longsor selayaknya menjadi catatan penting bagi pemerintah. Pemerintah tentu tidak menginginkan melihat kerusakan dan kematian warga negaranya akibat bencana. Kemudian bagaimana selayaknya menyikapi bencana tersebut?
Proses
Irwan Abdullah (2008) menyatakan bencana seyogyanya ditanggapi sebagai “proses” yang harus dilihat dari tahapan historis, dalam sumber-sumber pembentukan dan kelahirannya, dalam nilai-nilai yang dipilih, dan dalam kekuatan yang menggerakkan proses itu hingga menjadi suatu bencana.
Sebagai sebuah proses, bencana dapat dikelola dan dikendalikan pada tingkatan yang berbeda-beda berdasarkan kemampuan pengetahuan, sikap, tindakan-tindakan, dan kelembagaan yang tersedia. Pemahaman yang lengkap tentang keseluruhan hubungan manusia dengan lingkungan dalam proses mutual production of each others existence, memungkinkan adanya prediksi dan kesiapan dalam menghadapi bencana itu sendiri dan juga memungkinkan minimalisasi status kerentanan masyarakat terhadap suatu bencana.
Oleh karena itu, hasil penelitian dari pakar selayaknya menjadi dasar para pengambil kebijakan untuk berbuat dan bertindak. Hasil penelitian bukan hanya sekadar coretan kertas yang kemudian termuat dalam lembaran jurnal. Namun, sebuah upaya bersama memahami karakter bencana, menyiapkan kemungkinan terburuk, dan menjadi masyarakat senantiasa waspada terhadap bencana.
Aplikasi Riset
Keberanian pemerintah untuk mengambil dan mengaplikasikan riset menjadi hal utama. Pemerintah sudah selayaknya bekerja berdasarkan temuan ilmiah. Tanpa hal tersebut, pemerintah hanya akan menjadi semacam petugas pemadam kebarakaran. Saat bencana terjadi, semua seakan sibuk berbenah dan mengurai masalahnya. Namun, saat kondisi normal, tak ada upaya mencegah dan kerja sistematis menyemalatkan warga dari zona bencana.
Inilah yang kemudian dalam bahasa Zakaria Ngelo (2007) sebagai kajian teologi konstekstual. Teologi kontekstual menyangkut bencana, dapat berupa program-program antisipasi bencana—baik bencana alam maupun bencana sosial—atau penanganan korban bencana secara darurat (jangka pendek) maupun jangka panjang. Penyembuhan trauma merupakan suatu kebutuhan yang serius bagi para korban bencana. Bencana memerlukan sosialisasi pengetahuan mengenai berbagai karakter alam, early warning system, dan perlunya mengontrol keserakahan dan kelalaian manusia merusak alam.
Keserakahan manusia mengeksplotasi alam hanya akan menimbulkan kedukaan. Manusia akan binasa karena alam mempunyai cara “mengatur sendiri” hidupnya.
Sinergi
Manusia selayaknya menyadari bahwa alam merupakan makhluk hidup. Ia butuh untuk terus tetap lestari. Saat manusia melalaikan itu dan cenderung merusaknya, maka alam akan memberontak. Pemberontakan alam ini akan menjadikan manusia menderita. Pasalnya, manusia akan kehilangan semuanya, termasuk jiwa yang menjadi sumber hidup.
Oleh karenanya, selayaknya manusia mampu bersinergi dengan alam. Manusia dan alam selayaknya hidup berdampingan saling membutuhkan satu sama lain. Saling membutuhkan berarti menghormati sesama hidup, bukan saling menguasai atau menegasikan satu sama lain.
Bencana merupakan pengingat manusia untuk kembali membuka lembaran sejarah. Lembaran sejarah yang mengamanatkan manusia untuk menjadi pengelola kehidupan di dunia. Manusia hari ini bukan pemilik mutlak alam raya. Masih ada banyak generasi mengantre untuk tetap hidup dan berkembangan biak di bumi ini.
Pada akhirnya, bencana bukan sekadar untuk disesali. Namun, selayaknya memberikan banyak pelajaran bagi manusia untuk berubah. Berubah dalam mewujudkan harmoni antar sesama hidup.
Opini Tribun Jogja, Selasa, 16 Desember 2014 halaman 1 sambung 11
Kabar duka hadir dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Hingga Minggu petang (14) Desember 2014, telah ditemukan 39 korban tanah longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar. Korban yang sudah teridentifikasi tersebut, 18 orang di antaranya laki-laki, termasuk seorang anak, dan 17 korban lainnya perempuan. Petugas hingga kini masih terus mencari ratusan korban yang diperkirakan tertimbun longsoran Bukit Telagalele.
Bencana tersebut seakan membenarkan temuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dimana banjir dan tanah longsor mendominasi bencana di Tanah Air dalam kurung waktu tahun 2014. Yaitu, sedikitnya tercatat 332 bencana longsor dan menewaskan 262 jiwa.
Tingginya bencana banjir dan tanah longsor selayaknya menjadi catatan penting bagi pemerintah. Pemerintah tentu tidak menginginkan melihat kerusakan dan kematian warga negaranya akibat bencana. Kemudian bagaimana selayaknya menyikapi bencana tersebut?
Proses
Irwan Abdullah (2008) menyatakan bencana seyogyanya ditanggapi sebagai “proses” yang harus dilihat dari tahapan historis, dalam sumber-sumber pembentukan dan kelahirannya, dalam nilai-nilai yang dipilih, dan dalam kekuatan yang menggerakkan proses itu hingga menjadi suatu bencana.
Sebagai sebuah proses, bencana dapat dikelola dan dikendalikan pada tingkatan yang berbeda-beda berdasarkan kemampuan pengetahuan, sikap, tindakan-tindakan, dan kelembagaan yang tersedia. Pemahaman yang lengkap tentang keseluruhan hubungan manusia dengan lingkungan dalam proses mutual production of each others existence, memungkinkan adanya prediksi dan kesiapan dalam menghadapi bencana itu sendiri dan juga memungkinkan minimalisasi status kerentanan masyarakat terhadap suatu bencana.
Oleh karena itu, hasil penelitian dari pakar selayaknya menjadi dasar para pengambil kebijakan untuk berbuat dan bertindak. Hasil penelitian bukan hanya sekadar coretan kertas yang kemudian termuat dalam lembaran jurnal. Namun, sebuah upaya bersama memahami karakter bencana, menyiapkan kemungkinan terburuk, dan menjadi masyarakat senantiasa waspada terhadap bencana.
Aplikasi Riset
Keberanian pemerintah untuk mengambil dan mengaplikasikan riset menjadi hal utama. Pemerintah sudah selayaknya bekerja berdasarkan temuan ilmiah. Tanpa hal tersebut, pemerintah hanya akan menjadi semacam petugas pemadam kebarakaran. Saat bencana terjadi, semua seakan sibuk berbenah dan mengurai masalahnya. Namun, saat kondisi normal, tak ada upaya mencegah dan kerja sistematis menyemalatkan warga dari zona bencana.
Inilah yang kemudian dalam bahasa Zakaria Ngelo (2007) sebagai kajian teologi konstekstual. Teologi kontekstual menyangkut bencana, dapat berupa program-program antisipasi bencana—baik bencana alam maupun bencana sosial—atau penanganan korban bencana secara darurat (jangka pendek) maupun jangka panjang. Penyembuhan trauma merupakan suatu kebutuhan yang serius bagi para korban bencana. Bencana memerlukan sosialisasi pengetahuan mengenai berbagai karakter alam, early warning system, dan perlunya mengontrol keserakahan dan kelalaian manusia merusak alam.
Keserakahan manusia mengeksplotasi alam hanya akan menimbulkan kedukaan. Manusia akan binasa karena alam mempunyai cara “mengatur sendiri” hidupnya.
Sinergi
Manusia selayaknya menyadari bahwa alam merupakan makhluk hidup. Ia butuh untuk terus tetap lestari. Saat manusia melalaikan itu dan cenderung merusaknya, maka alam akan memberontak. Pemberontakan alam ini akan menjadikan manusia menderita. Pasalnya, manusia akan kehilangan semuanya, termasuk jiwa yang menjadi sumber hidup.
Oleh karenanya, selayaknya manusia mampu bersinergi dengan alam. Manusia dan alam selayaknya hidup berdampingan saling membutuhkan satu sama lain. Saling membutuhkan berarti menghormati sesama hidup, bukan saling menguasai atau menegasikan satu sama lain.
Bencana merupakan pengingat manusia untuk kembali membuka lembaran sejarah. Lembaran sejarah yang mengamanatkan manusia untuk menjadi pengelola kehidupan di dunia. Manusia hari ini bukan pemilik mutlak alam raya. Masih ada banyak generasi mengantre untuk tetap hidup dan berkembangan biak di bumi ini.
Pada akhirnya, bencana bukan sekadar untuk disesali. Namun, selayaknya memberikan banyak pelajaran bagi manusia untuk berubah. Berubah dalam mewujudkan harmoni antar sesama hidup.
Rabu, 19 November 2014
Kebangsaan Muhammadiyah
Oleh Benni Setiawan
Opini, Republika, Selasa, 18 November 2014.
"Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan" menjadi tema dalam Milad ke-105 H/102 M Muhammadiyah (18 November 1912-18 November 2014). Tema ini diambil sebagai bentuk keprihatinan Muhammadiyah terhadap kebangsaan akibat kebangsaan semakin memudar dan rapuh. Kebangsaan jauh dari semangat Pancasila dan UUD 1945.
Kondisi ini mendorong keprihatinan Muhammadiyah. Sebagai organisasi yang lebih tua dari umur republik ini, Muhammadiyah terpanggil menyelesaikan persoalan tersebut.
Dalam Pidato Milad Muhammadiyah tertulis, "Muhammadiyah mengajak seluruh elite bangsa untuk benar-benar berkiprah optimal untuk memajukan kehidupan bangsa guna mewujudkan cita-cita nasional di seluruh bidang kehidupan. Kepada semua pihak, lebih-lebih para pemimpin bangsa, mari tunjukkan sikap konsisten antara kata dan tindakan, menjunjung tinggi moral yang utama, menunaikan amanat rakyat, serta memperjuangkan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri, kelompok, dan golongan. Muhammadiyah mengajak pemerintah di seluruh tingkatan untuk semakin meningkatkan komitmen dan kesungguhan dalam memajukan bangsa, disertai sikap mengedepankan keadilan dan kejujuran, berdiri di atas semua golongan, tidak partisan, bermitra dengan seluruh komponen bangsa, termasuk Muhammadiyah, dan mampu menunjukkan jiwa kenegarawanan yang utama".
Pidato tersebut menegaskan posisi dan peran Muhammadiyah dalam kebangsaan. Muhammadiyah sebagai bagian dari civil society perlu mengingatkan pemerintah. Bahwasanya mereka dipilih untuk menjadi pemimpin, bukan menjadi seorang pejabat. Pemimpin adalah mereka yang senantiasa merasa gelisih jika tidak mampu bekerja optimal. Mereka merasa malu jika tidak berprestasi. Senantiasa menjaga lisan dan perbuatan guna kemakmuran bangsa dan senantiasa ingin berbuat kebajikan setiap saat.
Karena itu, seorang pemimpin selayaknya menyemai kebajikan setiap saat. Dalam kesejarahan, Muhammadiyah telah mewariskan semangat juang menjadi pelayan dari kepemimpinan AR Fachruddin. Pak AR, begitu ia disapa, menjadi simbol dai ikhlas, bersahaja, dan tawadhu. Ia senantiasa hadir sendiri memenuhi undangan menjadi penceramah dengan motor butut. Motor berwarna merah bermerek Yamaha 70 itu menjadi teman setia Pak AR.
Ia pun senantiasa menjalin komunikasi dengan masyarakat melalui bahasa-bahasa sederhana. Ia senantiasa ingin dekat dengan umat. Ia sering mengunjungi desa dan menyapa masyarakat. Kesederhanaan, ketulusan, dan ketelatenan menyapa masyarakat menjadi ciri utama kepemimpinan Pak AR. Melalui sikap yang demikian, Presiden Soeharto pun seakan tunduk pada wejangan Pak AR.
Selayaknya pemimpin bangsa ini dapat belajar dari kepemimpinan Pak AR. Melalui hal tersebut, seorang pemimpin akan terus dikenang rakyatnya. Karena, ia senantiasa bekerja optimal untuk bangsa dan negara, bukan didasarkan pada niatan "busuk" guna memuluskan kepentingan pribadi dan golongan.
Lebih lanjut, kebangsaan hari ini akan kokoh jika pemimpinnya mampu menjadi teladan. Sebaliknya, ketika keteladanan menghilang dan hanya menjadi kata tanpa ucapan, maka kebangsaan akan runtuh.
Sebagai organisasi modern yang usianya lebih tua dari Republik, selayaknya bangsa dan negara ini belajar dari Muhammadiyah. Muhammadiyah telah membuktikan diri tumbuh dan berkembang bersama bangsa lebih dari seabad. Muhammadiyah juga telah meletakkan dasar keunggulan bagi kemakmuran bersama. Salah satunya adalah melalui bidang pendidikan dan ekonomi kreatif.
Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah telah terbukti mampu mendidik putra-putra terbaik bangsa. Pendidikan Muhammadiyah yang bersumber pada epistemologi Islam berkemajuan hingga kini terus menggelora hingga ke pelosok negeri.
Model pendidikan tersebut selayaknya dikembangkan oleh pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan nasional. Hal ini penting di tengah semakin mengguritanya ideologi Islam berwajah garang terhadap budaya bangsa. Bangsa Indonesia akan kehilangan jati dirinya jika wajah Islam nusantara berubah menjadi Islam Arab yang kaku dan rigid.
Dalam hal pendidikan, selayaknya pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mau membuka lembaran keunggulan konsepsi pendidikan Muhammadiyah. Pemerintah tidak perlu berkiblat kepada Barat yang tentu nuansa dan spirit pendidikannya berbeda dengan realitas keindonesiaan.
Muhammadiyah pun hingga saat ini terus menggelorakan ekonomi kreatif. Pembangunan gedung pendidikan, rumah sakit, dan panti asuhan lebih diusahakan oleh warga persyarikatan dibandingkan menengadahkan tangan kepada pemerintah. Ekonomi kreatif inilah yang memandirikan Muhammadiyah.
Kemandirian Muhammadiyah inilah yang menjadikan persyarikatan konsisten melakukan kritik membangun kepada pemerintah. Kritik Muhammadiyah itu bukan untuk menjatuhkan wibawa pemerintah. Namun, untuk meneguhkan komitmen amar makruf nahi mungkar.
Salah jika ada anggapan bahwa Muhammadiyah melakukan kritik terhadap pemerintahan Jokowi-JK karena tidak mendapat kursi di kabinet atau posisi lain. Bukan watak Muhammadiyah jika mengkritik mempunyai maksud mendapat posisi atau kedudukan.
Muhammadiyah berdiri dan tumbuh dari rahim nusantara. Maka, keprihatinan Muhammadiyah pada dasarnya merupakan kegalauan bangsa. Bangsa ini harus diselamatkan dari proses kepemimpinan yang rapuh. Jika bangsa dan negara ini ambruk, Muhammadiyah pun akan roboh.
Muhammadiyah terus berkomitmen menjadi gerakan tajdid. Gerakan pembaruan dengan spirit terus melakukan inovasi menciptakan keunggulan. Kritik Muhammadiyah kepada pemerintah bukanlah kebencian, tapi merupakan komitmen persyarikatan untuk berkontribusi bagi kebangsaan.
Pada akhirnya, semoga milad kali ini semakin mengukuhkan posisi Muhammadiyah dalam proses kebangsaan. Selamat milad Persyarikatan Muhammadiyah. n
Opini, Republika, Selasa, 18 November 2014.
"Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan" menjadi tema dalam Milad ke-105 H/102 M Muhammadiyah (18 November 1912-18 November 2014). Tema ini diambil sebagai bentuk keprihatinan Muhammadiyah terhadap kebangsaan akibat kebangsaan semakin memudar dan rapuh. Kebangsaan jauh dari semangat Pancasila dan UUD 1945.
Kondisi ini mendorong keprihatinan Muhammadiyah. Sebagai organisasi yang lebih tua dari umur republik ini, Muhammadiyah terpanggil menyelesaikan persoalan tersebut.
Dalam Pidato Milad Muhammadiyah tertulis, "Muhammadiyah mengajak seluruh elite bangsa untuk benar-benar berkiprah optimal untuk memajukan kehidupan bangsa guna mewujudkan cita-cita nasional di seluruh bidang kehidupan. Kepada semua pihak, lebih-lebih para pemimpin bangsa, mari tunjukkan sikap konsisten antara kata dan tindakan, menjunjung tinggi moral yang utama, menunaikan amanat rakyat, serta memperjuangkan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri, kelompok, dan golongan. Muhammadiyah mengajak pemerintah di seluruh tingkatan untuk semakin meningkatkan komitmen dan kesungguhan dalam memajukan bangsa, disertai sikap mengedepankan keadilan dan kejujuran, berdiri di atas semua golongan, tidak partisan, bermitra dengan seluruh komponen bangsa, termasuk Muhammadiyah, dan mampu menunjukkan jiwa kenegarawanan yang utama".
Pidato tersebut menegaskan posisi dan peran Muhammadiyah dalam kebangsaan. Muhammadiyah sebagai bagian dari civil society perlu mengingatkan pemerintah. Bahwasanya mereka dipilih untuk menjadi pemimpin, bukan menjadi seorang pejabat. Pemimpin adalah mereka yang senantiasa merasa gelisih jika tidak mampu bekerja optimal. Mereka merasa malu jika tidak berprestasi. Senantiasa menjaga lisan dan perbuatan guna kemakmuran bangsa dan senantiasa ingin berbuat kebajikan setiap saat.
Karena itu, seorang pemimpin selayaknya menyemai kebajikan setiap saat. Dalam kesejarahan, Muhammadiyah telah mewariskan semangat juang menjadi pelayan dari kepemimpinan AR Fachruddin. Pak AR, begitu ia disapa, menjadi simbol dai ikhlas, bersahaja, dan tawadhu. Ia senantiasa hadir sendiri memenuhi undangan menjadi penceramah dengan motor butut. Motor berwarna merah bermerek Yamaha 70 itu menjadi teman setia Pak AR.
Ia pun senantiasa menjalin komunikasi dengan masyarakat melalui bahasa-bahasa sederhana. Ia senantiasa ingin dekat dengan umat. Ia sering mengunjungi desa dan menyapa masyarakat. Kesederhanaan, ketulusan, dan ketelatenan menyapa masyarakat menjadi ciri utama kepemimpinan Pak AR. Melalui sikap yang demikian, Presiden Soeharto pun seakan tunduk pada wejangan Pak AR.
Selayaknya pemimpin bangsa ini dapat belajar dari kepemimpinan Pak AR. Melalui hal tersebut, seorang pemimpin akan terus dikenang rakyatnya. Karena, ia senantiasa bekerja optimal untuk bangsa dan negara, bukan didasarkan pada niatan "busuk" guna memuluskan kepentingan pribadi dan golongan.
Lebih lanjut, kebangsaan hari ini akan kokoh jika pemimpinnya mampu menjadi teladan. Sebaliknya, ketika keteladanan menghilang dan hanya menjadi kata tanpa ucapan, maka kebangsaan akan runtuh.
Sebagai organisasi modern yang usianya lebih tua dari Republik, selayaknya bangsa dan negara ini belajar dari Muhammadiyah. Muhammadiyah telah membuktikan diri tumbuh dan berkembang bersama bangsa lebih dari seabad. Muhammadiyah juga telah meletakkan dasar keunggulan bagi kemakmuran bersama. Salah satunya adalah melalui bidang pendidikan dan ekonomi kreatif.
Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah telah terbukti mampu mendidik putra-putra terbaik bangsa. Pendidikan Muhammadiyah yang bersumber pada epistemologi Islam berkemajuan hingga kini terus menggelora hingga ke pelosok negeri.
Model pendidikan tersebut selayaknya dikembangkan oleh pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan nasional. Hal ini penting di tengah semakin mengguritanya ideologi Islam berwajah garang terhadap budaya bangsa. Bangsa Indonesia akan kehilangan jati dirinya jika wajah Islam nusantara berubah menjadi Islam Arab yang kaku dan rigid.
Dalam hal pendidikan, selayaknya pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mau membuka lembaran keunggulan konsepsi pendidikan Muhammadiyah. Pemerintah tidak perlu berkiblat kepada Barat yang tentu nuansa dan spirit pendidikannya berbeda dengan realitas keindonesiaan.
Muhammadiyah pun hingga saat ini terus menggelorakan ekonomi kreatif. Pembangunan gedung pendidikan, rumah sakit, dan panti asuhan lebih diusahakan oleh warga persyarikatan dibandingkan menengadahkan tangan kepada pemerintah. Ekonomi kreatif inilah yang memandirikan Muhammadiyah.
Kemandirian Muhammadiyah inilah yang menjadikan persyarikatan konsisten melakukan kritik membangun kepada pemerintah. Kritik Muhammadiyah itu bukan untuk menjatuhkan wibawa pemerintah. Namun, untuk meneguhkan komitmen amar makruf nahi mungkar.
Salah jika ada anggapan bahwa Muhammadiyah melakukan kritik terhadap pemerintahan Jokowi-JK karena tidak mendapat kursi di kabinet atau posisi lain. Bukan watak Muhammadiyah jika mengkritik mempunyai maksud mendapat posisi atau kedudukan.
Muhammadiyah berdiri dan tumbuh dari rahim nusantara. Maka, keprihatinan Muhammadiyah pada dasarnya merupakan kegalauan bangsa. Bangsa ini harus diselamatkan dari proses kepemimpinan yang rapuh. Jika bangsa dan negara ini ambruk, Muhammadiyah pun akan roboh.
Muhammadiyah terus berkomitmen menjadi gerakan tajdid. Gerakan pembaruan dengan spirit terus melakukan inovasi menciptakan keunggulan. Kritik Muhammadiyah kepada pemerintah bukanlah kebencian, tapi merupakan komitmen persyarikatan untuk berkontribusi bagi kebangsaan.
Pada akhirnya, semoga milad kali ini semakin mengukuhkan posisi Muhammadiyah dalam proses kebangsaan. Selamat milad Persyarikatan Muhammadiyah. n
Tantangan Abad II Muhammadiyah
Oleh Benni Setiawan
"Wacana", Suara Merdeka, Selasa, 18 November 2014.
“Mengingat banyak dihuni birokrat, kerja-kerja persyarikatan saat ini lebih banyak dipenuhi atribut birokrasi”
MUHAMMADIYAH telah memasuki abad II. Tantangan dakwah abad ini tentu tak kalah rumit dibanding abad I. Pasalnya, Muhammadiyah tidak lagi berdiri sebagai ormas modern berbasis sosial kemasyarakatan di Indonesia tapi harus berhadapan dengan berbagai persoalan serius internasional. Persoalan internasional itu merupakan peluang bagi Muhammadiyah untuk makin berkiprah untuk umat.
Dengan bekal pengalaman seabad berorganisasi, Muhammadiyah diharapkan mampu mewarnai jagat pemikiran dan praksis sosial yang dibawanya sebagai role model. Ia bisa menghadapi masalah dan tantangan yang mengadang, betapa pun kompleksnya. Optimisme itu —meminjam istilah Haedar Nashir (2011)— dengan fondasi ideologi reformis dan moderat yang jadi karakter gerakannya plus pandangan Islam yang berkemajuan dan berbagai potensi SDM, amal usaha, dan jaringan.
Tantangan Muhammadiyah adalah mencoba memberikan sesuatu kepada publik internasional dengan modal sosial yang telah dimiliki. Setidak-tidaknya, dapat berperan dalam tiga hal utama, yakni ranah politik, ekonomi, dan kultural. Ranah politik merupakan kajian terhadap pilihan politik Muhammadiyah sejak awal pendiriannya. Seperti saat Kiai Dahlan ìberkompromiì dengan pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan cap ìlegalî pendirian sebuah ormas.
Kiai Dahlan perlu membangun kekuatan di Boedi Oetomo guna memperkuat dukungan agar Muhammadiyah tidak mendapatkan resistensi dari pemerintah kolonial. Dalam perjalanan selanjutnya, Muhammadiyah turut serta dalam kancah politik tahun 1955. Muhammadiyah menjadi anggota aktif Partai Masyumi dengan semboyan ìBerpolitik dengan Masyumi, Berdakwah dengan Muhammadiyahî. Peran kebangsaan dalam bidang politik pun terus bergulir pada era Orde Baru, tatkala Kiai AR Fachruddin menerima asas tunggal Pancasila. Pak AR, sapaan ketua terlama PPMuhammadiyah itu, dengan lobi kuat menelurkan istilah politik helm, yang menjadi cara untuk mendekatkan diri kepada pemerintah. Melalui ijtihad itu, Muhammadiyah pun selamat dari ìpemberedelanî ala Soeharto.
Ijtihad politik itu kini memasuki jihad konstitusi. PPMuhammadiyah mengajukan serangkaian uji materi kepada Mahkamah Konstitusi terkait UU yang tak berpihak kepada umat, seperti UU Migas. Ranah ekonomi merupakan kajian terhadap sistem ekonomi Muhammadiyah, ormas pemilik amal usaha terbanyak di dunia. Amal usaha itu merupakan sistem ekonomi yang tak dimiliki ormas lain. Sistem ekonomi yang tak bergantung mutlak kepada pemerintah inilah yang menguatkan jejaring ormas tersebut.
Merunut ke belakang, Kiai Dahlan sebagai founding father mengajarkan bahwa ekonomi umat harus dibangun sebagai implementasi teologi al-Maun dan al- Ashr. Ekonomi umat Muhammadiyah selayaknya kuat untuk menopang sistem ibadat yang membutuhkan uang. Pasalnya, setelah shalat kita diperintah-Nya membayar zakat. Itu artinya, umat Muhammadiyah diperintahkan jadi ”orang kaya” supaya mampu menghidupi diri dan orang lain melalui teologi filantropinya. Menyesuaikan Waktu Menilik sejarah, pada awal pembentukannya Muhammadiyah dikomandani para pedagang, yang kemudian menjadi penopang persyarikatan.
Berbekal spirit dan mentalnya, mereka menjadi lokomotif dakwah dan penyebaran Muhammadiyah ke seluruh penjuru negeri. Namun kini, etos dagang itu sedikit memudar. Pimpinan Muhammadiyah lebih banyak jadi birokrat (PNS), dan ini mengundang kritik. Mitsuo Nakamura misalnya, mengkritik dengan mengatakan bahwa corak awal persyarikatan itu sedikit memudar karena spirit dagang tak lagi menjadi locus Muhammadiyah.
Mengingat banyak dihuni birokrat, kerja-kerja persyarikatan lebih banyak dipenuhi atribut birokrasi sehingga untuk mengumpulkan pimpinan perlu menyesuaikan waktu mereka. Arti pentingnya mental pedagang persyarikatan ini perlu mendapat perhatian serius generasi terkini. Pasalnya, melalui spirit tersebut bangunan sistem ekonomi persyarikatan dapat kembali tegak.
Muhammadiyah tak perlu meminta-minta ke pemerintah untuk terus berkarya dalam bidang kemasyarakatan. Gerakan kultural Muhammadiyah dibangun dari amal usaha dalam bidang pendidikan. Muhammadiyah menjadi sumber inspirasi dunia dalam menjalankan ranah itu. Sekolah Muhammadiyah tumbuh dan berkembang dengan corak khasnya.
Sekolah ormas itu yang pada awal pendiriannya ala Barat kini bermetamorfosis menjadi lembaga unggulan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Namun kini kehadiran sekolah Muhammadiyah tersaingi sekolah lain, semisal sekolah internasional Gulen Movement sehingga sekolah Muhammadiyah kerap dianggap nomor dua. Apalagi kini pemerintah menggalakkan sekolah negeri gratis. Banyak orang tak lagi memercayakan putra-putrinya dididik oleh sekolah Muhammadiyah. Inilah tantangan dalam bidang kultural (pendidikan) untuk bisa kembali menampilkan keunggulan di bidang pendidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Selamat Milad Ke-102 Muhammadiyah, jayalah persyarikatan. (10)
"Wacana", Suara Merdeka, Selasa, 18 November 2014.
“Mengingat banyak dihuni birokrat, kerja-kerja persyarikatan saat ini lebih banyak dipenuhi atribut birokrasi”
MUHAMMADIYAH telah memasuki abad II. Tantangan dakwah abad ini tentu tak kalah rumit dibanding abad I. Pasalnya, Muhammadiyah tidak lagi berdiri sebagai ormas modern berbasis sosial kemasyarakatan di Indonesia tapi harus berhadapan dengan berbagai persoalan serius internasional. Persoalan internasional itu merupakan peluang bagi Muhammadiyah untuk makin berkiprah untuk umat.
Dengan bekal pengalaman seabad berorganisasi, Muhammadiyah diharapkan mampu mewarnai jagat pemikiran dan praksis sosial yang dibawanya sebagai role model. Ia bisa menghadapi masalah dan tantangan yang mengadang, betapa pun kompleksnya. Optimisme itu —meminjam istilah Haedar Nashir (2011)— dengan fondasi ideologi reformis dan moderat yang jadi karakter gerakannya plus pandangan Islam yang berkemajuan dan berbagai potensi SDM, amal usaha, dan jaringan.
Tantangan Muhammadiyah adalah mencoba memberikan sesuatu kepada publik internasional dengan modal sosial yang telah dimiliki. Setidak-tidaknya, dapat berperan dalam tiga hal utama, yakni ranah politik, ekonomi, dan kultural. Ranah politik merupakan kajian terhadap pilihan politik Muhammadiyah sejak awal pendiriannya. Seperti saat Kiai Dahlan ìberkompromiì dengan pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan cap ìlegalî pendirian sebuah ormas.
Kiai Dahlan perlu membangun kekuatan di Boedi Oetomo guna memperkuat dukungan agar Muhammadiyah tidak mendapatkan resistensi dari pemerintah kolonial. Dalam perjalanan selanjutnya, Muhammadiyah turut serta dalam kancah politik tahun 1955. Muhammadiyah menjadi anggota aktif Partai Masyumi dengan semboyan ìBerpolitik dengan Masyumi, Berdakwah dengan Muhammadiyahî. Peran kebangsaan dalam bidang politik pun terus bergulir pada era Orde Baru, tatkala Kiai AR Fachruddin menerima asas tunggal Pancasila. Pak AR, sapaan ketua terlama PPMuhammadiyah itu, dengan lobi kuat menelurkan istilah politik helm, yang menjadi cara untuk mendekatkan diri kepada pemerintah. Melalui ijtihad itu, Muhammadiyah pun selamat dari ìpemberedelanî ala Soeharto.
Ijtihad politik itu kini memasuki jihad konstitusi. PPMuhammadiyah mengajukan serangkaian uji materi kepada Mahkamah Konstitusi terkait UU yang tak berpihak kepada umat, seperti UU Migas. Ranah ekonomi merupakan kajian terhadap sistem ekonomi Muhammadiyah, ormas pemilik amal usaha terbanyak di dunia. Amal usaha itu merupakan sistem ekonomi yang tak dimiliki ormas lain. Sistem ekonomi yang tak bergantung mutlak kepada pemerintah inilah yang menguatkan jejaring ormas tersebut.
Merunut ke belakang, Kiai Dahlan sebagai founding father mengajarkan bahwa ekonomi umat harus dibangun sebagai implementasi teologi al-Maun dan al- Ashr. Ekonomi umat Muhammadiyah selayaknya kuat untuk menopang sistem ibadat yang membutuhkan uang. Pasalnya, setelah shalat kita diperintah-Nya membayar zakat. Itu artinya, umat Muhammadiyah diperintahkan jadi ”orang kaya” supaya mampu menghidupi diri dan orang lain melalui teologi filantropinya. Menyesuaikan Waktu Menilik sejarah, pada awal pembentukannya Muhammadiyah dikomandani para pedagang, yang kemudian menjadi penopang persyarikatan.
Berbekal spirit dan mentalnya, mereka menjadi lokomotif dakwah dan penyebaran Muhammadiyah ke seluruh penjuru negeri. Namun kini, etos dagang itu sedikit memudar. Pimpinan Muhammadiyah lebih banyak jadi birokrat (PNS), dan ini mengundang kritik. Mitsuo Nakamura misalnya, mengkritik dengan mengatakan bahwa corak awal persyarikatan itu sedikit memudar karena spirit dagang tak lagi menjadi locus Muhammadiyah.
Mengingat banyak dihuni birokrat, kerja-kerja persyarikatan lebih banyak dipenuhi atribut birokrasi sehingga untuk mengumpulkan pimpinan perlu menyesuaikan waktu mereka. Arti pentingnya mental pedagang persyarikatan ini perlu mendapat perhatian serius generasi terkini. Pasalnya, melalui spirit tersebut bangunan sistem ekonomi persyarikatan dapat kembali tegak.
Muhammadiyah tak perlu meminta-minta ke pemerintah untuk terus berkarya dalam bidang kemasyarakatan. Gerakan kultural Muhammadiyah dibangun dari amal usaha dalam bidang pendidikan. Muhammadiyah menjadi sumber inspirasi dunia dalam menjalankan ranah itu. Sekolah Muhammadiyah tumbuh dan berkembang dengan corak khasnya.
Sekolah ormas itu yang pada awal pendiriannya ala Barat kini bermetamorfosis menjadi lembaga unggulan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Namun kini kehadiran sekolah Muhammadiyah tersaingi sekolah lain, semisal sekolah internasional Gulen Movement sehingga sekolah Muhammadiyah kerap dianggap nomor dua. Apalagi kini pemerintah menggalakkan sekolah negeri gratis. Banyak orang tak lagi memercayakan putra-putrinya dididik oleh sekolah Muhammadiyah. Inilah tantangan dalam bidang kultural (pendidikan) untuk bisa kembali menampilkan keunggulan di bidang pendidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Selamat Milad Ke-102 Muhammadiyah, jayalah persyarikatan. (10)
Muhammadiyah dan Kabinet
Oleh Benni Setiawan
"Pendapat" Koran Tempo, Selasa, 18 November 2014
Sejak awal, doktrin perserikatan Muhammadiyah adalah gerakan sosial kemasyarakatan amar makruf nahi mungkar. Khitah Denpasar, Bali, pada 2002, memuat pernyataan, "Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat, sebagaimana tujuan Muhammadiyah mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya."
Pernyataan itu merupakan jiwa Muhammadiyah. Khitah tersebut menjadi panduan dan gerak langkah perserikatan yang kini berusia 102 tahun (18 November 1912-18 November 2014). Khitah itu juga menjadi semangat Muhammadiyah untuk terus berkarya (work) dan bertindak (action) untuk bangsa dan negara.
Kekaryaan dan tindakan Muhammadiyah tak akan pernah surut. Walaupun Muhammadiyah kini tak mempunyai seorang kader pun di Kabinet Kerja Jokowi-JK. Ketiadaan kader Muhammadiyah dalam kabinet Jokowi tak akan menyurutkan langkah persemaian peradaban membangun masyarakat.
M. Amien Rais (2009) menyebutkan, membangun masyarakat lebih sulit daripada membangun negara. Membangun negara memang lewat pemegangan kekuasaan dari sebuah bangsa. Muhammadiyah tidak percaya bahwa misi keislaman Muhammadiyah bisa dilaksanakan semata-mata lewat kekuasaan. Kekuasaan itu sesuatu yang sifatnya sangat rapuh. Tapi masyarakat itu jauh lebih lestari. Pasalnya, masyarakat adalah kumpulan dari tiap individu yang membentuk sebuah bangsa dengan segala macam aspirasi, impian, dan cita-cita.
Membangun masyarakat, melalui amal usaha, menjadi pilihan Muhammadiyah dalam membangun kebangsaan. Muhammadiyah tak akan kekurangan saat tak memiliki wakil di pemerintahan. Muhammadiyah pun tak akan merengek kepada penguasa agar memberi "jatah" kepada organisasi modern pemilik amal usaha terbanyak di dunia ini.
Kekuasaan bagi Muhammadiyah bukanlah "selendang kebesaran". Selendang kebesaran Muhammadiyah adalah mewujudkan cita mulia membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yaitu masyarakat yang terbangun atas transformasi gagasan, keilmuan, dan amal saleh berbasis kemanusiaan.
Inilah perjuangan Muhammadiyah berbasis teologi al-Maun dan al-Ashr. Muhammadiyah berjuang melalui jalan sunyi. Jalan sunyi ini tak akan pernah menghilangkan entitas Muhammadiyah dalam kebangsaan. Bahkan jalan sunyi inilah yang menjadikan di setiap derap langkah bangsa dan negara senantiasa ada jejak dan peran Muhammadiyah.
Meminjam istilah Ahmad Syafii Maarif, inilah politik garam Muhammadiyah. Muhammadiyah senantiasa menjadi bagian penting dalam proses kebangsaan. Ia tak terlihat, namun terasa. Muhammadiyah menjauhi politik gincu, politik lipstik penuh tipu daya, politik yang menjadikan seseorang harus terbungkus dan menjadi orang lain untuk mendapatkan "kekuasaan".
Karena itu, saat kader Muhammadiyah tak menduduki pos kementerian, hal itu bukanlah akhir dari proses pengabdian. Muhammadiyah telah membina masyarakat jauh sebelum Republik Indonesia lahir. Proses kreatif Muhammadiyah itu membuktikan bahwa perserikatan "dapat hidup" tanpa harus menduduki posisi sentral dalam rahim kekuasaan.
Pada akhirnya, peran kebangsaan membangun masyarakat menjadi lokus tindakan Muhammadiyah. Muhammadiyah sejak awal memposisikan diri sebagai pegiat civil society. *
"Pendapat" Koran Tempo, Selasa, 18 November 2014
Sejak awal, doktrin perserikatan Muhammadiyah adalah gerakan sosial kemasyarakatan amar makruf nahi mungkar. Khitah Denpasar, Bali, pada 2002, memuat pernyataan, "Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat, sebagaimana tujuan Muhammadiyah mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya."
Pernyataan itu merupakan jiwa Muhammadiyah. Khitah tersebut menjadi panduan dan gerak langkah perserikatan yang kini berusia 102 tahun (18 November 1912-18 November 2014). Khitah itu juga menjadi semangat Muhammadiyah untuk terus berkarya (work) dan bertindak (action) untuk bangsa dan negara.
Kekaryaan dan tindakan Muhammadiyah tak akan pernah surut. Walaupun Muhammadiyah kini tak mempunyai seorang kader pun di Kabinet Kerja Jokowi-JK. Ketiadaan kader Muhammadiyah dalam kabinet Jokowi tak akan menyurutkan langkah persemaian peradaban membangun masyarakat.
M. Amien Rais (2009) menyebutkan, membangun masyarakat lebih sulit daripada membangun negara. Membangun negara memang lewat pemegangan kekuasaan dari sebuah bangsa. Muhammadiyah tidak percaya bahwa misi keislaman Muhammadiyah bisa dilaksanakan semata-mata lewat kekuasaan. Kekuasaan itu sesuatu yang sifatnya sangat rapuh. Tapi masyarakat itu jauh lebih lestari. Pasalnya, masyarakat adalah kumpulan dari tiap individu yang membentuk sebuah bangsa dengan segala macam aspirasi, impian, dan cita-cita.
Membangun masyarakat, melalui amal usaha, menjadi pilihan Muhammadiyah dalam membangun kebangsaan. Muhammadiyah tak akan kekurangan saat tak memiliki wakil di pemerintahan. Muhammadiyah pun tak akan merengek kepada penguasa agar memberi "jatah" kepada organisasi modern pemilik amal usaha terbanyak di dunia ini.
Kekuasaan bagi Muhammadiyah bukanlah "selendang kebesaran". Selendang kebesaran Muhammadiyah adalah mewujudkan cita mulia membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yaitu masyarakat yang terbangun atas transformasi gagasan, keilmuan, dan amal saleh berbasis kemanusiaan.
Inilah perjuangan Muhammadiyah berbasis teologi al-Maun dan al-Ashr. Muhammadiyah berjuang melalui jalan sunyi. Jalan sunyi ini tak akan pernah menghilangkan entitas Muhammadiyah dalam kebangsaan. Bahkan jalan sunyi inilah yang menjadikan di setiap derap langkah bangsa dan negara senantiasa ada jejak dan peran Muhammadiyah.
Meminjam istilah Ahmad Syafii Maarif, inilah politik garam Muhammadiyah. Muhammadiyah senantiasa menjadi bagian penting dalam proses kebangsaan. Ia tak terlihat, namun terasa. Muhammadiyah menjauhi politik gincu, politik lipstik penuh tipu daya, politik yang menjadikan seseorang harus terbungkus dan menjadi orang lain untuk mendapatkan "kekuasaan".
Karena itu, saat kader Muhammadiyah tak menduduki pos kementerian, hal itu bukanlah akhir dari proses pengabdian. Muhammadiyah telah membina masyarakat jauh sebelum Republik Indonesia lahir. Proses kreatif Muhammadiyah itu membuktikan bahwa perserikatan "dapat hidup" tanpa harus menduduki posisi sentral dalam rahim kekuasaan.
Pada akhirnya, peran kebangsaan membangun masyarakat menjadi lokus tindakan Muhammadiyah. Muhammadiyah sejak awal memposisikan diri sebagai pegiat civil society. *
Minggu, 09 November 2014
Muhammadiyah dan Kabinet Kerja
oleh Benni Setiawan*)
"Opini" Kedaulatan Rakyat, Jumat Kliwon, 7 November 2014. Halaman 12.
Tulisan Mukhijab, “Muhammadiyah dan Kekuasaan Jokowi’, KR, 3 November 2014 menyarankan agar Persyarikatan melakukan metamorfosis dalam politik. Ia menyatakan menjadi penonton tak selamanya enak. Bagi dosen Universitas Islam Indonesia ini, Muhammadiyah perlu masuk dalam pusaran politik agar tidak terjadi manipulasi kekuasaan politik.
Bagi saya, Muhammadiyah tidak perlu melakukan itu. Karena Khittah Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai organisasi sosial masyarakat. Tanpa masuk politik pun, Muhammadiyah dapat berkhidmat dalam proses kebangsaan.
Muhammadiyah, sejak era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang tak lagi mendapat “jatah menteri”. Bahkan, banyak pengamat menyebut hubungan SBY dengan Muhammadiyah sempat renggang. Hal itu dibuktikan dengan banyak kegiatan utama Muhammadiyah tak dihadiri secara langsung oleh Presiden.
Setelah era SBY berakhir, warga Persyarikatan dapat menjalin hubungan baik dengan pemerintahan baru. Geliat politik yang dimotori Dien Syamsuddin (sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah) dan Ahmad Syafii Maarif, mengguratkan sebuah cita, hubungan ini akan mulus dan baik. Namun, setelah pengumuman Kabinet Kerja, tampaknya Muhammadiyah belum mendapat tempat istimewa di Republik. Padahal, Muhammadiyah telah berkarya dan bertindak melalui bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial yang diakui oleh dunia.
Namun, tak mendapatkan jatah menteri bukanlah akhir dari kisah pengabdian Muhammadiyah untuk bangsa dan negara. Muhammadiyah tidak akan kewirangan dan Kapiran tanpa masuk kabinet. Dalam konteks ora kewirangan (malu, aib), Muhammadiyah akan tetap berdiri tegak. Muhammadiyah tak akan mengemis jabatan. Kerja sosial Muhammadiyah yang dimulai oleh komunitas pedagang tak akan surut. Komunitas dagang bercorak (man action), akan menjadi spirit utama Persyarikatan.
Melalui semangat itu, Muhammadiyah tidak akan “kapiran”, miskin atau kekurangan. Bahkan, kerja Muhammadiyah akan semakin solid. Spirit “urunan” akan terus menggelora dalam detak jantung Persyarikatan. Spirit itulah yang hingga kini terpelihara dengan baik dalam rahim organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan lebih dari seabad lalu. Muhammadiyah mampu membangun sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi, rumah sakit, panti-panti sosial, berkat kerja keras seluruh lapisan persyarikatan.
Penyeimbang
Oleh karena itu, ketidakterwakilan Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja bukanlah kiamat. Muhammadiyah tetap terus berkarya membangun kebangsaan dan kemanusiaan. Muhammadiyah akan terus mendidik anak bangsa, menyantuni orang miskin, dan memberikan pelayanan maksimal kepada orang-orang yang sakit dengan spirit Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Muhammadiyah pun akan menjadi mitra strategis bagi pemerintah. Sebagaimana amanat Milad Muhammadiyah, Muhammadiyah akan menjadi pengingat dikala pemerintah lalai, penyemangat di kala lesu, penggerak di saat berhenti.
Posisi Muhammadiyah saat ini sangatlah strategis. Artinya, Muhammadiyah dapat bertindak sebagai “penyeimbang” jalannya pemerintahan Jokowi-JK. Penyeimbang bukan berarti oposisi, karena tugas itu telah melekat pada Koalisi Merah Putih (KMP). Penyeimbang di sini, merupakan kerja berbarengan, dalam ranah atau wilayah yang berbeda. Pemerintah mengurusi jajaran birokrasinya, Muhammadiyah membina umat (warga bangsa).
Muhammadiyah akan terus mengingatkan pemimpin saat ini untuk menjadi negarawan. Bukan pemimpin partisan yang bekerja untuk kepentingan diri sendiri dan golongan. Negarawan adalah mereka yang lantang menyuara perubahan dengan turut serta terjun di dalamnya. Mereka tidak hanya bekerja di balik meja dan setumpuk agenda rutinitas. Saat Jokowi-JK dan jajaran kabinetnya tak mampu mewujudkan itu. Berarti ia telah mengingkari janji kepemimpinan. Mereka seakan menjilat ludahnya sendiri. Kepemimpinan pun akan runtuh.
Keruntuhan Republik tentu akan berdampak kepada Muhammadiyah. Oleh karenanya,
Muhammadiyah akan terus menyokong Republik ini agar tetap tegak. Republik tak boleh ambruk oleh kepemimpinan yang rapuh. Muhammadiyah, akan menjadi kekuatan penyangga untuk meneguhkan entitas kebangsaan dan kenegaraan.
Pada akhirnya, ketiadaan kader Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja, tak akan menyurutkan langkah Persyarikatan berkarya dan bertindak nyata untuk bangsa. Muhammadiyah tak hanya sekadar bekerja. Namun, ia terus menyemai benih peradaban untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Wallahu a’lam.
"Opini" Kedaulatan Rakyat, Jumat Kliwon, 7 November 2014. Halaman 12.
Tulisan Mukhijab, “Muhammadiyah dan Kekuasaan Jokowi’, KR, 3 November 2014 menyarankan agar Persyarikatan melakukan metamorfosis dalam politik. Ia menyatakan menjadi penonton tak selamanya enak. Bagi dosen Universitas Islam Indonesia ini, Muhammadiyah perlu masuk dalam pusaran politik agar tidak terjadi manipulasi kekuasaan politik.
Bagi saya, Muhammadiyah tidak perlu melakukan itu. Karena Khittah Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai organisasi sosial masyarakat. Tanpa masuk politik pun, Muhammadiyah dapat berkhidmat dalam proses kebangsaan.
Muhammadiyah, sejak era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang tak lagi mendapat “jatah menteri”. Bahkan, banyak pengamat menyebut hubungan SBY dengan Muhammadiyah sempat renggang. Hal itu dibuktikan dengan banyak kegiatan utama Muhammadiyah tak dihadiri secara langsung oleh Presiden.
Setelah era SBY berakhir, warga Persyarikatan dapat menjalin hubungan baik dengan pemerintahan baru. Geliat politik yang dimotori Dien Syamsuddin (sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah) dan Ahmad Syafii Maarif, mengguratkan sebuah cita, hubungan ini akan mulus dan baik. Namun, setelah pengumuman Kabinet Kerja, tampaknya Muhammadiyah belum mendapat tempat istimewa di Republik. Padahal, Muhammadiyah telah berkarya dan bertindak melalui bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial yang diakui oleh dunia.
Namun, tak mendapatkan jatah menteri bukanlah akhir dari kisah pengabdian Muhammadiyah untuk bangsa dan negara. Muhammadiyah tidak akan kewirangan dan Kapiran tanpa masuk kabinet. Dalam konteks ora kewirangan (malu, aib), Muhammadiyah akan tetap berdiri tegak. Muhammadiyah tak akan mengemis jabatan. Kerja sosial Muhammadiyah yang dimulai oleh komunitas pedagang tak akan surut. Komunitas dagang bercorak (man action), akan menjadi spirit utama Persyarikatan.
Melalui semangat itu, Muhammadiyah tidak akan “kapiran”, miskin atau kekurangan. Bahkan, kerja Muhammadiyah akan semakin solid. Spirit “urunan” akan terus menggelora dalam detak jantung Persyarikatan. Spirit itulah yang hingga kini terpelihara dengan baik dalam rahim organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan lebih dari seabad lalu. Muhammadiyah mampu membangun sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi, rumah sakit, panti-panti sosial, berkat kerja keras seluruh lapisan persyarikatan.
Penyeimbang
Oleh karena itu, ketidakterwakilan Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja bukanlah kiamat. Muhammadiyah tetap terus berkarya membangun kebangsaan dan kemanusiaan. Muhammadiyah akan terus mendidik anak bangsa, menyantuni orang miskin, dan memberikan pelayanan maksimal kepada orang-orang yang sakit dengan spirit Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Muhammadiyah pun akan menjadi mitra strategis bagi pemerintah. Sebagaimana amanat Milad Muhammadiyah, Muhammadiyah akan menjadi pengingat dikala pemerintah lalai, penyemangat di kala lesu, penggerak di saat berhenti.
Posisi Muhammadiyah saat ini sangatlah strategis. Artinya, Muhammadiyah dapat bertindak sebagai “penyeimbang” jalannya pemerintahan Jokowi-JK. Penyeimbang bukan berarti oposisi, karena tugas itu telah melekat pada Koalisi Merah Putih (KMP). Penyeimbang di sini, merupakan kerja berbarengan, dalam ranah atau wilayah yang berbeda. Pemerintah mengurusi jajaran birokrasinya, Muhammadiyah membina umat (warga bangsa).
Muhammadiyah akan terus mengingatkan pemimpin saat ini untuk menjadi negarawan. Bukan pemimpin partisan yang bekerja untuk kepentingan diri sendiri dan golongan. Negarawan adalah mereka yang lantang menyuara perubahan dengan turut serta terjun di dalamnya. Mereka tidak hanya bekerja di balik meja dan setumpuk agenda rutinitas. Saat Jokowi-JK dan jajaran kabinetnya tak mampu mewujudkan itu. Berarti ia telah mengingkari janji kepemimpinan. Mereka seakan menjilat ludahnya sendiri. Kepemimpinan pun akan runtuh.
Keruntuhan Republik tentu akan berdampak kepada Muhammadiyah. Oleh karenanya,
Muhammadiyah akan terus menyokong Republik ini agar tetap tegak. Republik tak boleh ambruk oleh kepemimpinan yang rapuh. Muhammadiyah, akan menjadi kekuatan penyangga untuk meneguhkan entitas kebangsaan dan kenegaraan.
Pada akhirnya, ketiadaan kader Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja, tak akan menyurutkan langkah Persyarikatan berkarya dan bertindak nyata untuk bangsa. Muhammadiyah tak hanya sekadar bekerja. Namun, ia terus menyemai benih peradaban untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Wallahu a’lam.
Minggu, 03 Agustus 2014
Cinta untuk Gaza
Oleh Benni Setiawan
Pendapat Koran Tempo, Sabtu, 2 Agustus 2014
Konflik politik Israel dengan Palestina (Hamas) kembali pecah. Hingga, Rabu, 30 Juli 2014, operasi Israel berlabel "Operation Protective Edge" ini telah menewaskan lebih dari 1.200 jiwa.
Perang saudara Israel-Palestina tampaknya akan terus berlanjut. Kondisi demikian menggugah kesadaran berbagai kelompok untuk mendorong adanya rekonsiliasi. Salah satu tokoh penyeru perdamaian Israel-Palestina adalah Gilad Atzmon. Ia menyeru, Zionis Israel harus hengkang dari negara yang sejak 1948 dinamakan Israel itu. Dengan hengkangnya Zionisme, entah ke mana, akan tercipta sebuah negara Palestina merdeka, yang di dalamnya warga Yahudi dan Palestina dapat hidup damai dalam iklim demokrasi yang sehat dan modern, persis seperti era sebelum membanjirnya migran asing ke sana.
Migran Yahudi asing inilah yang bikin kacau, tidak saja di kawasan panas itu, tapi juga memiliki dampak global yang mencemaskan. Keberanian Gilad dalam menyuarakan kemerdekaan bangsa Palestina membuat ia disebut sebagai "anak haram Yahudi". Ia pun bangga ketika disebut self-halting Jew (Yahudi pembenci diri sendiri). Bagi Gilad, Zionisme yang rasis tidak mungkin menjadi bagian dari kemanusiaan, dan sangat mengancam perdamaian dunia. Pernyataan Gilad tersebut membenarkan pembelaan terhadap nasib rakyat Palestina (Ahmad Syafii Maarif, 2012).
Selain upaya yang telah dilakukan Gilad tersebut, tampaknya perlu adanya upaya untuk bertindak atas nama cinta untuk konflik berkepanjangan ini. Menurut Benny Susetyo, gerakan atas nama cinta itulah yang membuat manusia tidak buas terhadap sesama. Israel sudah hampir kehilangan cintanya terhadap sesama saudaranya di Palestina. Israel telah buta hati dan beku nuraninya jika tak menghentikan kekerasan ini. Tindakan Israel adalah tindakan yang tidak mengenal moralitas cinta. Sanksi terberat dari kaum barbar adalah dikucilkan dari pergaulan internasional. Sikap sok kuasa kaum Israel telah melenyapkan semua. Mereka merasa hanya dirinya yang jagoan.
Karena itu, sudah saatnya seluruh umat manusia mampu berpikir, berbuat, serta bertindak nyata untuk kemanusiaan. Bertindak atas nama cinta sebagai solidaritas kemanusiaan terhadap warga sipil di Palestina.
Mengucilkan Israel merupakan bentuk solidaritas nyata atas aksi brutal Zionis terhadap bangsa Palestina. Aksi babar Israel yang juga tidak mengindahkan seruan dunia merupakan teror terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasalnya, Israel bertindak atas nalar kekerasan, kebengisan, dan menghalalkan darah sesama serta tak mengindahkan perdamaian dunia.
Nalar kekerasan harus dilawan dengan nalar kebenaran, cinta, dan mau hidup damai dalam bingkai kemanusiaan. Bangunan kemanusiaan selayaknya menjadi spirit seluruh bangsa untuk mengecam aksi barbar Zionis Israel.
Kecaman terhadap Israel bukan didasarkan pada kebencian atas nama agama. Namun, aksi ini merupakan protes terhadap tindakan barbar Israel yang telah membunuh manusia demi ambisi menguasai sebuah wilayah.
Inilah mesiu cinta yang dapat kita kirimkan ke Jalur Gaza untuk meredam konflik berkepanjangan. Hanya cintalah yang mampu melakukan itu. Sebab, cinta itu menenteramkan dan menyemai keadilan yang beradab.
Pendapat Koran Tempo, Sabtu, 2 Agustus 2014
Konflik politik Israel dengan Palestina (Hamas) kembali pecah. Hingga, Rabu, 30 Juli 2014, operasi Israel berlabel "Operation Protective Edge" ini telah menewaskan lebih dari 1.200 jiwa.
Perang saudara Israel-Palestina tampaknya akan terus berlanjut. Kondisi demikian menggugah kesadaran berbagai kelompok untuk mendorong adanya rekonsiliasi. Salah satu tokoh penyeru perdamaian Israel-Palestina adalah Gilad Atzmon. Ia menyeru, Zionis Israel harus hengkang dari negara yang sejak 1948 dinamakan Israel itu. Dengan hengkangnya Zionisme, entah ke mana, akan tercipta sebuah negara Palestina merdeka, yang di dalamnya warga Yahudi dan Palestina dapat hidup damai dalam iklim demokrasi yang sehat dan modern, persis seperti era sebelum membanjirnya migran asing ke sana.
Migran Yahudi asing inilah yang bikin kacau, tidak saja di kawasan panas itu, tapi juga memiliki dampak global yang mencemaskan. Keberanian Gilad dalam menyuarakan kemerdekaan bangsa Palestina membuat ia disebut sebagai "anak haram Yahudi". Ia pun bangga ketika disebut self-halting Jew (Yahudi pembenci diri sendiri). Bagi Gilad, Zionisme yang rasis tidak mungkin menjadi bagian dari kemanusiaan, dan sangat mengancam perdamaian dunia. Pernyataan Gilad tersebut membenarkan pembelaan terhadap nasib rakyat Palestina (Ahmad Syafii Maarif, 2012).
Selain upaya yang telah dilakukan Gilad tersebut, tampaknya perlu adanya upaya untuk bertindak atas nama cinta untuk konflik berkepanjangan ini. Menurut Benny Susetyo, gerakan atas nama cinta itulah yang membuat manusia tidak buas terhadap sesama. Israel sudah hampir kehilangan cintanya terhadap sesama saudaranya di Palestina. Israel telah buta hati dan beku nuraninya jika tak menghentikan kekerasan ini. Tindakan Israel adalah tindakan yang tidak mengenal moralitas cinta. Sanksi terberat dari kaum barbar adalah dikucilkan dari pergaulan internasional. Sikap sok kuasa kaum Israel telah melenyapkan semua. Mereka merasa hanya dirinya yang jagoan.
Karena itu, sudah saatnya seluruh umat manusia mampu berpikir, berbuat, serta bertindak nyata untuk kemanusiaan. Bertindak atas nama cinta sebagai solidaritas kemanusiaan terhadap warga sipil di Palestina.
Mengucilkan Israel merupakan bentuk solidaritas nyata atas aksi brutal Zionis terhadap bangsa Palestina. Aksi babar Israel yang juga tidak mengindahkan seruan dunia merupakan teror terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasalnya, Israel bertindak atas nalar kekerasan, kebengisan, dan menghalalkan darah sesama serta tak mengindahkan perdamaian dunia.
Nalar kekerasan harus dilawan dengan nalar kebenaran, cinta, dan mau hidup damai dalam bingkai kemanusiaan. Bangunan kemanusiaan selayaknya menjadi spirit seluruh bangsa untuk mengecam aksi barbar Zionis Israel.
Kecaman terhadap Israel bukan didasarkan pada kebencian atas nama agama. Namun, aksi ini merupakan protes terhadap tindakan barbar Israel yang telah membunuh manusia demi ambisi menguasai sebuah wilayah.
Inilah mesiu cinta yang dapat kita kirimkan ke Jalur Gaza untuk meredam konflik berkepanjangan. Hanya cintalah yang mampu melakukan itu. Sebab, cinta itu menenteramkan dan menyemai keadilan yang beradab.
Petaka Mudik
Oleh Benni Setiawan
Opini, Sinar Harapan, Kamis, 31 Juli 2014
"Kematian super dahsyat di masa mudik Lebaran masihkah dianggap hal biasa atau wajar?"
Musim mudik Lebaran telah tiba. Masyarakat siap berbondong menuju rumah asal. Keriangan pun tampak dari wajah mereka. Namun, sering keriangan itu berujung kesedihan karena anggota keluarga meninggal di jalan raya.
Berdasarkan data Polri, jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada Lebaran 2011 mencapai 4.744 kasus dan meningkat 10,3 persen menjadi 5.233 kasus pada 2012. Dari jumlah tersebut, kasus kecelakaan yang melibatkan sepeda motor mendominasi pada 2011 dan 2012 masing-masing mencapai 76 persen dan 72 persen.
Dari jumlah kecelakaan itu, setidaknya lebih dari 908 orang meninggal dunia dalam rentang 14 hari (H-7 sampai H+7 Lebaran). Berarti, rata-rata setiap hari ada sekitar 60 lebih manusia meninggal sia-sia di jalan. Pada Lebaran 2013, tercatat terjadi 3.061 kecelakaan, dengan rincian 686 orang meninggal dunia, 1.120 orang luka berat, dan 4.034 mengalami luka ringan.
Sebuah bencana yang sering tidak pernah kita sadari. Jika dilihat usianya, korban kecelakaan rata-rata usia produktif dan menjadi tulang punggung keluarganya. Sebuah potret pematian generasi muda bangsa Indonesia.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kenapa kematian di jalan senantiasa meningkat dari tahun ke tahun? Masihkah kematian super dahsyat ini dianggap hal biasa atau wajar?
Budaya Negatif
Samuel Huntington dan Lawrence Harison dalam Culture Matters (2000) menyatakan, sampai saat ini kita masih dihantui budaya negatif. Budaya negatif mengiring imajinasi kita menuju pemahaman yang simpel dan sederhana (baca, menyederhanakan persoalan dan masalah).
Dalam hal meninggal di jalan, kita menganggap kecelakaan yang menewaskan ratusan orang dalam waktu singkat sebagai sebuah kewajaran dan hal biasa.
“Siapa suruh mati di jalan”.
Bahkan, dalam bahasa pemerintah, meninggal di jalan merupakan pilihan hidup di tengah ketidakberdayaan menyediakan angkutan massal yang aman dan ramah.
Ini kesalahan rakyat, bukan tanggung jawab pemerintah, celetuk sang penguasa. Pemerintah selalu beralasan telah menyediakan tambahan gerbong dan keberangkatan kereta api guna mengantisipasi lonjakan penumpang; Juga menyediakan kapal TNI Angkatan Laut untuk mengangkut pemudik sepeda motor secara gratis menuju kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sikap pesimistis dan acuh inilah yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dalam arus mudik dan balik Lebaran senantiasa meninggi dari tahun ke tahun. Pemerintah seperti membiarkan semua ini terjadi tanpa berusaha berbuat dengan kuasanya.
Kuasa untuk menjalankan mandat rakyat hanya mewujud dalam mengeruk kekayaan nasional guna memenuhi kantor pribadi dan partai politik pendukung. Kuasa kesejahteraan sosial untuk peri kehidupan yang lebih baik hanya mewujud dalam catatan sidang atau lampiran teks pidato.
Pemerintah selalu saja bergeming ketika ditanya, mengapa perbaikan jalan selalu saja mendekati Lebaran? Mengapa tidak jauh-jauh hari? Mengapa meningkatnya jumlah pemudik selalu diantisipasi dengan cara-cara instan dan jauh dari pemanusiaan manusia merdeka?
Pemerintah sepertinya membiarkan rakyat terkapar mati di jalan raya. Nyawa manusia merdeka tampaknya tidak mendapat penghargaan atas nama kemanusiaan. Sebuah potret betapa bengisnya tatanan sosial pemerintah di Republik ini.
Budaya negatif ini sudah selayaknya dibongkar. Pasalnya, ia bertentangan dengan semangat falsafah bangsa Indonesia. Falsafah bangsa mengajarkan menghargai dan menghormati hak hidup dan peri kehidupan yang layak. Bukan membiarkan seseorang meninggal di tengah ketidakberdayaan.
Budaya negatif pun menghambat kemajuan bangsa. Bangsa Indonesia akan sulit bersaing di kancah internasional karena menganggap sesuatu sebagai sebuah kewajaran tanpa ingin mengetahui mengapa hal tersebut terjadi.
Budaya Progresif
Proses kreatif perlu mendapat sokongan di tengah semakin masifnya perilaku instan di negeri ini. Manusia Indonesia yang suka foya-foya tanpa bekerja keras, menerabas dan berperilaku curang, sebagaimana penilaian Mochtar Lubis sekian tahun silam, perlu disadarkan untuk bangkit dengan budaya progresif. Budaya progresif adalah berhenti menyalahkan orang lain sebagai sumber bencana. Dalam hal kecelakaan lalu lintas, human error bukanlah alasan pembenar atas meningkatnya jumlah korban.
Pemerintah sudah selayaknya melibatkan seluruh potensi bangsa guna mencegah semakin banyaknya manusia meninggal di jalan raya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah selayaknya terus memacu pendidikan keselamatan di jalan raya. Salah satunya dengan mendidik anak bangsa untuk tertib berlalu lintas sejak dini. Pengenalan rambu lalu lintas dan perilaku sopan di jalan pada tingkat taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD) akan membekas hingga dewasa kelak. Inilah proses pendidikan sesungguhnya sebagaimana disinyalir Romo YB Mangunwijaya.
Kementerian Pekerjaan Umum sudah selayaknya menggejarkan proyek perbaikan jalan jauh-jauh hari sebelum Lebaran. Kerja Dinas PU pun akan lancar tentunya karena dana dari APBN cair tepat waktu. Tugas presiden dan DPR untuk tidak bertele-tele dalam proses penganggaran dan pencairan dana.
Demikian pula dengan Kementerian Perhubungan. Kerja nyata menyiapkan moda transportasi massal yang nyaman dan ramah menjadi sebuah keniscayaan. Tanpa hal yang demikian, masyarakat akan tetap menggunakan sepeda motor sebagai pilihan pahit untuk mudik Lebaran.
Akhirnya, meninggal di jalan saat mudik tentu bukanlah pilihan. Niatan mulia untuk menjalin komunikasi dengan sanak saudara di desa sudah selayaknya mendapat perhatian ekstra dari pemerintah. Bukan dengan membiarkan mereka terkapar dalam ketidakberdayaan. Tanpa hal demikian, pemerintah sedang “merayakan” petaka mudik yang selalu terulang dari tahun ke tahun.
Opini, Sinar Harapan, Kamis, 31 Juli 2014
"Kematian super dahsyat di masa mudik Lebaran masihkah dianggap hal biasa atau wajar?"
Musim mudik Lebaran telah tiba. Masyarakat siap berbondong menuju rumah asal. Keriangan pun tampak dari wajah mereka. Namun, sering keriangan itu berujung kesedihan karena anggota keluarga meninggal di jalan raya.
Berdasarkan data Polri, jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada Lebaran 2011 mencapai 4.744 kasus dan meningkat 10,3 persen menjadi 5.233 kasus pada 2012. Dari jumlah tersebut, kasus kecelakaan yang melibatkan sepeda motor mendominasi pada 2011 dan 2012 masing-masing mencapai 76 persen dan 72 persen.
Dari jumlah kecelakaan itu, setidaknya lebih dari 908 orang meninggal dunia dalam rentang 14 hari (H-7 sampai H+7 Lebaran). Berarti, rata-rata setiap hari ada sekitar 60 lebih manusia meninggal sia-sia di jalan. Pada Lebaran 2013, tercatat terjadi 3.061 kecelakaan, dengan rincian 686 orang meninggal dunia, 1.120 orang luka berat, dan 4.034 mengalami luka ringan.
Sebuah bencana yang sering tidak pernah kita sadari. Jika dilihat usianya, korban kecelakaan rata-rata usia produktif dan menjadi tulang punggung keluarganya. Sebuah potret pematian generasi muda bangsa Indonesia.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kenapa kematian di jalan senantiasa meningkat dari tahun ke tahun? Masihkah kematian super dahsyat ini dianggap hal biasa atau wajar?
Budaya Negatif
Samuel Huntington dan Lawrence Harison dalam Culture Matters (2000) menyatakan, sampai saat ini kita masih dihantui budaya negatif. Budaya negatif mengiring imajinasi kita menuju pemahaman yang simpel dan sederhana (baca, menyederhanakan persoalan dan masalah).
Dalam hal meninggal di jalan, kita menganggap kecelakaan yang menewaskan ratusan orang dalam waktu singkat sebagai sebuah kewajaran dan hal biasa.
“Siapa suruh mati di jalan”.
Bahkan, dalam bahasa pemerintah, meninggal di jalan merupakan pilihan hidup di tengah ketidakberdayaan menyediakan angkutan massal yang aman dan ramah.
Ini kesalahan rakyat, bukan tanggung jawab pemerintah, celetuk sang penguasa. Pemerintah selalu beralasan telah menyediakan tambahan gerbong dan keberangkatan kereta api guna mengantisipasi lonjakan penumpang; Juga menyediakan kapal TNI Angkatan Laut untuk mengangkut pemudik sepeda motor secara gratis menuju kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sikap pesimistis dan acuh inilah yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dalam arus mudik dan balik Lebaran senantiasa meninggi dari tahun ke tahun. Pemerintah seperti membiarkan semua ini terjadi tanpa berusaha berbuat dengan kuasanya.
Kuasa untuk menjalankan mandat rakyat hanya mewujud dalam mengeruk kekayaan nasional guna memenuhi kantor pribadi dan partai politik pendukung. Kuasa kesejahteraan sosial untuk peri kehidupan yang lebih baik hanya mewujud dalam catatan sidang atau lampiran teks pidato.
Pemerintah selalu saja bergeming ketika ditanya, mengapa perbaikan jalan selalu saja mendekati Lebaran? Mengapa tidak jauh-jauh hari? Mengapa meningkatnya jumlah pemudik selalu diantisipasi dengan cara-cara instan dan jauh dari pemanusiaan manusia merdeka?
Pemerintah sepertinya membiarkan rakyat terkapar mati di jalan raya. Nyawa manusia merdeka tampaknya tidak mendapat penghargaan atas nama kemanusiaan. Sebuah potret betapa bengisnya tatanan sosial pemerintah di Republik ini.
Budaya negatif ini sudah selayaknya dibongkar. Pasalnya, ia bertentangan dengan semangat falsafah bangsa Indonesia. Falsafah bangsa mengajarkan menghargai dan menghormati hak hidup dan peri kehidupan yang layak. Bukan membiarkan seseorang meninggal di tengah ketidakberdayaan.
Budaya negatif pun menghambat kemajuan bangsa. Bangsa Indonesia akan sulit bersaing di kancah internasional karena menganggap sesuatu sebagai sebuah kewajaran tanpa ingin mengetahui mengapa hal tersebut terjadi.
Budaya Progresif
Proses kreatif perlu mendapat sokongan di tengah semakin masifnya perilaku instan di negeri ini. Manusia Indonesia yang suka foya-foya tanpa bekerja keras, menerabas dan berperilaku curang, sebagaimana penilaian Mochtar Lubis sekian tahun silam, perlu disadarkan untuk bangkit dengan budaya progresif. Budaya progresif adalah berhenti menyalahkan orang lain sebagai sumber bencana. Dalam hal kecelakaan lalu lintas, human error bukanlah alasan pembenar atas meningkatnya jumlah korban.
Pemerintah sudah selayaknya melibatkan seluruh potensi bangsa guna mencegah semakin banyaknya manusia meninggal di jalan raya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah selayaknya terus memacu pendidikan keselamatan di jalan raya. Salah satunya dengan mendidik anak bangsa untuk tertib berlalu lintas sejak dini. Pengenalan rambu lalu lintas dan perilaku sopan di jalan pada tingkat taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD) akan membekas hingga dewasa kelak. Inilah proses pendidikan sesungguhnya sebagaimana disinyalir Romo YB Mangunwijaya.
Kementerian Pekerjaan Umum sudah selayaknya menggejarkan proyek perbaikan jalan jauh-jauh hari sebelum Lebaran. Kerja Dinas PU pun akan lancar tentunya karena dana dari APBN cair tepat waktu. Tugas presiden dan DPR untuk tidak bertele-tele dalam proses penganggaran dan pencairan dana.
Demikian pula dengan Kementerian Perhubungan. Kerja nyata menyiapkan moda transportasi massal yang nyaman dan ramah menjadi sebuah keniscayaan. Tanpa hal yang demikian, masyarakat akan tetap menggunakan sepeda motor sebagai pilihan pahit untuk mudik Lebaran.
Akhirnya, meninggal di jalan saat mudik tentu bukanlah pilihan. Niatan mulia untuk menjalin komunikasi dengan sanak saudara di desa sudah selayaknya mendapat perhatian ekstra dari pemerintah. Bukan dengan membiarkan mereka terkapar dalam ketidakberdayaan. Tanpa hal demikian, pemerintah sedang “merayakan” petaka mudik yang selalu terulang dari tahun ke tahun.
Kamis, 10 Juli 2014
Membajak Momentum Ramadan
Oleh Benni Setiawan*)
"Opini" Sinar Harapan, Kamis, 10 Juli 2014
Televisi telah membutakan manusia. Ia telah menjadi Tuhan baru di tengah kemajuan zaman yang semakin cepat. Meminjam istilah Baudrilliard, manusia sekarang dipaksa untuk menonton televisi sampai mati. Setiap bangun tidur hingga tidur lagi selalu saja ada acara dalam televisi, apalagi di bulan Ramadan. Ketika manusia sudah tertidur, mereka ditemani acara televisi yang selalu hidup hingga mereka terjaga lagi.
Setiap bulan Ramadan layar televisi kita selalu dipenuhi atribut atau tanda Islami. Ironisnya yang disebut tanda Islami tidak jauh dari dari sinetron, lawak, ceramah agama, konser musik, dan reality show. Semua dikemas secara cantik, sehingga banyak orang terbuai olehnya.
Buaian yang melenakan ini kemudian menyesak memenuhi relung jiwa sehingga kita tidak sadar. Kita menjadi manusia terlena dan tidak mampu berbuat apa-apa, hanya menerima (nrimo).
Serangkaian acara televisi bergenre agama pun tetap memenuhi ruang utama rumah kita. Ironisnya, acara-acara tersebut tidak satu pun mampu dijadikan teladan ataupun contoh. Acara bergenre religi seakan hanya menjual ayat-ayat Tuhan dengan harga yang murah.
Lebih lanjut, acara itu tak lebih mengerdilkan peran dan fungsi agama dalam kehidupan. Hal tersebut semakin diperparah tayangan komedi yang senantiasa mengiringi waktu sahur dan buka puasa. Seakan berlomba, stasiun televisi keranjingan menggaet artis untuk kesuksesan acara tersebut.
Namun, acara lawak yang dibawakan jauh dari makna sehat. Artinya, komedi yang dipertontonkan hanya mengumbar kekerasan dan bahasa-bahasa yang tak senonoh. Tentu hal itu jauh dari spirit puasa sebagai pendekatan diri kepada Sang Khalik. Pendek kata, puasa saat ini dipenuhi candaan yang tidak bermutu dan konsumerisme yang melenakan.
Mitos
Jean Baudrillard, dalam The Consumer Society: Myths & Structures, menganologikan konsumsi pada masyarakat masa kini dengan bahasa dan sistem tanda dalam masyarakat primitif. Manusia sepanjang masa membutuhkan suatu simbol yang dipuja dan disembah. Jika dahulu ada pohon, patung, hingga muncul cargo myth, masyarakat masa kini pun punya kultus-kultus sendiri seperti terhadap kemasan benda-benda, citra (image), televisi, serta terhadap konsep kemajuan (progress) dan pertumbuhan (growth) (Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, ed: 2005).
Kegelisahan Baudrillard ini semakin tampak ketika bulan Ramadan. Masyarakat disuguhkan sistem tanda yang menyesatkan. Contoh nyata adalah komedi, lawakan, kuis, dan acara-acara yang konon menjadi salah satu teman ketika sedang menjalankan puasa.
Acara komedi atau lawak yang ditayangkan mengiringi saat sahur dan menjelang buka puasa merupakan pukulan telak bagi orang berpuasa. Pasalnya, puasa merupakan sesuatu yang berat dan melelahkan. Jadi, masyarakat perlu dihibur dengan lelucon yang penuh dengan unsur kekerasan. Padahal, puasa merupakan ibadah yang menuntut manusia saleh secara individu dan sosial (dimensi sosial).
Tayangan komedi dalam kemasan Ramadan pun seakan telah dengan sengaja memukul batang hidung. Betapa dengan guyonan kita akan mampu menjalankan ibadah puasa dengan baik. Padahal sebagaimana hadis yang sering disampaikan dai di atas mimbar, bahwa banyak tertawa membuat hati kita keras. Tertawa secara berlebih, apalagi dengan adegan penuh kekerasan dan pelecehan terhadap martabat manusia akan menutupi jiwa berpikir jernih. Hati akan mati dan tidak mampu membedakan antara haq dan bathil (benar dan salah).
Tentunya hal tersebut sangat bertolak belakang dengan semangat puasa. Puasa merupakan wahana olah batin melalui menahan untuk tidak makan minum selama lebih dari 12 jam. Menahan makan dan minum berarti kita mengekang nafsu untuk tidak terus memasukkan makanan ke dalam perut.
Dengan posisi lapar, seseorang diharapkan mampu berpikir jernih. Manusia mampu bermetamorfosis menjadi “manusia baru” (humanisasi).
Humanisasi pun bermakna kerja-kerja peradaban yang semakin mencipta kondisi hidup bersama semakin manusiawi dan semakin menyejahterakan satu sama lain karena orang-orangnya juga saling mengembangkan kemanusiaan sesama dan dirinya. Humanisasi dari kondisi sosial manusia saling mengerkah sesamanya sebagai serigala (homo homini lupus) menuju ke kondisi hidup bersama di mana manusia memperlakukan sesamanya dan hidup bersama sebagai sahabat (homo homini socius) (Mudji Sutrisno, 2009).
Jika kita membiarkan raga terkungkung dalam kepalsuan ala tayangan televisi, keberagamaan kita akan semakin lemah. Puasa yang telah kita jalani dengan susah payah hanya akan mendapatkan haus dan lapar, tidak lebih dari itu.
Agama sebagai motor penggerak perubahan sosial pun meminjam istilah Max Weber (1864-1920) hanya akan menjadi kicauan di dalam lembaran kertas tanpa mampu mewujud dalam kehidupan nyata.
Pada Aakhirnya, acara yang tersaji di layar kaca dan sering kali kita nikmati tak lebih membajak momentum Ramadan untuk kepentingan citra dan uang. Karena itu, matikan televisi Anda. Kembalilah ke barak intelektualisme Ramadan dengan tadarus (membaca dan menulis) dan mendekatkan diri kepada Tuhan dengan berderma kepada sesama hidup.
"Opini" Sinar Harapan, Kamis, 10 Juli 2014
Televisi telah membutakan manusia. Ia telah menjadi Tuhan baru di tengah kemajuan zaman yang semakin cepat. Meminjam istilah Baudrilliard, manusia sekarang dipaksa untuk menonton televisi sampai mati. Setiap bangun tidur hingga tidur lagi selalu saja ada acara dalam televisi, apalagi di bulan Ramadan. Ketika manusia sudah tertidur, mereka ditemani acara televisi yang selalu hidup hingga mereka terjaga lagi.
Setiap bulan Ramadan layar televisi kita selalu dipenuhi atribut atau tanda Islami. Ironisnya yang disebut tanda Islami tidak jauh dari dari sinetron, lawak, ceramah agama, konser musik, dan reality show. Semua dikemas secara cantik, sehingga banyak orang terbuai olehnya.
Buaian yang melenakan ini kemudian menyesak memenuhi relung jiwa sehingga kita tidak sadar. Kita menjadi manusia terlena dan tidak mampu berbuat apa-apa, hanya menerima (nrimo).
Serangkaian acara televisi bergenre agama pun tetap memenuhi ruang utama rumah kita. Ironisnya, acara-acara tersebut tidak satu pun mampu dijadikan teladan ataupun contoh. Acara bergenre religi seakan hanya menjual ayat-ayat Tuhan dengan harga yang murah.
Lebih lanjut, acara itu tak lebih mengerdilkan peran dan fungsi agama dalam kehidupan. Hal tersebut semakin diperparah tayangan komedi yang senantiasa mengiringi waktu sahur dan buka puasa. Seakan berlomba, stasiun televisi keranjingan menggaet artis untuk kesuksesan acara tersebut.
Namun, acara lawak yang dibawakan jauh dari makna sehat. Artinya, komedi yang dipertontonkan hanya mengumbar kekerasan dan bahasa-bahasa yang tak senonoh. Tentu hal itu jauh dari spirit puasa sebagai pendekatan diri kepada Sang Khalik. Pendek kata, puasa saat ini dipenuhi candaan yang tidak bermutu dan konsumerisme yang melenakan.
Mitos
Jean Baudrillard, dalam The Consumer Society: Myths & Structures, menganologikan konsumsi pada masyarakat masa kini dengan bahasa dan sistem tanda dalam masyarakat primitif. Manusia sepanjang masa membutuhkan suatu simbol yang dipuja dan disembah. Jika dahulu ada pohon, patung, hingga muncul cargo myth, masyarakat masa kini pun punya kultus-kultus sendiri seperti terhadap kemasan benda-benda, citra (image), televisi, serta terhadap konsep kemajuan (progress) dan pertumbuhan (growth) (Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, ed: 2005).
Kegelisahan Baudrillard ini semakin tampak ketika bulan Ramadan. Masyarakat disuguhkan sistem tanda yang menyesatkan. Contoh nyata adalah komedi, lawakan, kuis, dan acara-acara yang konon menjadi salah satu teman ketika sedang menjalankan puasa.
Acara komedi atau lawak yang ditayangkan mengiringi saat sahur dan menjelang buka puasa merupakan pukulan telak bagi orang berpuasa. Pasalnya, puasa merupakan sesuatu yang berat dan melelahkan. Jadi, masyarakat perlu dihibur dengan lelucon yang penuh dengan unsur kekerasan. Padahal, puasa merupakan ibadah yang menuntut manusia saleh secara individu dan sosial (dimensi sosial).
Tayangan komedi dalam kemasan Ramadan pun seakan telah dengan sengaja memukul batang hidung. Betapa dengan guyonan kita akan mampu menjalankan ibadah puasa dengan baik. Padahal sebagaimana hadis yang sering disampaikan dai di atas mimbar, bahwa banyak tertawa membuat hati kita keras. Tertawa secara berlebih, apalagi dengan adegan penuh kekerasan dan pelecehan terhadap martabat manusia akan menutupi jiwa berpikir jernih. Hati akan mati dan tidak mampu membedakan antara haq dan bathil (benar dan salah).
Tentunya hal tersebut sangat bertolak belakang dengan semangat puasa. Puasa merupakan wahana olah batin melalui menahan untuk tidak makan minum selama lebih dari 12 jam. Menahan makan dan minum berarti kita mengekang nafsu untuk tidak terus memasukkan makanan ke dalam perut.
Dengan posisi lapar, seseorang diharapkan mampu berpikir jernih. Manusia mampu bermetamorfosis menjadi “manusia baru” (humanisasi).
Humanisasi pun bermakna kerja-kerja peradaban yang semakin mencipta kondisi hidup bersama semakin manusiawi dan semakin menyejahterakan satu sama lain karena orang-orangnya juga saling mengembangkan kemanusiaan sesama dan dirinya. Humanisasi dari kondisi sosial manusia saling mengerkah sesamanya sebagai serigala (homo homini lupus) menuju ke kondisi hidup bersama di mana manusia memperlakukan sesamanya dan hidup bersama sebagai sahabat (homo homini socius) (Mudji Sutrisno, 2009).
Jika kita membiarkan raga terkungkung dalam kepalsuan ala tayangan televisi, keberagamaan kita akan semakin lemah. Puasa yang telah kita jalani dengan susah payah hanya akan mendapatkan haus dan lapar, tidak lebih dari itu.
Agama sebagai motor penggerak perubahan sosial pun meminjam istilah Max Weber (1864-1920) hanya akan menjadi kicauan di dalam lembaran kertas tanpa mampu mewujud dalam kehidupan nyata.
Pada Aakhirnya, acara yang tersaji di layar kaca dan sering kali kita nikmati tak lebih membajak momentum Ramadan untuk kepentingan citra dan uang. Karena itu, matikan televisi Anda. Kembalilah ke barak intelektualisme Ramadan dengan tadarus (membaca dan menulis) dan mendekatkan diri kepada Tuhan dengan berderma kepada sesama hidup.
Demokrasi Otentik
Oleh Benni Setiawan
"Pendapat" Koran Tempo, Rabu, 9 Juli 2014
Demokrasi otentik adalah upaya seseorang atau sekelompok orang menggerakkan politik agar lebih memiliki makna kebebasan, penghargaan terhadap keberagamaan, dan solidaritas antarwarga. Demokrasi otentik mengarah pada pemaknaan kehidupan berbasis kemanusiaan dan ini hanya mampu diemban oleh mereka yang mempunyai visi kemanusiaan.
Dalam demokrasi ini, kepemimpinan layaknya air yang menghadirkan manfaat bagi rakyat. Kepemimpinan hadir dan omni present menjawab permasalahan rakyat akan memantik harapan dan memupus segala antipati terhadap pemerintahan.
Seorang pemimpin selayaknya mengejawantahkan pengabdian kepada masyarakat dengan semangat pamong (pelayan). Ia bukan pemimpin berwatak penguasa. Melalui program kerja prorakyat, ia memberikan pelayanan yang menyenangkan untuk rakyatnya. Program kerja tersebut pun lahir dari keresahan masyarakat. Dengan demikian, langkah kerja seorang pemimpin tertata dan benar dibutuhkan oleh masyarakat, bukan program penuh kemunafikan (pencitraan).
Ia memimpin dengan etika yang akan mendorong kesadaran baru aparatur yang humanis, yaitu aparatur sipil negara yang bertindak atas nama kemanusiaan, mendorong meritokrasi (penghargaan atas prestasi), dan akuntabilitas pelayanan publik. Ia melakukan inovasi dan terobosan-terobosan dalam membangun sebuah peradaban. Melalui inovasi, keterbukaan, kerendahan hati, dan gagasan membangun yang bersinergi dengan kekuatan masyarakat.
Pemimpin pun merupakan pembelajar sejati. Belajar sepanjang hayat merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh setiap individu. Sekolah yang paling nyata adalah kehidupan itu sendiri, yang dapat diperoleh dengan merefleksikan pengalaman. Pembelajaran sejati adalah proses memimpin setidaknya dalam lima tahun masa kepemimpinannya.
Melalui hal itu, pemimpin pun selalu memotivasi rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan kemalasan dan kebodohan. Hingga akhirnya rakyat perlahan bangkit menatap masa depan cerah.
Keberhasilan ini tak terlepas dari sentuhan cinta kasih tanpa batas. Ia senantiasa menyapa warga dan memompa semangat untuk bangkit. Sentuhan tanpa menggurui berbekal pengalaman hidup inilah yang kemudian mengantarkan menjadi pemimpin masyarakat. Pemimpin yang melayani dengan kesederhanaan dan cinta.
Medium pembebasan politik ala Hannah Arendt pun mewujud melalui gerak tanggap calon presiden dalam membangun sistem berkeadaban. Perwujudan sistem berkeadaban pun muncul berbarengan dengan sinergi program kerja berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal menjadi warna yang semakin menghiasi keadaban publik. Kearifan lokal bukan hanya menjadi bumbu penyedap, tapi juga menjadi roh dalam setiap gerak dan langkah.
Dengan demikian, pemilihan presiden merupakan medium mencari, memilah, dan memilih calon pemimpin nasional yang mengerti kehendak rakyat. Kehendak rakyat bukanlah kehendak tuan. Kehendak rakyat ialah impian dan cita-cita besar bangsa sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.
Pada akhirnya, mari menggunakan waktu yang tak lama untuk merenungkan dan memantapkan pilihan kepada salah satu capres untuk memimpin Indonesia dengan demokrasi otentik. Demokrasi sebagai bangunan politik berperikemanusiaan dan berkeadaban.
"Pendapat" Koran Tempo, Rabu, 9 Juli 2014
Demokrasi otentik adalah upaya seseorang atau sekelompok orang menggerakkan politik agar lebih memiliki makna kebebasan, penghargaan terhadap keberagamaan, dan solidaritas antarwarga. Demokrasi otentik mengarah pada pemaknaan kehidupan berbasis kemanusiaan dan ini hanya mampu diemban oleh mereka yang mempunyai visi kemanusiaan.
Dalam demokrasi ini, kepemimpinan layaknya air yang menghadirkan manfaat bagi rakyat. Kepemimpinan hadir dan omni present menjawab permasalahan rakyat akan memantik harapan dan memupus segala antipati terhadap pemerintahan.
Seorang pemimpin selayaknya mengejawantahkan pengabdian kepada masyarakat dengan semangat pamong (pelayan). Ia bukan pemimpin berwatak penguasa. Melalui program kerja prorakyat, ia memberikan pelayanan yang menyenangkan untuk rakyatnya. Program kerja tersebut pun lahir dari keresahan masyarakat. Dengan demikian, langkah kerja seorang pemimpin tertata dan benar dibutuhkan oleh masyarakat, bukan program penuh kemunafikan (pencitraan).
Ia memimpin dengan etika yang akan mendorong kesadaran baru aparatur yang humanis, yaitu aparatur sipil negara yang bertindak atas nama kemanusiaan, mendorong meritokrasi (penghargaan atas prestasi), dan akuntabilitas pelayanan publik. Ia melakukan inovasi dan terobosan-terobosan dalam membangun sebuah peradaban. Melalui inovasi, keterbukaan, kerendahan hati, dan gagasan membangun yang bersinergi dengan kekuatan masyarakat.
Pemimpin pun merupakan pembelajar sejati. Belajar sepanjang hayat merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh setiap individu. Sekolah yang paling nyata adalah kehidupan itu sendiri, yang dapat diperoleh dengan merefleksikan pengalaman. Pembelajaran sejati adalah proses memimpin setidaknya dalam lima tahun masa kepemimpinannya.
Melalui hal itu, pemimpin pun selalu memotivasi rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan kemalasan dan kebodohan. Hingga akhirnya rakyat perlahan bangkit menatap masa depan cerah.
Keberhasilan ini tak terlepas dari sentuhan cinta kasih tanpa batas. Ia senantiasa menyapa warga dan memompa semangat untuk bangkit. Sentuhan tanpa menggurui berbekal pengalaman hidup inilah yang kemudian mengantarkan menjadi pemimpin masyarakat. Pemimpin yang melayani dengan kesederhanaan dan cinta.
Medium pembebasan politik ala Hannah Arendt pun mewujud melalui gerak tanggap calon presiden dalam membangun sistem berkeadaban. Perwujudan sistem berkeadaban pun muncul berbarengan dengan sinergi program kerja berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal menjadi warna yang semakin menghiasi keadaban publik. Kearifan lokal bukan hanya menjadi bumbu penyedap, tapi juga menjadi roh dalam setiap gerak dan langkah.
Dengan demikian, pemilihan presiden merupakan medium mencari, memilah, dan memilih calon pemimpin nasional yang mengerti kehendak rakyat. Kehendak rakyat bukanlah kehendak tuan. Kehendak rakyat ialah impian dan cita-cita besar bangsa sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.
Pada akhirnya, mari menggunakan waktu yang tak lama untuk merenungkan dan memantapkan pilihan kepada salah satu capres untuk memimpin Indonesia dengan demokrasi otentik. Demokrasi sebagai bangunan politik berperikemanusiaan dan berkeadaban.
Pemilihan Presiden; Antara Dwi Tunggal dan Kebangsaan
Oleh Benni Setiawan*)
Dua poros Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden siap bertarung. Bertarung memperebutkan suara rakyat pada 9 Juli 2014. Yaitu poros Indonesia Bangkit, Prabowo Subianto-Hatta Radjasa dan poros Indonesia Hebat, Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla
Masyarakat berharap lahirnya dua poros tersebut, tidak hanya sekadar memenuhi syarat konstitusional. Namun, sebagai upaya menyatukan pandangan menemukan kata sepakat (kalimatus sawa') guna kemakmuran bangsa.
Kamimatus sawa’ merupakan manifestasi kebangsaan putra terbaik Nusantara. Mereka membincang, mendiskusikan, dan mendarmabaktikan segala kekuatan untuk menyatukan langkah perbaikan. Pembicaraan guna menuju kalimatus sawa’ mendasarkan pada kepentingan bersama, bukan atas nama partai politik, ego sektoral, dan kepentingan kelompok-kelompok pendukung.
Visi Kepemimpinan
Cita mulia itu perlu menjadi agenda calon pemimpin bangsa. Pasalnya, di tangan merekalah sebagian tanggung jawab kebangsaan ini dipertaruhkan. Saat pemimpin tidak mempunyai visi itu, maka poros politik hanya menjadi ajang pertaruhan gengsi minus prestasi.
Poros politik hanya ritual politik minus harapan. Padahal, bangsa ini sedang menghadapi tantangan dan peluang yang cukup menjanjikan, selain mempunyai beberapa kelemahan. Memantik harapan kerjasama untuk ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, permusyawaratan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya dilisan, namun mewujud dalam kesatuan kata dan laku.
Poros politik pun hanya menjadi sekadar pepesan kosong. Pasalnya, pemimpin hanya mengabdi kepada kekuasaan. Kekuasaan sebagai hasrat menguasai hajat hidup orang banyak tanpa simpati dan empati. Saat hal itu menguasai jalan pemikiran dan hati seorang pemimpin, maka harmoni dan kejayaan bangsa akan punah.
Kejayaan sebuah peradaban bangsa pun hanya mimpi yang didedah saat kampanye tanpa pernah mewujud dalam keseharian. Padahal bangsa ini mempunyai sejuta satu potensi. Potensi untuk menjadi negara besar, kuat, dan bermartabat.
Potensi kebangsaan ini selayaknya menyadarkan calon pemimpin bangsa untuk menggerakkan dan menumbuhkembangkan. Potensi itu bukan untuk dibunuh melalui basa-basi politik transaksional. Politik yang hanya didasarkan nafsu sesaat dan meraih tampuk kekuasaan.
Kekuasaan selayaknya mewujud dalam energi positif meraih cita kemakmuran bersama. Cita kemakmuran merupakan wujud asli kuasa. Kuasa dalam rentang kesadaran individu dan komunal. Saat semua itu bersenyawa, maka Republik gemah ripah loh jinawi tata titi tentrem kerta raharja (negeri adil dan makmur) menjadi kenyataan.
Dwi Tunggal
Poros politik selayaknya dibangun atas persahabatan yang erat. Seperti persahabatan Dwi Tunggal (Sukarno-Hatta). Lahirnya pasangan itu bukan tanpa proses panjang. Ia lahir dari proses panjang menuju kemerdekaan Republik.
Dwi Tunggal mengajarkan kepada kita, betapa Presiden dan Wakil Presiden tidak mesti sama. Sukarno seringkali berseberangan pendapat dengan Muhammad Hatta. Mereka bahkan saling berseteru. Namun, mereka tidak saling menjelekkan atau menjegal.
Disaat Bung Hatta, mengundurkan diri dari posisi Wapres, ia masih terus menjalin komunikasi dengan Bung Karno. Bahkan, disaat akhir hayatnya, Bung Hatta masih bertemu, berbincang, sambil memijit lengan Bung Karno.
Dua tokoh besar bangsa Indonesia itu mengajarkan kepada Republik, bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih untuk melanjutkan cita kebangsaan yang mulia. Mereka bertindak atas nama bangsa, bukan ego pribadi dan hasutan kelompok pendukung.
Itu adalah modal utama guna mewujudkan harapan besar masyarakat. Studi IndoStrategi, misalnya, menunjukkan harapan publik yang cukup besar terhadap Presiden 2014. Presiden 2014 diharapkan mampu menjaga stabilitas kehidipan politik di Indonesia atau memperbaikinya sehingga lebih baik dan kondusif lagi.
Cara Suci
Lebih dari itu, dendang koalisi menuju tampuk kekuasaan perlu diraih dengan cara yang kalis. Kalis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa bermakna, suci, bersih, dan murni. Melalui laku itu seorang pemimpin akan mampu mengemban amanat rakyat. Amanat rakyat merupakan amanat ketuhanan (vox populi vox die). Amanat ketuhanan perlu diraih dengan cara yang suci. Tak mungkin menciptakan kemakmuran, tanpa didahului niatan dan cara yang baik.
Oleh karenanya, kesucian dalam bertutur kata, bertindak, dan meraih kedudukan menjadi hal utama. Pasalnya, seorang pemimpin (khalifah) adalah mereka yang senantiasa melakukan perbaikan (islah/shalah). Jika niatan, pikiran, dan tindakan dipenuhi oleh hal-hal yang buruk, maka perbaikan yang diemban oleh seorang khalifah akan menjadi perbuatan aniaya dan kerusakan.
Pada akhirnya, pemilihan presiden bukan hanya sekadar ritual lima tahunan. Pilpres merupakan sarana mencari pemimpin yang mampu mewujudkan Indonesia bermartabat lahir dan batin. Indonesia sejahtera yang bukan hanya meluncur saat debat dan orasi politik. Namun, jiwa kepemimpinan yang menyatu dengan harapan masyarakat menuju Indonesia Bangkit dan Indonesia Hebat. (ID, 5-6/07/14)
Dua poros Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden siap bertarung. Bertarung memperebutkan suara rakyat pada 9 Juli 2014. Yaitu poros Indonesia Bangkit, Prabowo Subianto-Hatta Radjasa dan poros Indonesia Hebat, Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla
Masyarakat berharap lahirnya dua poros tersebut, tidak hanya sekadar memenuhi syarat konstitusional. Namun, sebagai upaya menyatukan pandangan menemukan kata sepakat (kalimatus sawa') guna kemakmuran bangsa.
Kamimatus sawa’ merupakan manifestasi kebangsaan putra terbaik Nusantara. Mereka membincang, mendiskusikan, dan mendarmabaktikan segala kekuatan untuk menyatukan langkah perbaikan. Pembicaraan guna menuju kalimatus sawa’ mendasarkan pada kepentingan bersama, bukan atas nama partai politik, ego sektoral, dan kepentingan kelompok-kelompok pendukung.
Visi Kepemimpinan
Cita mulia itu perlu menjadi agenda calon pemimpin bangsa. Pasalnya, di tangan merekalah sebagian tanggung jawab kebangsaan ini dipertaruhkan. Saat pemimpin tidak mempunyai visi itu, maka poros politik hanya menjadi ajang pertaruhan gengsi minus prestasi.
Poros politik hanya ritual politik minus harapan. Padahal, bangsa ini sedang menghadapi tantangan dan peluang yang cukup menjanjikan, selain mempunyai beberapa kelemahan. Memantik harapan kerjasama untuk ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, permusyawaratan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya dilisan, namun mewujud dalam kesatuan kata dan laku.
Poros politik pun hanya menjadi sekadar pepesan kosong. Pasalnya, pemimpin hanya mengabdi kepada kekuasaan. Kekuasaan sebagai hasrat menguasai hajat hidup orang banyak tanpa simpati dan empati. Saat hal itu menguasai jalan pemikiran dan hati seorang pemimpin, maka harmoni dan kejayaan bangsa akan punah.
Kejayaan sebuah peradaban bangsa pun hanya mimpi yang didedah saat kampanye tanpa pernah mewujud dalam keseharian. Padahal bangsa ini mempunyai sejuta satu potensi. Potensi untuk menjadi negara besar, kuat, dan bermartabat.
Potensi kebangsaan ini selayaknya menyadarkan calon pemimpin bangsa untuk menggerakkan dan menumbuhkembangkan. Potensi itu bukan untuk dibunuh melalui basa-basi politik transaksional. Politik yang hanya didasarkan nafsu sesaat dan meraih tampuk kekuasaan.
Kekuasaan selayaknya mewujud dalam energi positif meraih cita kemakmuran bersama. Cita kemakmuran merupakan wujud asli kuasa. Kuasa dalam rentang kesadaran individu dan komunal. Saat semua itu bersenyawa, maka Republik gemah ripah loh jinawi tata titi tentrem kerta raharja (negeri adil dan makmur) menjadi kenyataan.
Dwi Tunggal
Poros politik selayaknya dibangun atas persahabatan yang erat. Seperti persahabatan Dwi Tunggal (Sukarno-Hatta). Lahirnya pasangan itu bukan tanpa proses panjang. Ia lahir dari proses panjang menuju kemerdekaan Republik.
Dwi Tunggal mengajarkan kepada kita, betapa Presiden dan Wakil Presiden tidak mesti sama. Sukarno seringkali berseberangan pendapat dengan Muhammad Hatta. Mereka bahkan saling berseteru. Namun, mereka tidak saling menjelekkan atau menjegal.
Disaat Bung Hatta, mengundurkan diri dari posisi Wapres, ia masih terus menjalin komunikasi dengan Bung Karno. Bahkan, disaat akhir hayatnya, Bung Hatta masih bertemu, berbincang, sambil memijit lengan Bung Karno.
Dua tokoh besar bangsa Indonesia itu mengajarkan kepada Republik, bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih untuk melanjutkan cita kebangsaan yang mulia. Mereka bertindak atas nama bangsa, bukan ego pribadi dan hasutan kelompok pendukung.
Itu adalah modal utama guna mewujudkan harapan besar masyarakat. Studi IndoStrategi, misalnya, menunjukkan harapan publik yang cukup besar terhadap Presiden 2014. Presiden 2014 diharapkan mampu menjaga stabilitas kehidipan politik di Indonesia atau memperbaikinya sehingga lebih baik dan kondusif lagi.
Cara Suci
Lebih dari itu, dendang koalisi menuju tampuk kekuasaan perlu diraih dengan cara yang kalis. Kalis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa bermakna, suci, bersih, dan murni. Melalui laku itu seorang pemimpin akan mampu mengemban amanat rakyat. Amanat rakyat merupakan amanat ketuhanan (vox populi vox die). Amanat ketuhanan perlu diraih dengan cara yang suci. Tak mungkin menciptakan kemakmuran, tanpa didahului niatan dan cara yang baik.
Oleh karenanya, kesucian dalam bertutur kata, bertindak, dan meraih kedudukan menjadi hal utama. Pasalnya, seorang pemimpin (khalifah) adalah mereka yang senantiasa melakukan perbaikan (islah/shalah). Jika niatan, pikiran, dan tindakan dipenuhi oleh hal-hal yang buruk, maka perbaikan yang diemban oleh seorang khalifah akan menjadi perbuatan aniaya dan kerusakan.
Pada akhirnya, pemilihan presiden bukan hanya sekadar ritual lima tahunan. Pilpres merupakan sarana mencari pemimpin yang mampu mewujudkan Indonesia bermartabat lahir dan batin. Indonesia sejahtera yang bukan hanya meluncur saat debat dan orasi politik. Namun, jiwa kepemimpinan yang menyatu dengan harapan masyarakat menuju Indonesia Bangkit dan Indonesia Hebat. (ID, 5-6/07/14)
Kamis, 26 Juni 2014
Muhammadiyah dan Pemilihan Presiden
Oleh Benni Setiawan
Pendapat, Koran Tempo, Kamis, 26 Juni 2014
Pemilihan presiden 9 Juli sudah semakin dekat. Black campaign (kampanye hitam) muncul bertubi-tubi. Bahkan, Muhammadiyah, sebagai organisasi massa Islam, pun ikut terseret sebagai korban dalam arus kampanye hitam ini. Hal itu menunjukkan secara gamblang bahwa kebangsaan kita semakin pudar dan rapuh. Kebangsaan kita jauh dari semangat Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai organisasi yang lebih tua dari umur Republik, Muhammadiyah terpanggil untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam pidato milad Muhammadiyah ke-101, tertulis, "Muhammadiyah mengajak pemerintah di seluruh tingkatan untuk semakin meningkatkan komitmen dan kesungguhan dalam memajukan bangsa, disertai dengan sikap mengedepankan keadilan dan kejujuran, berdiri di atas semua golongan, tidak partisan, bermitra dengan seluruh komponen bangsa, dan mampu menunjukkan jiwa kenegarawanan yang utama."
Pidato tersebut menegaskan posisi dan peran Muhammadiyah dalam kebangsaan. Muhammadiyah, sebagai bagian dari civil society, perlu mengingatkan calon presiden. Bahwasanya mereka dipilih untuk menjadi pemimpin. Pemimpin adalah mereka yang senantiasa merasa gelisah jika tidak mampu bekerja optimal. Senantiasa menjaga lisan dan perbuatan guna memakmurkan bangsa, dan senantiasa ingin berbuat kebajikan setiap saat.
Karena itu, seorang pemimpin selayaknya menyemai kebajikan setiap saat. Dalam kesejarahan, Muhammadiyah telah mewariskan semangat juang menjadi pelayan dari kepemimpinan A.R. Fachruddin. Pak AR, begitu ia disapa, menjadi simbol dai ikhlas, bersahaja, dan tawaduk.
Ia pun senantiasa menjalin komunikasi dengan masyarakat melalui bahasa-bahasa sederhana. Ia senantiasa ingin dekat dengan umat. Ia sering mengunjungi desa dan menyapa masyarakat. Kesederhanaan, ketulusan, dan ketelatenan menyapa masyarakat menjadi ciri utama kepemimpinan Pak AR. Melalui sikap yang demikian, Presiden Soeharto pun seakan tunduk pada wejangan Pak AR.
Lebih lanjut, kebangsaan hari ini akan kokoh jika pemimpinnya mampu menjadi teladan. Sebaliknya, ketika keteladanan menghilang dan hanya menjadi kata tanpa ucapan, kebangsaan akan runtuh. Bangsa ini harus diselamatkan dari proses kepemimpinan yang rapuh. Pasalnya, jika bangsa dan negara ini ambruk, Muhammadiyah pun akan roboh.
Karena itu, Muhammadiyah tidak dalam posisi mendukung atau menolak seorang capres. Sikap itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah dalam pemilihan presiden 2014 ingin membangun politik berperadaban. Politik adiluhung sebagai pengejawantahan sikap dan konsistensi Muhammadiyah dalam membangun kebangsaan.
Kelompok-kelompok seperti Surya Madani Indonesia (SMI) yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta dan Relawan Mentari Indonesia (RMI) yang mendukung pasangan Jokowi-JK, tidak bertindak atas nama Muhammadiyah. Mereka adalah simpatisan yang kebetulan terbangun dari jejaring aktivis Persyarikatan. Jadi, tak ada hubungan struktural dengan Persyarikatan.
Muhammadiyah memposisikan diri sebagai bapak bangsa, pengayom semua capres. Sikap ini bukan cara Muhammadiyah mencari selamat atau bermain di dua kaki. Muhammadiyah tetaplah organisasi besar yang tak tergiur bermain di arena politik. Khitah sebagai organisasi massa Islam amar makruf nahi mungkar lebih berharga daripada sekadar turut serta dalam hiruk-pikuk politik. *
Pendapat, Koran Tempo, Kamis, 26 Juni 2014
Pemilihan presiden 9 Juli sudah semakin dekat. Black campaign (kampanye hitam) muncul bertubi-tubi. Bahkan, Muhammadiyah, sebagai organisasi massa Islam, pun ikut terseret sebagai korban dalam arus kampanye hitam ini. Hal itu menunjukkan secara gamblang bahwa kebangsaan kita semakin pudar dan rapuh. Kebangsaan kita jauh dari semangat Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai organisasi yang lebih tua dari umur Republik, Muhammadiyah terpanggil untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam pidato milad Muhammadiyah ke-101, tertulis, "Muhammadiyah mengajak pemerintah di seluruh tingkatan untuk semakin meningkatkan komitmen dan kesungguhan dalam memajukan bangsa, disertai dengan sikap mengedepankan keadilan dan kejujuran, berdiri di atas semua golongan, tidak partisan, bermitra dengan seluruh komponen bangsa, dan mampu menunjukkan jiwa kenegarawanan yang utama."
Pidato tersebut menegaskan posisi dan peran Muhammadiyah dalam kebangsaan. Muhammadiyah, sebagai bagian dari civil society, perlu mengingatkan calon presiden. Bahwasanya mereka dipilih untuk menjadi pemimpin. Pemimpin adalah mereka yang senantiasa merasa gelisah jika tidak mampu bekerja optimal. Senantiasa menjaga lisan dan perbuatan guna memakmurkan bangsa, dan senantiasa ingin berbuat kebajikan setiap saat.
Karena itu, seorang pemimpin selayaknya menyemai kebajikan setiap saat. Dalam kesejarahan, Muhammadiyah telah mewariskan semangat juang menjadi pelayan dari kepemimpinan A.R. Fachruddin. Pak AR, begitu ia disapa, menjadi simbol dai ikhlas, bersahaja, dan tawaduk.
Ia pun senantiasa menjalin komunikasi dengan masyarakat melalui bahasa-bahasa sederhana. Ia senantiasa ingin dekat dengan umat. Ia sering mengunjungi desa dan menyapa masyarakat. Kesederhanaan, ketulusan, dan ketelatenan menyapa masyarakat menjadi ciri utama kepemimpinan Pak AR. Melalui sikap yang demikian, Presiden Soeharto pun seakan tunduk pada wejangan Pak AR.
Lebih lanjut, kebangsaan hari ini akan kokoh jika pemimpinnya mampu menjadi teladan. Sebaliknya, ketika keteladanan menghilang dan hanya menjadi kata tanpa ucapan, kebangsaan akan runtuh. Bangsa ini harus diselamatkan dari proses kepemimpinan yang rapuh. Pasalnya, jika bangsa dan negara ini ambruk, Muhammadiyah pun akan roboh.
Karena itu, Muhammadiyah tidak dalam posisi mendukung atau menolak seorang capres. Sikap itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah dalam pemilihan presiden 2014 ingin membangun politik berperadaban. Politik adiluhung sebagai pengejawantahan sikap dan konsistensi Muhammadiyah dalam membangun kebangsaan.
Kelompok-kelompok seperti Surya Madani Indonesia (SMI) yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta dan Relawan Mentari Indonesia (RMI) yang mendukung pasangan Jokowi-JK, tidak bertindak atas nama Muhammadiyah. Mereka adalah simpatisan yang kebetulan terbangun dari jejaring aktivis Persyarikatan. Jadi, tak ada hubungan struktural dengan Persyarikatan.
Muhammadiyah memposisikan diri sebagai bapak bangsa, pengayom semua capres. Sikap ini bukan cara Muhammadiyah mencari selamat atau bermain di dua kaki. Muhammadiyah tetaplah organisasi besar yang tak tergiur bermain di arena politik. Khitah sebagai organisasi massa Islam amar makruf nahi mungkar lebih berharga daripada sekadar turut serta dalam hiruk-pikuk politik. *
Intoleransi Melumpuhkan Demokrasi
Oleh Benni Setiawan
Demokrasi tidak akan berjalan jika pemerintah tidak menyelesaikan persoalan intoleransi.
Opini, Sinar Harapan, Rabu, 25 Juni 2014
Kasus intoleransi menyembul di tengah hiruk-pikuk pemilihan presiden. (pilpres) intoleransi merupakan masalah serius bangsa. Intoleransi bukan sekadar masalah biasa, namun, ia mengancam eksistensi republik ini. Intoleransi menjadi musuh utama terwujudnya nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945.
Kasus intoleransi yang terbaru tersuguh dari keteduhan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), awal Juni. Pelarangan ibadat Paskah di Gunung Kidul; penyerangan jemaat Santo Fransicus Agung Gereja Banteng, di Ngaglik, Sleman; serta perusakan dan penyegelan gereja di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman.
Aksi tersebut tentu sangat mengusik ketenteraman warga DIY khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Kedamaian yang telah terajut lama seakan terempas aksi-aksi tak beradab tersebut.
Bangunan demokrasi Nusantara penuh keramahan, kesantunan, dan kesahajaan pun ambruk. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa aksi-aksi intoleran itu muncul di tengah ruang publik yang begitu luas di era Reformasi sekarang?
Etos Global
Persoalan yang dihadapi agama-agama dalam pembangunan perdamaian bukan soal kompetensi, melainkan komitmen dan kapabilitas. Komitmen merupakan kata utama membangun bina damai. Tanpa komitmen yang kuat dari diri sendiri dan lingkungan, akan sulit membangun perdamaian abadi.
Setelah terbangun komitmen, hal kedua adalah kapabilitas yang mumpuni. Artinya, kemampuan seseorang mengelola kebersamaan menjadi kata kuncinya. Kapabilitas seorang pemeluk agama adalah menjaga orang lain, seperti ia menyelamatkan diri sendiri dan keluarganya. Setelah dua hal itu terbangun, yang perlu ada dalam diri seseorang adalah etos global.
Hans Kung memberi argumentasi tentang alasan perdamaian memerlukan sebuah etos global yang mendukung koeksistensi damai semua umat manusia dalam sebuah rumah bersama itu, kein uberleben ohne weltethos (tidak ada keberlangsungan kehidupan umat manusia tanpa etos global; kein weltfriede ohne religionsfriede (tidak ada perdamaian dunia tanpa ada perdamaian di antara agama-agama); dan kein religionsfriede ohne religionsdialog (tidak ada perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog antaragama).
Trilogi perdamaian Hans Kung di atas adalah ungkapan yang paling padat, mencakup tuntutan bagi semua agama di dunia, untuk memulai babak baru membangun perdamaian dunia berdasarkan etos bersama, etos yang mengalir keluar dari oase kekayaan spiritualitas dalam agama-agama itu sendiri, bukan sebuah etos hasil rekayasa sosial yang datang dari luar oase kekayaan spiritualitas agama-agama tersebut (Robert B Baowollo, 2010).
Asas Kebangsaan
Dialog menjadi sebuah keniscayaan. Dialog dan musyawarah menjadi mantra kehidupan. Musyarawah bukan sekadar mencari kata sepakat, melainkan menggali ide dan gagasan besar untuk hidup rukun tanpa prasangka.
Persangkaan hanya dapat luntur ketika para pihak mampu duduk semeja dan berhubungan tanpa sekat. Prasangka sering kali muncul karena setiap anggota masyarakat tak terhubung dalam komunitas beradab (bonnum communie), meminjam istilah Habermas.
Konsepsi musyarakat itu termaktub dalam butir Pancasila sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Tatanan masyarakat harus terbangun dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil sejak di alam pikiran akan membuka ruang dialog tanpa prasangka.
Jika dalam pikiran kita terperangkap “racun” penuh kedengkian dan kebencian, ruang dialog sulit terbangun. Berbeda jika ruang alam bawah sadar dipenuhi keyakinan bahwa keberagamaan tak akan pernah melukai maka kehidupan beradab akan terwujud.
Kehidupan beradab adalah yang kita pikirkan menginspirasi tindakan. Setiap tindakan senantiasa didasarkan sikap sportif, welas asih, dan kemanusiaan yang mulia.
Saat ketiga hal itu mewujud dalam keseharian manusia, ia akan bertindak atas dasar akal sehat. Akal sehat akan menuntun umat menuju penghargaan diri dan lingkungan. Ego sektoral pun akan lenyap dengan sendirinya.
Dengan demikian, aksi intoleran merupakan bukti betapa lemahnya pemahaman diri dan lingkungan seseorang. Mereka bertindak atas ego yang memaksanya keluar dari kemanusiaan yang beradab.
Inilah yang kemudian menyebabkan kerapuhan demokrasi. Kebebasan berpendapat, berserikat, dan beragama terkurung dan terkungkung dalam sekat primordial. Sekat itu bahkan sering didasarkan kepada pemaknaan realitas keagamaan.
Demokrasi yang membuka ruang publik ternyata masih menyisakan persoalan serius, yaitu ketidakmampuan seseorang memaknai kebebasan dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun, kerapuhan itu tak begitu saja disebabkan pemaknaan sempit seseorang.
Peraturan pemerintah sering malah memicu timbulnya kebencian tersebut. Sebagai contoh, surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang rumah ibadah. Peraturan itu kerap dijadikan tameng sekaligus pembenaran oleh kelompok tertentu untuk melakukan tindak intoleran. Oleh karena itu, sudah selayaknya SKB tersebut dicabut guna menjamin berlangsungnya kehidupan penuh keadaban berperikemanusiaan.
Akhirnya, aksi intoleransi yang tersaji di Nusantara merupakan bukti nyata, betapa keberagamaan di republik ini belum tersemai berdasarkan asas kebangsaan. Keberagaman sering kali masih dipenuhi keraguan dan kecurigaan (prasangka) karena kurangnya dialog. Kebuntuan dialog pun kadang muncul dan “ditumpangi” peraturan pemerintah yang tak memihak iklim demokrasi.
Semoga pemimpin terpilih mendatang mampu mengubah wajah demokrasi menjadi ramah terhadap keberagamaan.
Demokrasi tidak akan berjalan jika pemerintah tidak menyelesaikan persoalan intoleransi.
Opini, Sinar Harapan, Rabu, 25 Juni 2014
Kasus intoleransi menyembul di tengah hiruk-pikuk pemilihan presiden. (pilpres) intoleransi merupakan masalah serius bangsa. Intoleransi bukan sekadar masalah biasa, namun, ia mengancam eksistensi republik ini. Intoleransi menjadi musuh utama terwujudnya nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945.
Kasus intoleransi yang terbaru tersuguh dari keteduhan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), awal Juni. Pelarangan ibadat Paskah di Gunung Kidul; penyerangan jemaat Santo Fransicus Agung Gereja Banteng, di Ngaglik, Sleman; serta perusakan dan penyegelan gereja di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman.
Aksi tersebut tentu sangat mengusik ketenteraman warga DIY khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Kedamaian yang telah terajut lama seakan terempas aksi-aksi tak beradab tersebut.
Bangunan demokrasi Nusantara penuh keramahan, kesantunan, dan kesahajaan pun ambruk. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa aksi-aksi intoleran itu muncul di tengah ruang publik yang begitu luas di era Reformasi sekarang?
Etos Global
Persoalan yang dihadapi agama-agama dalam pembangunan perdamaian bukan soal kompetensi, melainkan komitmen dan kapabilitas. Komitmen merupakan kata utama membangun bina damai. Tanpa komitmen yang kuat dari diri sendiri dan lingkungan, akan sulit membangun perdamaian abadi.
Setelah terbangun komitmen, hal kedua adalah kapabilitas yang mumpuni. Artinya, kemampuan seseorang mengelola kebersamaan menjadi kata kuncinya. Kapabilitas seorang pemeluk agama adalah menjaga orang lain, seperti ia menyelamatkan diri sendiri dan keluarganya. Setelah dua hal itu terbangun, yang perlu ada dalam diri seseorang adalah etos global.
Hans Kung memberi argumentasi tentang alasan perdamaian memerlukan sebuah etos global yang mendukung koeksistensi damai semua umat manusia dalam sebuah rumah bersama itu, kein uberleben ohne weltethos (tidak ada keberlangsungan kehidupan umat manusia tanpa etos global; kein weltfriede ohne religionsfriede (tidak ada perdamaian dunia tanpa ada perdamaian di antara agama-agama); dan kein religionsfriede ohne religionsdialog (tidak ada perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog antaragama).
Trilogi perdamaian Hans Kung di atas adalah ungkapan yang paling padat, mencakup tuntutan bagi semua agama di dunia, untuk memulai babak baru membangun perdamaian dunia berdasarkan etos bersama, etos yang mengalir keluar dari oase kekayaan spiritualitas dalam agama-agama itu sendiri, bukan sebuah etos hasil rekayasa sosial yang datang dari luar oase kekayaan spiritualitas agama-agama tersebut (Robert B Baowollo, 2010).
Asas Kebangsaan
Dialog menjadi sebuah keniscayaan. Dialog dan musyawarah menjadi mantra kehidupan. Musyarawah bukan sekadar mencari kata sepakat, melainkan menggali ide dan gagasan besar untuk hidup rukun tanpa prasangka.
Persangkaan hanya dapat luntur ketika para pihak mampu duduk semeja dan berhubungan tanpa sekat. Prasangka sering kali muncul karena setiap anggota masyarakat tak terhubung dalam komunitas beradab (bonnum communie), meminjam istilah Habermas.
Konsepsi musyarakat itu termaktub dalam butir Pancasila sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Tatanan masyarakat harus terbangun dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil sejak di alam pikiran akan membuka ruang dialog tanpa prasangka.
Jika dalam pikiran kita terperangkap “racun” penuh kedengkian dan kebencian, ruang dialog sulit terbangun. Berbeda jika ruang alam bawah sadar dipenuhi keyakinan bahwa keberagamaan tak akan pernah melukai maka kehidupan beradab akan terwujud.
Kehidupan beradab adalah yang kita pikirkan menginspirasi tindakan. Setiap tindakan senantiasa didasarkan sikap sportif, welas asih, dan kemanusiaan yang mulia.
Saat ketiga hal itu mewujud dalam keseharian manusia, ia akan bertindak atas dasar akal sehat. Akal sehat akan menuntun umat menuju penghargaan diri dan lingkungan. Ego sektoral pun akan lenyap dengan sendirinya.
Dengan demikian, aksi intoleran merupakan bukti betapa lemahnya pemahaman diri dan lingkungan seseorang. Mereka bertindak atas ego yang memaksanya keluar dari kemanusiaan yang beradab.
Inilah yang kemudian menyebabkan kerapuhan demokrasi. Kebebasan berpendapat, berserikat, dan beragama terkurung dan terkungkung dalam sekat primordial. Sekat itu bahkan sering didasarkan kepada pemaknaan realitas keagamaan.
Demokrasi yang membuka ruang publik ternyata masih menyisakan persoalan serius, yaitu ketidakmampuan seseorang memaknai kebebasan dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun, kerapuhan itu tak begitu saja disebabkan pemaknaan sempit seseorang.
Peraturan pemerintah sering malah memicu timbulnya kebencian tersebut. Sebagai contoh, surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang rumah ibadah. Peraturan itu kerap dijadikan tameng sekaligus pembenaran oleh kelompok tertentu untuk melakukan tindak intoleran. Oleh karena itu, sudah selayaknya SKB tersebut dicabut guna menjamin berlangsungnya kehidupan penuh keadaban berperikemanusiaan.
Akhirnya, aksi intoleransi yang tersaji di Nusantara merupakan bukti nyata, betapa keberagamaan di republik ini belum tersemai berdasarkan asas kebangsaan. Keberagaman sering kali masih dipenuhi keraguan dan kecurigaan (prasangka) karena kurangnya dialog. Kebuntuan dialog pun kadang muncul dan “ditumpangi” peraturan pemerintah yang tak memihak iklim demokrasi.
Semoga pemimpin terpilih mendatang mampu mengubah wajah demokrasi menjadi ramah terhadap keberagamaan.
Selasa, 17 Juni 2014
Pesan untuk Calon Presiden
Oleh Benni Setiawan
Koran Sindo, Minggu, 15 Juni 2014
Pemilu presiden (pilpres) 9 Juli sudah semakin dekat. Sabtu, 31 Mei, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
Mereka adalah Prabowo Subianto-Hatta Radjasa, yang diusung Koalisi Merah Putih (Poros Partai Gerakan Indonesia Raya, Gerindra) dan Joko Widodo-M Jusuf Kalla yang diusung Poros Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun, jauh sebelum penetapan, pendukung capres dan cawapres sudah mulai saling serang.
Media massa pun menjadi sarana paling ampuh menghimpun kekuatan dan “serangan udara”. Demikian pula dengan jaringan media sosial (Twitter dan Facebook). Kampanye negatif dan hitam pun menjadi menu wajib yang semakin membuat riuh. Di tengah hiruk-pikuk politik ini, tampaknya para capres dan pendukungnya perlu menoleh salah satu piwulang Jawa.
Mengenal Diri
Dalam “paribasan” Jawa, tersurat, sing bisa rumangsa, aja rumangsa bisa (jangan merasa bisa, tetapi bisa merasa). Paribasan ini mengajarkan kepada kita agar mau meneliti diri sendiri. Mengenal diri sendiri menjadi hal mutlak bagi seorang pemimpin. Saat pemimpin tidak sanggup mengenal potensi, kelemahan, peluangan, dan tantangan diri, maka ia akan sulit untuk memimpin. Dalam kajian filsafat misalnya, mengenal diri menjadi hal utama. Mengenal diri akan mampu mengantarkan seseorang mengenal Tuhannya.
Dengan demikian, apa yang diujarkan dalam paribasan Jawa tersebut sinkron dengan kajian ilmu pengetahuan modern. Hal ini pun menjadi bukti, bahwa kebudayaan Jawa, tidak akan pernah lekang zaman. Ia akan senantiasa hidup di tengah peradaban. Bisa rumangsa juga menjadi watak manusia berbudi. Pasalnya, perilaku ini menjadi penanda bahwa ia merupakan manusia pembelajar—meminjam istilah Andreas Harefa. Manusia yang senantiasa haus akan ilmu dan pengalaman. Proses perjalanan waktu menjadikannya semakin berisi. Seperti falsafah padi, semakin berisi semakin merunduk. Semakin berilmu semakin mawas diri.
Mawas Diri
Mawas diri inilah yang mampu membentengi manusia jatuh dalam lubang kesombongan (kenistaan). Kesombongan menjadi awal dari murka Tuhan kepada makhluknya. Dalam literatur Islam misalnya, diusirnya setan dari surga karena ia sombong dan membanggakan diri (aba was takbar). Melalui laku bisa rumangsa, seseorang diarahkan (baca: dididik) menjadi sebuah pribadi yang mempribadi.
Pribadi yang menyadari kekurangan dan menghargai kelebihan orang lain. Ia pun tidak merasa direndahkan (diasarke) maupun ditinggikan. Hal tersebut tentu berbeda dengan orang yang mempunyai watak rumangsa bisa. Manusia seperti itu hanya akan menimbulkan kegaduhan. Pasalnya, semua pekerjaan ia ambil. Padahal tak satu pun kemampuan ia miliki. Itulah awal kehancuran. Saat semua pekerjaan diambil dan tiada kemampuan untuk menyelesaikan hal tersebut.
Cikal Bakal Kesewenangan
Lebih lanjut, rumangsa bisa pun menjadi cikal bakal kesewenangan. Artinya, rumangsa bisa menyeret orang untuk ngasarake orang lain. Ia merasa mampu sedangkan yang lain tidak. Kondisi ini menimbulkan permusuhan yang akan berujung pada balas dendam. Oleh karena itu, bagi capres dan cawapres, selayaknya memegang teguh (ngugemi) piwulang Jawa tersebut. Saat mereka terpilih nanti, tentu berkat bantuan orang lain.
Keterpilihan mereka adalah hasil kerja mitra koalisi dan jaringan yang telah terbangun lama. Bukan karena popularitas yang disulap oleh media. Apalagi dengan laku penuh tipu-tipu. Kepemimpinan nasional harus dimandatkan kepada manusia terpilih (the choosen people). Ia adalah manusia yang senantiasa gundah melihat ketidakadilan, ketidakberdayaan, dan kebodohan melanda negeri. Ia senantiasa mau mendengar, belajar, dan bertindak guna mewujudkan, keadilan, keberdayaan, dan kemakmuran (psikis dan fisik) yang mewujud dalam keseharian.
Dengan demikian, ia selayaknya tidak rumangsa bisa untuk mengemban tugas dan amanat rakyat. Capres terpilih selayaknya bisa rumangsa terhadap tanggung jawab kebangsaan ini. Menjadi presiden dan wakil presiden bukanlah untuk membanggakan diri apalagi kroni dan golongan. Presiden dan wakil presiden merupakan penyambung lidah rakyat— meminjam istilah Bung Karno.
Penyambung lidah rakyat selayaknya mau belajar, mendengarkan, mendampingi, dan menggairahkan kehidupan masyarakat. Hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh presiden dan wakil presiden yang mempunyai watak bisa rumangsa, bukan rumangsa bisa
Koran Sindo, Minggu, 15 Juni 2014
Pemilu presiden (pilpres) 9 Juli sudah semakin dekat. Sabtu, 31 Mei, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
Mereka adalah Prabowo Subianto-Hatta Radjasa, yang diusung Koalisi Merah Putih (Poros Partai Gerakan Indonesia Raya, Gerindra) dan Joko Widodo-M Jusuf Kalla yang diusung Poros Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun, jauh sebelum penetapan, pendukung capres dan cawapres sudah mulai saling serang.
Media massa pun menjadi sarana paling ampuh menghimpun kekuatan dan “serangan udara”. Demikian pula dengan jaringan media sosial (Twitter dan Facebook). Kampanye negatif dan hitam pun menjadi menu wajib yang semakin membuat riuh. Di tengah hiruk-pikuk politik ini, tampaknya para capres dan pendukungnya perlu menoleh salah satu piwulang Jawa.
Mengenal Diri
Dalam “paribasan” Jawa, tersurat, sing bisa rumangsa, aja rumangsa bisa (jangan merasa bisa, tetapi bisa merasa). Paribasan ini mengajarkan kepada kita agar mau meneliti diri sendiri. Mengenal diri sendiri menjadi hal mutlak bagi seorang pemimpin. Saat pemimpin tidak sanggup mengenal potensi, kelemahan, peluangan, dan tantangan diri, maka ia akan sulit untuk memimpin. Dalam kajian filsafat misalnya, mengenal diri menjadi hal utama. Mengenal diri akan mampu mengantarkan seseorang mengenal Tuhannya.
Dengan demikian, apa yang diujarkan dalam paribasan Jawa tersebut sinkron dengan kajian ilmu pengetahuan modern. Hal ini pun menjadi bukti, bahwa kebudayaan Jawa, tidak akan pernah lekang zaman. Ia akan senantiasa hidup di tengah peradaban. Bisa rumangsa juga menjadi watak manusia berbudi. Pasalnya, perilaku ini menjadi penanda bahwa ia merupakan manusia pembelajar—meminjam istilah Andreas Harefa. Manusia yang senantiasa haus akan ilmu dan pengalaman. Proses perjalanan waktu menjadikannya semakin berisi. Seperti falsafah padi, semakin berisi semakin merunduk. Semakin berilmu semakin mawas diri.
Mawas Diri
Mawas diri inilah yang mampu membentengi manusia jatuh dalam lubang kesombongan (kenistaan). Kesombongan menjadi awal dari murka Tuhan kepada makhluknya. Dalam literatur Islam misalnya, diusirnya setan dari surga karena ia sombong dan membanggakan diri (aba was takbar). Melalui laku bisa rumangsa, seseorang diarahkan (baca: dididik) menjadi sebuah pribadi yang mempribadi.
Pribadi yang menyadari kekurangan dan menghargai kelebihan orang lain. Ia pun tidak merasa direndahkan (diasarke) maupun ditinggikan. Hal tersebut tentu berbeda dengan orang yang mempunyai watak rumangsa bisa. Manusia seperti itu hanya akan menimbulkan kegaduhan. Pasalnya, semua pekerjaan ia ambil. Padahal tak satu pun kemampuan ia miliki. Itulah awal kehancuran. Saat semua pekerjaan diambil dan tiada kemampuan untuk menyelesaikan hal tersebut.
Cikal Bakal Kesewenangan
Lebih lanjut, rumangsa bisa pun menjadi cikal bakal kesewenangan. Artinya, rumangsa bisa menyeret orang untuk ngasarake orang lain. Ia merasa mampu sedangkan yang lain tidak. Kondisi ini menimbulkan permusuhan yang akan berujung pada balas dendam. Oleh karena itu, bagi capres dan cawapres, selayaknya memegang teguh (ngugemi) piwulang Jawa tersebut. Saat mereka terpilih nanti, tentu berkat bantuan orang lain.
Keterpilihan mereka adalah hasil kerja mitra koalisi dan jaringan yang telah terbangun lama. Bukan karena popularitas yang disulap oleh media. Apalagi dengan laku penuh tipu-tipu. Kepemimpinan nasional harus dimandatkan kepada manusia terpilih (the choosen people). Ia adalah manusia yang senantiasa gundah melihat ketidakadilan, ketidakberdayaan, dan kebodohan melanda negeri. Ia senantiasa mau mendengar, belajar, dan bertindak guna mewujudkan, keadilan, keberdayaan, dan kemakmuran (psikis dan fisik) yang mewujud dalam keseharian.
Dengan demikian, ia selayaknya tidak rumangsa bisa untuk mengemban tugas dan amanat rakyat. Capres terpilih selayaknya bisa rumangsa terhadap tanggung jawab kebangsaan ini. Menjadi presiden dan wakil presiden bukanlah untuk membanggakan diri apalagi kroni dan golongan. Presiden dan wakil presiden merupakan penyambung lidah rakyat— meminjam istilah Bung Karno.
Penyambung lidah rakyat selayaknya mau belajar, mendengarkan, mendampingi, dan menggairahkan kehidupan masyarakat. Hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh presiden dan wakil presiden yang mempunyai watak bisa rumangsa, bukan rumangsa bisa
Kata dan Kuasa
oleh Benni Setiawan
Kata menjadi senjata ampuh untuk membunuh. Kata meluncur bak senapan timah panas, menembus ruang batas. Menyerang tanpa ampun dalam relung dan alam bawah sadar manusia. Sehingga seseorang tanpa sadar tergerak setelah membaca dan memahami kata dalam bentuk yang tersirat dan tersurat.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Nusantara, berujar, “sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik.”
Mantra Kehidupan
Kata pun menjadi mantra kehidupan. Kata senantiasa mengguratkan makna. Kata menjadi penanda kepribadian seseorang. Sabda pandita ratu tan kena wola-wali, berbudi bawa laksana. Setiap kata yang meluncur dari seseorang menjadi sebuah sabda. Tak elok jika ditarik, harus satu antara ucapan dan tindakan. Menarik kata berarti telah melukai orang lain. Kata yang terucap seakan telah terlukis di atas kanvas kehidupan. Ada selalu ada dan terkenang sampai kapan pun.
Kata dengan demikian merupakan janji kehidupan. Jika seseorang tidak mampu memegang hal itu, berarti ia telah berbohong. Setidaknya berbohong kepada diri sendiri dan tentunya orang lain.
Dalam kajian Islam misalnya, sebagaimana Sabda Nabi Muhammad., s.a.w, kebohongan merupakan cikal bakal kejahatan. Sedangkan kejahatan mengantarkan manusia kepada kebinasaan dan kehancuran (neraka).
Dalam medium pemilhan umum, khususnya jelang pemilihan presiden (pilpres) saat ini, kita seakan dipenuhi kata. Bakal calon presiden (Bacapres) dan bakal calon wakil presiden (bacawapres), Joko Widodo-M. Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Radja, yang kini siap bertarung dalam pilpres 9 Juli nanti, seakan mampu memimpin Republik. Ia pun dengan bangga dan menempuk dada akan mampu memenangkan persaing. Tanpa sadar ia telah mengeluarkan banyak kata. Tak hanya kata, mereka pun tanpa sadar telah melontarkan sejuta satu janji.
Padahal kata itu (janji) tertangkap oleh indera manusia. Indera merekam dan memindai serangkaian kata itu, dan menjadi kekuatan dalam membidik serta membalik keadaan.
Kata (janji) yang terucap merupakan penggalan kalimat yang senantiasa dinanti untuk diwujudkan. Saat kata itu sulit terwujud, maka orang lain akan menganggapnya sebagai sumpah serapah. Sumpah tanpa makna. Sumpah dusta yang terdengar di seantero negeri.
Sebagai sebuah janji kata mengikat manusia ke dalam peradaban agung. Saat semua bersimpuh dalam keangkuhan, kata menjadi pelipur lara.
Oleh karena itu, kata seakan bersinergi dengan kuasa. Kata menjadi medium di mana seseorang mampu menepati janjinya dalam rahim kuasa. Kata yang ditepati akan dikenang hilang akhir peradaban. Sedangkan kata manis tanpa perwujudan hanya akan menjadi sampah kehidupan yang perlu dicatat dalam lembaran hitam.
Kata yang terucap dan sering mencla-mencle (tidak konsisten) hanya akan menjadi sampah di ruang publik. Ruang publik merupakan locus kewarganegaraan (citizenship) dan keadaban publik (public civility). Ruang publik seharusnya berperan kritis terhadap sistem politis. Dalam arti normatif ini ruang publik adalah suatu wilayah komunikasi tempat para warganegara berperan secara demokratis dalam mengawasi jalannya pemerintahan atau meminjam istilah Habermas—suatu tempat pengeraman kegelisahan politis warga” (F. Budi Hardiman, 2010)).
Kata seperti itu hanya akan memperkeruh suasana kedamaian dan memantik timbulnya kebencian serta permusuhan. Kata tanpa perwujudan apalagi dilakukan oleh pemegang kuasa hanya akan menimbulkan kegaduhan. Kegaduhan itu seakan semakin menyempitkan ruang gerak masyarakat untuk berpikir kritis. Masyarakat hanya dijejali janji tanpa realisasi yang memampatkan kebebasan dan kemerdekaan berpikir.
Bung Hatta
Pemimpin saat ini, tampaknya perlu belajar dari Bapak Bangsa (foundhing fathers). Sebut saja, Muhammad Hatta. Bung Hatta, menjadi contoh sejarah baik bagi Nusantara. Ia mengucap kata tidak akan menikah sebelum Republik merdeka. Bung Hatta menepati kata itu.
Bung Hatta pun kini menempati maqam (tempat) orang-orang terhormat. Ia dikenang sebagai Bapak Bangsa yang harum namanya. Kesesuaian kata dan lakunya menginspirasi anak bangsa untuk menjadi seperti dia.
Dengan demikian, kata menjadi sebuah jati diri manusia. Meminjam istilah Jawa, ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana (kepribadian seseorang berada dalam ucapan/kata, penampilan mencerminkan kepribadian).
Jika seseorang mampu menjaga lidah, kata, maka ia akan mampu menempati posisi terhormat. Namun, jika lidahnya tak tertata, maka dapat dipastikan ia akan terperosok dalam kegelapan. Kegelapan yang akan memangsa dan mengubur hidup-hidup masa depannya.
Oleh karenanya, kuasa merupakan perwujudan dari kata. Kuasa bukanlah raihan demi harga diri dan kelompok. Kuasa menjadi pertaruhan harga diri yang tercermin dalam setiap kata. Kata bukanlah sebuah permainan lidah untuk menutupi kebusukan diri.
Keberhasilan mewujudkan kata dalam kuasa akan meletakkan posisi seorang pemimpin di atas. Posisi ini tidak akan membuatnya menjadi sombong dan angkuh. Namun, menempatkannya pada manusia yang senantiasa bisa rumangsa, aja rumangsa bisa. Mampu memosisikan diri, mawas diri, dan bertindak dengan akal sehat dan kemampuan.
Saat pemimpin mampu menata kata dan kuasa, maka kehidupan berbangsa dan bernegara akan dipenuhi kemakmuran dan kesejahteraan. Namun, ketika pemimpin hanya mampu mengumbar kata, tanpa mewujud dalam kebangsaan, maka kehancuran menjadi harga yang layak dibayar.
Kata dan kuasa merupakan dua hal yang berbeda. Namun, ia bersinergi dalam membangun keadaban publik.
Pada akhirnya, kata bukanlah sekadar menggerakkan lidah. Ia akan dicatat dalam proses
kebangsaan. Kata merupakan kuasa yang tak terlihat. Mari mencatat kata. (ID,24-25-05/14)
Kata menjadi senjata ampuh untuk membunuh. Kata meluncur bak senapan timah panas, menembus ruang batas. Menyerang tanpa ampun dalam relung dan alam bawah sadar manusia. Sehingga seseorang tanpa sadar tergerak setelah membaca dan memahami kata dalam bentuk yang tersirat dan tersurat.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Nusantara, berujar, “sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik.”
Mantra Kehidupan
Kata pun menjadi mantra kehidupan. Kata senantiasa mengguratkan makna. Kata menjadi penanda kepribadian seseorang. Sabda pandita ratu tan kena wola-wali, berbudi bawa laksana. Setiap kata yang meluncur dari seseorang menjadi sebuah sabda. Tak elok jika ditarik, harus satu antara ucapan dan tindakan. Menarik kata berarti telah melukai orang lain. Kata yang terucap seakan telah terlukis di atas kanvas kehidupan. Ada selalu ada dan terkenang sampai kapan pun.
Kata dengan demikian merupakan janji kehidupan. Jika seseorang tidak mampu memegang hal itu, berarti ia telah berbohong. Setidaknya berbohong kepada diri sendiri dan tentunya orang lain.
Dalam kajian Islam misalnya, sebagaimana Sabda Nabi Muhammad., s.a.w, kebohongan merupakan cikal bakal kejahatan. Sedangkan kejahatan mengantarkan manusia kepada kebinasaan dan kehancuran (neraka).
Dalam medium pemilhan umum, khususnya jelang pemilihan presiden (pilpres) saat ini, kita seakan dipenuhi kata. Bakal calon presiden (Bacapres) dan bakal calon wakil presiden (bacawapres), Joko Widodo-M. Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Radja, yang kini siap bertarung dalam pilpres 9 Juli nanti, seakan mampu memimpin Republik. Ia pun dengan bangga dan menempuk dada akan mampu memenangkan persaing. Tanpa sadar ia telah mengeluarkan banyak kata. Tak hanya kata, mereka pun tanpa sadar telah melontarkan sejuta satu janji.
Padahal kata itu (janji) tertangkap oleh indera manusia. Indera merekam dan memindai serangkaian kata itu, dan menjadi kekuatan dalam membidik serta membalik keadaan.
Kata (janji) yang terucap merupakan penggalan kalimat yang senantiasa dinanti untuk diwujudkan. Saat kata itu sulit terwujud, maka orang lain akan menganggapnya sebagai sumpah serapah. Sumpah tanpa makna. Sumpah dusta yang terdengar di seantero negeri.
Sebagai sebuah janji kata mengikat manusia ke dalam peradaban agung. Saat semua bersimpuh dalam keangkuhan, kata menjadi pelipur lara.
Oleh karena itu, kata seakan bersinergi dengan kuasa. Kata menjadi medium di mana seseorang mampu menepati janjinya dalam rahim kuasa. Kata yang ditepati akan dikenang hilang akhir peradaban. Sedangkan kata manis tanpa perwujudan hanya akan menjadi sampah kehidupan yang perlu dicatat dalam lembaran hitam.
Kata yang terucap dan sering mencla-mencle (tidak konsisten) hanya akan menjadi sampah di ruang publik. Ruang publik merupakan locus kewarganegaraan (citizenship) dan keadaban publik (public civility). Ruang publik seharusnya berperan kritis terhadap sistem politis. Dalam arti normatif ini ruang publik adalah suatu wilayah komunikasi tempat para warganegara berperan secara demokratis dalam mengawasi jalannya pemerintahan atau meminjam istilah Habermas—suatu tempat pengeraman kegelisahan politis warga” (F. Budi Hardiman, 2010)).
Kata seperti itu hanya akan memperkeruh suasana kedamaian dan memantik timbulnya kebencian serta permusuhan. Kata tanpa perwujudan apalagi dilakukan oleh pemegang kuasa hanya akan menimbulkan kegaduhan. Kegaduhan itu seakan semakin menyempitkan ruang gerak masyarakat untuk berpikir kritis. Masyarakat hanya dijejali janji tanpa realisasi yang memampatkan kebebasan dan kemerdekaan berpikir.
Bung Hatta
Pemimpin saat ini, tampaknya perlu belajar dari Bapak Bangsa (foundhing fathers). Sebut saja, Muhammad Hatta. Bung Hatta, menjadi contoh sejarah baik bagi Nusantara. Ia mengucap kata tidak akan menikah sebelum Republik merdeka. Bung Hatta menepati kata itu.
Bung Hatta pun kini menempati maqam (tempat) orang-orang terhormat. Ia dikenang sebagai Bapak Bangsa yang harum namanya. Kesesuaian kata dan lakunya menginspirasi anak bangsa untuk menjadi seperti dia.
Dengan demikian, kata menjadi sebuah jati diri manusia. Meminjam istilah Jawa, ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana (kepribadian seseorang berada dalam ucapan/kata, penampilan mencerminkan kepribadian).
Jika seseorang mampu menjaga lidah, kata, maka ia akan mampu menempati posisi terhormat. Namun, jika lidahnya tak tertata, maka dapat dipastikan ia akan terperosok dalam kegelapan. Kegelapan yang akan memangsa dan mengubur hidup-hidup masa depannya.
Oleh karenanya, kuasa merupakan perwujudan dari kata. Kuasa bukanlah raihan demi harga diri dan kelompok. Kuasa menjadi pertaruhan harga diri yang tercermin dalam setiap kata. Kata bukanlah sebuah permainan lidah untuk menutupi kebusukan diri.
Keberhasilan mewujudkan kata dalam kuasa akan meletakkan posisi seorang pemimpin di atas. Posisi ini tidak akan membuatnya menjadi sombong dan angkuh. Namun, menempatkannya pada manusia yang senantiasa bisa rumangsa, aja rumangsa bisa. Mampu memosisikan diri, mawas diri, dan bertindak dengan akal sehat dan kemampuan.
Saat pemimpin mampu menata kata dan kuasa, maka kehidupan berbangsa dan bernegara akan dipenuhi kemakmuran dan kesejahteraan. Namun, ketika pemimpin hanya mampu mengumbar kata, tanpa mewujud dalam kebangsaan, maka kehancuran menjadi harga yang layak dibayar.
Kata dan kuasa merupakan dua hal yang berbeda. Namun, ia bersinergi dalam membangun keadaban publik.
Pada akhirnya, kata bukanlah sekadar menggerakkan lidah. Ia akan dicatat dalam proses
kebangsaan. Kata merupakan kuasa yang tak terlihat. Mari mencatat kata. (ID,24-25-05/14)
Senin, 26 Mei 2014
Pemimpin
Oleh Benni Setiawan
"Pendapat" Koran Tempo, Sabtu, 24 Mei 2014
Pemilu merupakan sarana mencari pemimpin. Pemimpin bukan sekadar pengumbar janji. Ia juga bukan yang paling populer di mata media dan tinggi elektabilitasnya di tangan lembaga survei.
Bagi Jim Clemmer (2009), pemimpin harus mampu membuat perbedaan. Itulah semangat utama yang mesti dimiliki seorang pemimpin. Tampil beda dengan gagasan yang kuat akan mengantarkan seseorang menduduki posisi penting dalam pemerintahan.
Seorang pemimpin, bagi pemikir terkemuka Amerika Utara itu, juga harus memiliki keotentikan. Para pemikir yang otentik membangun kepercayaan yang menjembatani celah-celah pemisah antara "kami dan mereka". Para pemimpin seperti itu memiliki integritas dan konsistensi yang tinggi. Mereka mengembangkan lingkungan yang penuh keterbukaan dan transparansi, yang menampilkan masalah-masalah yang sebenarnya.
Pemimpin, dengan demikian, mampu menyuarakan kata "kita". Kata kita merupakan wahana membangun ideologi sifat mementingkan kebersamaan, menanggung duka dan suka, salingmembantu, menolong, serta mengingatkan. Ke-kita-an harus menjadi ancangan dan sikap seorang pemimpin. Pemimpin hadir bukan untuk "kami dan mereka", tapi untuk "kita".
Pemimpin itu berintegritas. Integritas seorang pemimpin dilihat dari sepak terjang (track record) sejak ia masuk di gelanggang politik. Integritas itu terbangun atas usaha dan karya pribadi yang mempribadi. Ia hadir bukan karena polesan dan goresan wartawan. Namun, tulus ikhlas bekerja, berusaha, dan berkarya sekaligus menjadi panutan bagi masyarakat. Inilah dalam bahasa Ki Hajar Dewantara yang disebut sebagai ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Lebih lanjut, seorang pemimpin selayaknya mempunyai konsistensi yang tinggi. Konsistensi itu dapat dilihat dari kata dan laku. Apa yang mereka ucapkan merupakan janji suci kehidupan. Kata bukan hanya menggerakkan lidah, tapi juga mewujud dalam keseharian, sehingga ia tak mudah mengumbar janji. Kata dan laku seorang pemimpin harus selaras, sabda pandita ratu, tan kena wala-wali.
Ketika pemaknaan kepemimpinan menyentuh pada ranah ini, sebuah bangsa akan dipimpin dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan mengantarkan pada kemakmuran dan keadilan. Hal itu lantaran seorang pemimpin sadar betul akan eksistensi dirinya. Ia bukanlah pejabat publik yang pantas untuk selalu dihormati dan dipuja-puji. Namun ia adalah pelayan masyarakat yang siap mendengar keluh-kesah dan bergerak cepat dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Ia selalu bekerja sekuat tenaga untuk kemakmuran bangsanya, bukan kepentingan pribadi dan kroni-kroninya.
Takhta merupakan amanat kepemimpinan. Artinya, seorang pemimpin harus mempunyai jiwa yang bersih dan selalu berjuang (bertekad) untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat menjadi program utama seorang pemimpin bangsa. Seorang pemimpin bangsa harus mau dan rela meninggalkan (meletakkan) segala atribut yang pernah melekat dalam dirinya ketika menjadi pemimpin (presiden). Tanpa hal itu, akan sulit mewujudkan kepemimpinan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Pada akhirnya, mari mencermati sosok calon pemimpin bangsa Indonesia dalam hajatan pemilihan presiden 9 Juli. Pilihlah pemimpin yang bisa ngemong (mengasuh) dan menjadi pamong praja (pemimpin peradaban).
"Pendapat" Koran Tempo, Sabtu, 24 Mei 2014
Pemilu merupakan sarana mencari pemimpin. Pemimpin bukan sekadar pengumbar janji. Ia juga bukan yang paling populer di mata media dan tinggi elektabilitasnya di tangan lembaga survei.
Bagi Jim Clemmer (2009), pemimpin harus mampu membuat perbedaan. Itulah semangat utama yang mesti dimiliki seorang pemimpin. Tampil beda dengan gagasan yang kuat akan mengantarkan seseorang menduduki posisi penting dalam pemerintahan.
Seorang pemimpin, bagi pemikir terkemuka Amerika Utara itu, juga harus memiliki keotentikan. Para pemikir yang otentik membangun kepercayaan yang menjembatani celah-celah pemisah antara "kami dan mereka". Para pemimpin seperti itu memiliki integritas dan konsistensi yang tinggi. Mereka mengembangkan lingkungan yang penuh keterbukaan dan transparansi, yang menampilkan masalah-masalah yang sebenarnya.
Pemimpin, dengan demikian, mampu menyuarakan kata "kita". Kata kita merupakan wahana membangun ideologi sifat mementingkan kebersamaan, menanggung duka dan suka, salingmembantu, menolong, serta mengingatkan. Ke-kita-an harus menjadi ancangan dan sikap seorang pemimpin. Pemimpin hadir bukan untuk "kami dan mereka", tapi untuk "kita".
Pemimpin itu berintegritas. Integritas seorang pemimpin dilihat dari sepak terjang (track record) sejak ia masuk di gelanggang politik. Integritas itu terbangun atas usaha dan karya pribadi yang mempribadi. Ia hadir bukan karena polesan dan goresan wartawan. Namun, tulus ikhlas bekerja, berusaha, dan berkarya sekaligus menjadi panutan bagi masyarakat. Inilah dalam bahasa Ki Hajar Dewantara yang disebut sebagai ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Lebih lanjut, seorang pemimpin selayaknya mempunyai konsistensi yang tinggi. Konsistensi itu dapat dilihat dari kata dan laku. Apa yang mereka ucapkan merupakan janji suci kehidupan. Kata bukan hanya menggerakkan lidah, tapi juga mewujud dalam keseharian, sehingga ia tak mudah mengumbar janji. Kata dan laku seorang pemimpin harus selaras, sabda pandita ratu, tan kena wala-wali.
Ketika pemaknaan kepemimpinan menyentuh pada ranah ini, sebuah bangsa akan dipimpin dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan mengantarkan pada kemakmuran dan keadilan. Hal itu lantaran seorang pemimpin sadar betul akan eksistensi dirinya. Ia bukanlah pejabat publik yang pantas untuk selalu dihormati dan dipuja-puji. Namun ia adalah pelayan masyarakat yang siap mendengar keluh-kesah dan bergerak cepat dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Ia selalu bekerja sekuat tenaga untuk kemakmuran bangsanya, bukan kepentingan pribadi dan kroni-kroninya.
Takhta merupakan amanat kepemimpinan. Artinya, seorang pemimpin harus mempunyai jiwa yang bersih dan selalu berjuang (bertekad) untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat menjadi program utama seorang pemimpin bangsa. Seorang pemimpin bangsa harus mau dan rela meninggalkan (meletakkan) segala atribut yang pernah melekat dalam dirinya ketika menjadi pemimpin (presiden). Tanpa hal itu, akan sulit mewujudkan kepemimpinan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Pada akhirnya, mari mencermati sosok calon pemimpin bangsa Indonesia dalam hajatan pemilihan presiden 9 Juli. Pilihlah pemimpin yang bisa ngemong (mengasuh) dan menjadi pamong praja (pemimpin peradaban).
Korupsi dan Kesalehan Semu
Oleh Benni Setiawan
Republik koruptor. Tampaknya kata itu tepat menggambarkan praktik korupsi di Indonesia. Betapa tidak, seorang pejabat yang selayaknya menjadi benteng penyelamatan uang negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ternyata tak mampu lepas dari jerat korupsi. Bahkan, sang ketua HP, dinyatakan tersangka di akhir masa jabatannya.
Korupsi di negeri ini telah melembaga. Melembaga menjadi sebuah ritus harian.
Ironisnya, ritus harian ini juga sejalan dengan ibadah individu. “Ibadah jalan, korupsi pantang mundur”. Pameo yang pas dengan kondisi kebangsaan.
Kebangsaan yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa ternyata tidak mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa korupsi tumbuh subur di Republik ini?
Keranjang Sampah
M. Amin Abdullah (Guru Besar Filsafat Islam Universitas Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta) sering menyebut, Tuhan di Indonesia saat ini tak lebih seperti keranjang sampah. Ia hanya sebagai tempat buangan dan mendapat kotoran dari perbuatan buruk manusia. Tuhan tak lebih sebagai tempat bersih-bersih kotoran manusia.
Tuhan hanya ada dalam lisan yang senantiasa dikecap setiap hari. Namun, praktik keseharian masyarakat jauh dari manifestasi ketuhanan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Nama Tuhan senantiasa dilafalkan dalam ibadah dan doa keseharian. Ia dipuja sebagai Yang Maha Agung, dan memosisikan manusia sebagai makhluk lemah (daif). Namun, setelah ibadah usai, kondisi berbalik 180 derajat. Manusia menjadi makhluk yang angkuh tanpa pengawasan dan Tuhan pun menjadi tanpa makna.
Manusia kemudian lalai dengan lafal ketuhanan yang senantiasa terucap saat ibadah. Kata-kata yang baik dan memiliki makna filosofis itu malah dibajak oleh koruptor untuk menumpuk harta dengan segala cara.
Benarlah jika Deddy Mizwar, aktor kawakan dalam filmnya menyebut “Alangkah Lucunya Negeri ini”. Negeri ini berlandaskan pada asas ketuhanan dan kemanusiaan. Namun, perilaku kesehariannya menuju pada sifat iblis penuh kesesatan dan mencabik kehidupan yang beradab.
Benarlah, pitutur Emha Ainun Nadjib, dalam Markesot Bertutur (2012). Manusia itu rata-rata adalah tukang dusta! Mereka pura-pura menyembah Tuhan, padahal setiap saat mereka tidak menomorsatukan Tuhan. Mereka merusak alam. Mereka rakus dan serakah. Mereka hanya tahu kepentingan diri sendiri. Mereka itu pencuri-pencuri yang mengaku alim!
Menyuap Tuhan
Lebih lanjut, koruptor dengan sengaja menggasak uang rakyat dan digunakan untuk bermewah-mewahan. Uang tersebut pun digunakan untuk berderma (zakat, infaq, sadaqah), dan pergi ke tanah suci (umrah dan haji). Amal kebajikan itu menjadi sarana menyogok atau menyuap Tuhan agar memaafkan dosa-dosanya.
Tuhan diposisikan sebagai penguasa dunia yang mau disuap. Ironisnya, upaya penyuapan Tuhan dengan jalan beribadah dan memoles perilaku dengan kesalahen seakan dibenarkan oleh kehidupan masyarakat. Masyarakat memuja koruptor dan memberi tempat terhormat untuk menampung segala aspirasinya. Tampil di televisi memberikan keterangan pers tanpa wajah penyesalan menjadi hal biasa.
Padahal, koruptor dengan bangga dan telanjang menunjukkan kepada khalayak luas, bahwa kuasa menentukan prestasi. Dengan menjadi anggota DPR, Bupati, Gubernur, dan pejabat pemerintah lainnya palu hakim loyo. Hukum tidak akan pernah menyentuh mereka. Ketetapan hukum pun hanya formalitas. Jika menjalani hukuman, mereka akan mendapatkan remisi, dan keluar dari penjara dalam waktu singkat.
Setelah keluar penjara pun, mereka tetap kaya. Bahkan masyarakat sudah lupa dengan perilaku bejat yang pernah mereka lakukan. Koruptor seakan berdiri mengangkang dan mengebiri hak-hak kaum miskin (mustadh’afin). Pujian mulia untuk Tuhan menjadi tameng pembenar untuk perbuatan yang merusak dan membunuh.
Manusia Najis
Menilik hal tersebut, Sindhunata menyatakan, korupsi adalah perbuatan najis. Berarti koruptor adalah manusia najis. Barang najis wajib dijauhi sebelum disucikan. Jika kita dekat dan membela koruptor berarti kita bergelut (setidaknya kecipratan) najisnya.
Manusia najis selayaknya dijauhi. Mengasingkan mereka dalam kehidupan tampaknya menjadi sebuah keniscayaan. Dalam pengasingan itu, mereka diminta untuk bekerja untuk kehidupan sosial tanpa digaji. Pekerjaan tersebut sebagai balasan atas perilaku buruknya.
Namun, koruptor di negeri ini menempati strata sosial tinggi. Mereka masih tersenyum, riang gembira, dan dapat kembali menempati posisi strategis di jenjang pemerintahan.
Sebuah potret yang jauh dari kebangsaan. Bangsa di mana mayoritas penduduknya memeluk dan mengimani kebenaran ajaran Islam (ajaran keselamatan). Semua berpenampilan alim (mengerti dan taat agama), namun, perbuatannya sungguh diluar batas kemanusiaan.
Kesemuanya hanya dijadikan bedak menutupi kebusukan. Jika perlu, ajaran kebajikan itu digunakan untuk merampas hak orang lain demi kepentingan pribadi dan golongan.
Pada akhirnya, perilaku pejabat Indonesia saat ini seakan mengusik keimanan dan alam bawah sadar kita. Betapa kesalehan yang selama ini ditampilkan oleh pejabat yang terindikasi korupsi telah menjadi tameng sekaligus pelindung ampuh atas perbuatan yang telah merusak tatanan hidup dan kebangsaan. Wallahu a’lam. (ID,3-4/05/2014)
Republik koruptor. Tampaknya kata itu tepat menggambarkan praktik korupsi di Indonesia. Betapa tidak, seorang pejabat yang selayaknya menjadi benteng penyelamatan uang negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ternyata tak mampu lepas dari jerat korupsi. Bahkan, sang ketua HP, dinyatakan tersangka di akhir masa jabatannya.
Korupsi di negeri ini telah melembaga. Melembaga menjadi sebuah ritus harian.
Ironisnya, ritus harian ini juga sejalan dengan ibadah individu. “Ibadah jalan, korupsi pantang mundur”. Pameo yang pas dengan kondisi kebangsaan.
Kebangsaan yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa ternyata tidak mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa korupsi tumbuh subur di Republik ini?
Keranjang Sampah
M. Amin Abdullah (Guru Besar Filsafat Islam Universitas Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta) sering menyebut, Tuhan di Indonesia saat ini tak lebih seperti keranjang sampah. Ia hanya sebagai tempat buangan dan mendapat kotoran dari perbuatan buruk manusia. Tuhan tak lebih sebagai tempat bersih-bersih kotoran manusia.
Tuhan hanya ada dalam lisan yang senantiasa dikecap setiap hari. Namun, praktik keseharian masyarakat jauh dari manifestasi ketuhanan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Nama Tuhan senantiasa dilafalkan dalam ibadah dan doa keseharian. Ia dipuja sebagai Yang Maha Agung, dan memosisikan manusia sebagai makhluk lemah (daif). Namun, setelah ibadah usai, kondisi berbalik 180 derajat. Manusia menjadi makhluk yang angkuh tanpa pengawasan dan Tuhan pun menjadi tanpa makna.
Manusia kemudian lalai dengan lafal ketuhanan yang senantiasa terucap saat ibadah. Kata-kata yang baik dan memiliki makna filosofis itu malah dibajak oleh koruptor untuk menumpuk harta dengan segala cara.
Benarlah jika Deddy Mizwar, aktor kawakan dalam filmnya menyebut “Alangkah Lucunya Negeri ini”. Negeri ini berlandaskan pada asas ketuhanan dan kemanusiaan. Namun, perilaku kesehariannya menuju pada sifat iblis penuh kesesatan dan mencabik kehidupan yang beradab.
Benarlah, pitutur Emha Ainun Nadjib, dalam Markesot Bertutur (2012). Manusia itu rata-rata adalah tukang dusta! Mereka pura-pura menyembah Tuhan, padahal setiap saat mereka tidak menomorsatukan Tuhan. Mereka merusak alam. Mereka rakus dan serakah. Mereka hanya tahu kepentingan diri sendiri. Mereka itu pencuri-pencuri yang mengaku alim!
Menyuap Tuhan
Lebih lanjut, koruptor dengan sengaja menggasak uang rakyat dan digunakan untuk bermewah-mewahan. Uang tersebut pun digunakan untuk berderma (zakat, infaq, sadaqah), dan pergi ke tanah suci (umrah dan haji). Amal kebajikan itu menjadi sarana menyogok atau menyuap Tuhan agar memaafkan dosa-dosanya.
Tuhan diposisikan sebagai penguasa dunia yang mau disuap. Ironisnya, upaya penyuapan Tuhan dengan jalan beribadah dan memoles perilaku dengan kesalahen seakan dibenarkan oleh kehidupan masyarakat. Masyarakat memuja koruptor dan memberi tempat terhormat untuk menampung segala aspirasinya. Tampil di televisi memberikan keterangan pers tanpa wajah penyesalan menjadi hal biasa.
Padahal, koruptor dengan bangga dan telanjang menunjukkan kepada khalayak luas, bahwa kuasa menentukan prestasi. Dengan menjadi anggota DPR, Bupati, Gubernur, dan pejabat pemerintah lainnya palu hakim loyo. Hukum tidak akan pernah menyentuh mereka. Ketetapan hukum pun hanya formalitas. Jika menjalani hukuman, mereka akan mendapatkan remisi, dan keluar dari penjara dalam waktu singkat.
Setelah keluar penjara pun, mereka tetap kaya. Bahkan masyarakat sudah lupa dengan perilaku bejat yang pernah mereka lakukan. Koruptor seakan berdiri mengangkang dan mengebiri hak-hak kaum miskin (mustadh’afin). Pujian mulia untuk Tuhan menjadi tameng pembenar untuk perbuatan yang merusak dan membunuh.
Manusia Najis
Menilik hal tersebut, Sindhunata menyatakan, korupsi adalah perbuatan najis. Berarti koruptor adalah manusia najis. Barang najis wajib dijauhi sebelum disucikan. Jika kita dekat dan membela koruptor berarti kita bergelut (setidaknya kecipratan) najisnya.
Manusia najis selayaknya dijauhi. Mengasingkan mereka dalam kehidupan tampaknya menjadi sebuah keniscayaan. Dalam pengasingan itu, mereka diminta untuk bekerja untuk kehidupan sosial tanpa digaji. Pekerjaan tersebut sebagai balasan atas perilaku buruknya.
Namun, koruptor di negeri ini menempati strata sosial tinggi. Mereka masih tersenyum, riang gembira, dan dapat kembali menempati posisi strategis di jenjang pemerintahan.
Sebuah potret yang jauh dari kebangsaan. Bangsa di mana mayoritas penduduknya memeluk dan mengimani kebenaran ajaran Islam (ajaran keselamatan). Semua berpenampilan alim (mengerti dan taat agama), namun, perbuatannya sungguh diluar batas kemanusiaan.
Kesemuanya hanya dijadikan bedak menutupi kebusukan. Jika perlu, ajaran kebajikan itu digunakan untuk merampas hak orang lain demi kepentingan pribadi dan golongan.
Pada akhirnya, perilaku pejabat Indonesia saat ini seakan mengusik keimanan dan alam bawah sadar kita. Betapa kesalehan yang selama ini ditampilkan oleh pejabat yang terindikasi korupsi telah menjadi tameng sekaligus pelindung ampuh atas perbuatan yang telah merusak tatanan hidup dan kebangsaan. Wallahu a’lam. (ID,3-4/05/2014)
Rabu, 30 April 2014
Posisi Tawar Wakil Presiden
Oleh Benni Setiawan
Opini, Sinar Harapan, Rabu, 30 April 2014
Pembahasan koalisi hari ini tidak hanya sekadar basa-basi mencari dukungan.
Gema koalisi semakin santer terdengar hingga seantero negeri. Gema koalisi ala hitungan cepat (quick count /QC)—karena didasarkan hasil QC sejumlah lembaga survei—tampaknya hanya mencari sosok wakil presiden. Pasalnya, “partai pemenang pemilu”—PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra—sudah membawa nama calon presiden (capres). Kini mereka keliling (sowan) untuk mendapatkan dukungan dan menawarkan posisi wapres.
Posisi cawapres kini cukup seksi. Ia dicari oleh capres. Pasalnya, menurut beberapa pengamat politik, kesalahan memilih cawapres dapat menyebabkan keterpurukan. Artinya, salah memilih cawapres, sang capres akan kalah dalam pemilihan presiden (pilpres) pada 9 Juli.
Hal tersebut tentu berbeda dengan pemilu sebelumnya, apalagi saat Orde Baru masih berkuasa. Posisi wapres tidak menjadi kebanggaan. Wapres lebih banyak berperan sebagai pelengkap penderita (ban serep).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah iklim yang mulai memihak kepada wapres ini mampu mewujudkan benar kerja bersama antara presiden dan wakil presiden di era mendatang?
Pemimpin Sejati
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia telah melahirkan dua sosok wapres paling monumental, Muhammad Hatta dan Jusuf Kalla. Tulisan ini hanya akan difokuskan pada pembahasan sosok Muhammad Hatta yang akrab disapa Bung Hatta.
Bung Hatta tidak hanya seorang Bapak Bangsa. Ia adalah seorang pemimpin sejati. Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu meletakkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. Contohnya, ikrarnya yang akan membujang sebelum Republik Indonesia merdeka. Ia pun menunaikan janji suci itu. Bung Hatta menikah setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.
Menilik ketokohan dan komitmen, kini sosoknya sangat dirindukan di tengah semakin pragmatisnya pemimpin negeri ini. Pemimpin negeri ini lebih mementingkan diri sendiri dan golongan daripada kepentingan bangsa dan negara. Mereka sentitif menjaga muruah partai, namun abai masalah kebangsaan yang semakin tercabaik kekerasan dan konflik.
Pemimpin sekarang pun jauh dari kata amanat. Mereka lebih suka berbohong daripada jujur. Lebih banyak khianat daripada amanat. Janji-janji politik yang ia ucapkan kini telah dikangkangi atas nama ego dan nafsu berkuasa. Padahal, ucapan seorang pemimpin merupakan janji (sabda pandita ratu).
Bukan Ban Serep
Sabda pandita ratu dipegang teguh oleh Bung Hatta. Kejujuran dalam berucap dan bersikap menjadikannya mampu memimpin negeri bersama Soekarno. Mendampingi Soekarno sebagai wapres tidak berarti mengerdilkan peran suami dari Rahmi Rachim ini.
Bung Hatta bukanlah ban serep. Ia pun melakukan tugas kebangsaan dan kenegaraan dalam koridor yang benar. Ia melakukan semua itu hanya didasarkan pada cita-citanya mewujudkan hidup rukun, adil, dan sejahtera.
Cita-cita itulah yang menjadikan Bung Hatta bersikukuh terus berjuang walaupun ia berbeda pandangan dengan Bung Karno. Bung Hatta tak segan mengkritik Bung Karno.
Kritik itu bukan didasarkan pada rasa tidak suka atau benci. Namun, pejuang yang mendapatkan gelar kehormatan akademis doctor honoris causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta pada 27 November 1956 ini, sangat sayang dan mencintai Soekarno sebagai pemimpin revolusi Indonesia.
Duet Soekarno-Hatta telah menyejarah. Duet ini telah meletakkan dasar kenegaraan yang baik, walaupun akhirnya, Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wapres pada 1956. Ia merasa sudah tidak sejalan dengan Soekarno. Meskipun telah mengundurkan diri dari Wapres, ia tetap menjalin hubungan baik dengan Soekarno. Ia pun kerap memberikan masukan guna terselenggaranya pemerintahan yang kuat dan bijak di Republik Indonesia.
Sosok Bung Hatta tidak mudah meledak-ledak dalam menghadapi berbagai permasalahan. Sikapnya ini mengantarkan ia menjadi diplomat ulung. Ia seringkali diutus Soekarno menjadi juru damai atau inisiator dalam berbagai konferensi internasional. Sikapnya yang tenang dan tidak mudah terpancing amarah pun menjadikan Bung Hatta disegani orang lain.
Bung Hatta telah mewariskan semangat juang menjadi seorang pemimpin. Ia memberi teladan kepada masyarakat, menjadi wapres bukan berarti selalu menjadi nomor dua. Wapres merupakan amanat kebangsaan yang selayaknya diemban dan ditunaikan. Posisi wapres bukanlah penghalang untuk berkarya untuk nusa dan bangsa. Wapres merupakan posisi terhormat.
Berbagi Peran
Guna mewujudkan itu, presiden sebagai panglima selayaknya mau berbagi peran dengan wapres. Pengebirian terhadap posisi wapres hanya akan meninggalkan catatan sejarah buruk bagi anak bangsa. Presiden selaku pemimpin selayaknya mampu bersinergi dengan kelebihan dan kekurangan wapres. Tanpa hal tersebut, posisi wapres hanya akan menjadi pelengkap tanpa kerja yang jelas. Wapres pun hanya sekadar pajangan pelengkap amanat UU.
Bung Hatta telah mewariskan tatanan politik yang beradab, menjadi wapres tanpa harus mengebiri posisi presiden. Lebih dari itu, Bung Hatta juga telah menunjukkan secara gamblang dalam ranah konsolidasi demokrasi, bahwa wapres bukan ban serep.
Wapres memiliki posisi tawar dalam turut serta membangun masa depan bangsa. Ia bukan hanya sekadar “pendamping”. Artinya, seseorang yang hanya dibutuhkan saat presiden tak lagi mampu menjalankan tugas kenegaraan. Bersama presiden, wapres adalah tulang punggung pemerintahan. Ia adalah nakhoda bangsa.
Pada akhirnya, semoga pembahasan koalisi hari ini tidak hanya sekadar basa-basi mencari dukungan guna memenuhi syarat konstitusi. Namun, mengarah pada prinsip kehidupan demokratisasi yang sehat, pembagian kewenangan yang memanusiakan antara presiden dan wakil presiden.
Opini, Sinar Harapan, Rabu, 30 April 2014
Pembahasan koalisi hari ini tidak hanya sekadar basa-basi mencari dukungan.
Gema koalisi semakin santer terdengar hingga seantero negeri. Gema koalisi ala hitungan cepat (quick count /QC)—karena didasarkan hasil QC sejumlah lembaga survei—tampaknya hanya mencari sosok wakil presiden. Pasalnya, “partai pemenang pemilu”—PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra—sudah membawa nama calon presiden (capres). Kini mereka keliling (sowan) untuk mendapatkan dukungan dan menawarkan posisi wapres.
Posisi cawapres kini cukup seksi. Ia dicari oleh capres. Pasalnya, menurut beberapa pengamat politik, kesalahan memilih cawapres dapat menyebabkan keterpurukan. Artinya, salah memilih cawapres, sang capres akan kalah dalam pemilihan presiden (pilpres) pada 9 Juli.
Hal tersebut tentu berbeda dengan pemilu sebelumnya, apalagi saat Orde Baru masih berkuasa. Posisi wapres tidak menjadi kebanggaan. Wapres lebih banyak berperan sebagai pelengkap penderita (ban serep).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah iklim yang mulai memihak kepada wapres ini mampu mewujudkan benar kerja bersama antara presiden dan wakil presiden di era mendatang?
Pemimpin Sejati
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia telah melahirkan dua sosok wapres paling monumental, Muhammad Hatta dan Jusuf Kalla. Tulisan ini hanya akan difokuskan pada pembahasan sosok Muhammad Hatta yang akrab disapa Bung Hatta.
Bung Hatta tidak hanya seorang Bapak Bangsa. Ia adalah seorang pemimpin sejati. Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu meletakkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. Contohnya, ikrarnya yang akan membujang sebelum Republik Indonesia merdeka. Ia pun menunaikan janji suci itu. Bung Hatta menikah setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.
Menilik ketokohan dan komitmen, kini sosoknya sangat dirindukan di tengah semakin pragmatisnya pemimpin negeri ini. Pemimpin negeri ini lebih mementingkan diri sendiri dan golongan daripada kepentingan bangsa dan negara. Mereka sentitif menjaga muruah partai, namun abai masalah kebangsaan yang semakin tercabaik kekerasan dan konflik.
Pemimpin sekarang pun jauh dari kata amanat. Mereka lebih suka berbohong daripada jujur. Lebih banyak khianat daripada amanat. Janji-janji politik yang ia ucapkan kini telah dikangkangi atas nama ego dan nafsu berkuasa. Padahal, ucapan seorang pemimpin merupakan janji (sabda pandita ratu).
Bukan Ban Serep
Sabda pandita ratu dipegang teguh oleh Bung Hatta. Kejujuran dalam berucap dan bersikap menjadikannya mampu memimpin negeri bersama Soekarno. Mendampingi Soekarno sebagai wapres tidak berarti mengerdilkan peran suami dari Rahmi Rachim ini.
Bung Hatta bukanlah ban serep. Ia pun melakukan tugas kebangsaan dan kenegaraan dalam koridor yang benar. Ia melakukan semua itu hanya didasarkan pada cita-citanya mewujudkan hidup rukun, adil, dan sejahtera.
Cita-cita itulah yang menjadikan Bung Hatta bersikukuh terus berjuang walaupun ia berbeda pandangan dengan Bung Karno. Bung Hatta tak segan mengkritik Bung Karno.
Kritik itu bukan didasarkan pada rasa tidak suka atau benci. Namun, pejuang yang mendapatkan gelar kehormatan akademis doctor honoris causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta pada 27 November 1956 ini, sangat sayang dan mencintai Soekarno sebagai pemimpin revolusi Indonesia.
Duet Soekarno-Hatta telah menyejarah. Duet ini telah meletakkan dasar kenegaraan yang baik, walaupun akhirnya, Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wapres pada 1956. Ia merasa sudah tidak sejalan dengan Soekarno. Meskipun telah mengundurkan diri dari Wapres, ia tetap menjalin hubungan baik dengan Soekarno. Ia pun kerap memberikan masukan guna terselenggaranya pemerintahan yang kuat dan bijak di Republik Indonesia.
Sosok Bung Hatta tidak mudah meledak-ledak dalam menghadapi berbagai permasalahan. Sikapnya ini mengantarkan ia menjadi diplomat ulung. Ia seringkali diutus Soekarno menjadi juru damai atau inisiator dalam berbagai konferensi internasional. Sikapnya yang tenang dan tidak mudah terpancing amarah pun menjadikan Bung Hatta disegani orang lain.
Bung Hatta telah mewariskan semangat juang menjadi seorang pemimpin. Ia memberi teladan kepada masyarakat, menjadi wapres bukan berarti selalu menjadi nomor dua. Wapres merupakan amanat kebangsaan yang selayaknya diemban dan ditunaikan. Posisi wapres bukanlah penghalang untuk berkarya untuk nusa dan bangsa. Wapres merupakan posisi terhormat.
Berbagi Peran
Guna mewujudkan itu, presiden sebagai panglima selayaknya mau berbagi peran dengan wapres. Pengebirian terhadap posisi wapres hanya akan meninggalkan catatan sejarah buruk bagi anak bangsa. Presiden selaku pemimpin selayaknya mampu bersinergi dengan kelebihan dan kekurangan wapres. Tanpa hal tersebut, posisi wapres hanya akan menjadi pelengkap tanpa kerja yang jelas. Wapres pun hanya sekadar pajangan pelengkap amanat UU.
Bung Hatta telah mewariskan tatanan politik yang beradab, menjadi wapres tanpa harus mengebiri posisi presiden. Lebih dari itu, Bung Hatta juga telah menunjukkan secara gamblang dalam ranah konsolidasi demokrasi, bahwa wapres bukan ban serep.
Wapres memiliki posisi tawar dalam turut serta membangun masa depan bangsa. Ia bukan hanya sekadar “pendamping”. Artinya, seseorang yang hanya dibutuhkan saat presiden tak lagi mampu menjalankan tugas kenegaraan. Bersama presiden, wapres adalah tulang punggung pemerintahan. Ia adalah nakhoda bangsa.
Pada akhirnya, semoga pembahasan koalisi hari ini tidak hanya sekadar basa-basi mencari dukungan guna memenuhi syarat konstitusi. Namun, mengarah pada prinsip kehidupan demokratisasi yang sehat, pembagian kewenangan yang memanusiakan antara presiden dan wakil presiden.
Jumat, 25 April 2014
Satinah dan Diplomasi Kebudayaan
Oleh Benni Setiawan
Esai, Koran Sindo, Minggu, 13 April 2014
Satinah binti Jumadi Ahmad (masih) dalam ancaman. Pembatalan hukuman pancung tidak sertamerta dapat membebaskannya.
Pembatalan qissas itu telah gugur karena keluarga korban menerima pembayaran diyatsebesar7jutariyalatau Rp21 miliar. Kini tenaga kerja wanita (TKW) asal Ungaran, Semarang, Jawa Tengah ini akan menjalani proses hukuman umum. Bebasnya Satinah dari hukuman pancung tentu tak lepas dari gerakan ”Save Satinah” di Tanah Air.
Mereka dengan kerelaan hati mengumpulkan uang sumbangan untuk membebaskan Satinah dan mendesak pemerintah menyelamatkan nyawa TKW di tanah rantau. Perjuangan rakyat membebaskan Satinah seakan menohok jantung pemerintahan. Pemerintah Indonesia seakan gamang— tidak memiliki agenda permanen—dalam membela pahlawan devisa. Hingga saat ini, setidaknya ada265buruhmigran Indonesiayangdivonishukuman mati di negara tempat mereka bekerja. Jumlahyangtaksedikituntuk ukuran kemanusiaan.
Diplomasi Budaya
Namun, pemerintah seakan diam termangu melihat realitas ini. Pemerintah seakan tunduk taklukterhadapsegalaperaturan dimancanegara. Lobikhaspemerintah dengan mengirimkan surat tidak akan pernah efektif. Lobi surat itu menunjukkan kepada masyarakat betapa pemerintah tidak paham sosiologis masyarakat Arab. Dalam sosiologi masyarakat Arab, lobidilakukandengantatap muka.
Sekiranya berkirim surat, maka surat harus di hantar oleh utusan yang dapat dipercaya dan mempunyai kedekatan emosional dengan yang ditujukan surat itu. Bertemu langsung dan membincang masalah yang sedang dihadapi menjadi senjata ampuh meluluhkan hati orang Arab. Saat bertemu itulah, seorang utusan hendaknya dapat menyentuh kepada tuan rumah. Mengusap kepala bagi orang Arab merupakan bentuk penghormatan. Orang Arab merasa terhormat jika seorang tamu mau mengusap kepala. Budaya tersebut telah ada sejak lama.
Bahkan, Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkanseseorangmengusap kepala anak yatim saat bulan Muharam. Sebagaimana hadis, ”Barangsiapa mengusap kepala anak yatim yang semata-mata karena Allah di setiap rambut yang ia usap, Allah berikan kebaikan”. Walaupun hadis di atas dinyatakan doif (lemah), keagungan dan penghormatan orang Arab terhadap seseorang yang berkenan mengusap kepala merupakan sebuah realitas yang tak terelakkan.
Bahkan, dalam sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dinyatakan bahwa ”Sesungguhnya seorang lelaki mengadu pada Nabi Muhammad, SAW, tentang kerasnya hatinya, Nabi bersabda ”Berikan makanan kepada orang miskin dan usaplah kepala anak yatim”. Hadis di atas secara gamblangmenjelaskanbahwauntuk meluluhkan hati yang keras, mengusap kepala orang lain menjadi hal utama. Mengusap kepala, dengan demikian, mampu mengubah cara pandang seseorang terhadap orang lain.
Dalam kasus diplomasi untuk membebaskan TKI yang dalam ancaman hukuman pancung, pemerintah perlu melakukan hal itu. Datang ke Arab Saudi menemui otoritas pemerintahsetempat dankeluarga guna membincang nasib TKI. Datang dan mengelus kepala mereka menjadi hal wajib yang harus dilakukan jika ingin diplomasinya berhasil. Pemerintah hanya perlu memperhatikan satu hal, orang Arab sangat tidak suka jika dipegang atau tersentuh pantatnya.
Bagi mereka, memegang pantat merupakan bentuk pelecehan. Inilah diplomasi budaya yang dapat ditempuh guna meluluhkan hati orang Arab. Kerja budaya ini perlu menjadi perhatian pemerintah di tengah semakin banyaknya jumlah TKW yang terancam hukuman mati. Menyelamatkan satu nyawa TKW berarti pemerintah telah memberi hak hidup kepada seluruh makhluk di dunia.
Proses penyelamatan nyawa seseorang ini perlu menggunakan pendekatan sosiologis berbasis budaya. Pasalnya, melaluikerjaitu, pemerintah dapat meletakkan posisinya sebagai masyarakat beradab, yaitu masyarakat yang mampu menghormati kebudayaan orang lain.
Momentum Berbenah
Selainkerja-kerja kebudayaan tersebut, pemerintah selayaknya perlu memikirkan formula yang tepat guna mencegah atau setidaknya mengurangijumlahTKW di luar negeri. Semakin banyak TKW (TKI) menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola aset bangsa. Aset bangsa adalah hak warga negara Indonesia dan diperuntuhkan untuk kemakmuran Nusantara. Hal tersebut merupakan bagian dari amanat kebangsaan yang termuat dalam lembaran negara, UUD 1945. Saat aset bangsa mampu dikelola dengan baik oleh pemerintah, bangsa Indonesia tidak perlu lagi mengais rezeki di negeri orang. Mereka pun tidak perlu lagi bertaruh nyawa untuk menda-patkan penghasilan.
Cukup bekerja sesuai potensi yang dimiliki di tanah air. Pada akhirnya, mencuatnya kasus Satinah selayaknya menjadi momentum bagi pemerintah untuk berbenah. Membebani tatanan berbangsa dan ber-negara, agarhajathiduporangbanyakdapat dipenuhi di negeri sendiri. Jangansampaiwargabangsabertaruh nyawa untuk ”memakmurkan” negeri, sedangkanpemerintah acuh terhadap mereka.
Esai, Koran Sindo, Minggu, 13 April 2014
Satinah binti Jumadi Ahmad (masih) dalam ancaman. Pembatalan hukuman pancung tidak sertamerta dapat membebaskannya.
Pembatalan qissas itu telah gugur karena keluarga korban menerima pembayaran diyatsebesar7jutariyalatau Rp21 miliar. Kini tenaga kerja wanita (TKW) asal Ungaran, Semarang, Jawa Tengah ini akan menjalani proses hukuman umum. Bebasnya Satinah dari hukuman pancung tentu tak lepas dari gerakan ”Save Satinah” di Tanah Air.
Mereka dengan kerelaan hati mengumpulkan uang sumbangan untuk membebaskan Satinah dan mendesak pemerintah menyelamatkan nyawa TKW di tanah rantau. Perjuangan rakyat membebaskan Satinah seakan menohok jantung pemerintahan. Pemerintah Indonesia seakan gamang— tidak memiliki agenda permanen—dalam membela pahlawan devisa. Hingga saat ini, setidaknya ada265buruhmigran Indonesiayangdivonishukuman mati di negara tempat mereka bekerja. Jumlahyangtaksedikituntuk ukuran kemanusiaan.
Diplomasi Budaya
Namun, pemerintah seakan diam termangu melihat realitas ini. Pemerintah seakan tunduk taklukterhadapsegalaperaturan dimancanegara. Lobikhaspemerintah dengan mengirimkan surat tidak akan pernah efektif. Lobi surat itu menunjukkan kepada masyarakat betapa pemerintah tidak paham sosiologis masyarakat Arab. Dalam sosiologi masyarakat Arab, lobidilakukandengantatap muka.
Sekiranya berkirim surat, maka surat harus di hantar oleh utusan yang dapat dipercaya dan mempunyai kedekatan emosional dengan yang ditujukan surat itu. Bertemu langsung dan membincang masalah yang sedang dihadapi menjadi senjata ampuh meluluhkan hati orang Arab. Saat bertemu itulah, seorang utusan hendaknya dapat menyentuh kepada tuan rumah. Mengusap kepala bagi orang Arab merupakan bentuk penghormatan. Orang Arab merasa terhormat jika seorang tamu mau mengusap kepala. Budaya tersebut telah ada sejak lama.
Bahkan, Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkanseseorangmengusap kepala anak yatim saat bulan Muharam. Sebagaimana hadis, ”Barangsiapa mengusap kepala anak yatim yang semata-mata karena Allah di setiap rambut yang ia usap, Allah berikan kebaikan”. Walaupun hadis di atas dinyatakan doif (lemah), keagungan dan penghormatan orang Arab terhadap seseorang yang berkenan mengusap kepala merupakan sebuah realitas yang tak terelakkan.
Bahkan, dalam sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dinyatakan bahwa ”Sesungguhnya seorang lelaki mengadu pada Nabi Muhammad, SAW, tentang kerasnya hatinya, Nabi bersabda ”Berikan makanan kepada orang miskin dan usaplah kepala anak yatim”. Hadis di atas secara gamblangmenjelaskanbahwauntuk meluluhkan hati yang keras, mengusap kepala orang lain menjadi hal utama. Mengusap kepala, dengan demikian, mampu mengubah cara pandang seseorang terhadap orang lain.
Dalam kasus diplomasi untuk membebaskan TKI yang dalam ancaman hukuman pancung, pemerintah perlu melakukan hal itu. Datang ke Arab Saudi menemui otoritas pemerintahsetempat dankeluarga guna membincang nasib TKI. Datang dan mengelus kepala mereka menjadi hal wajib yang harus dilakukan jika ingin diplomasinya berhasil. Pemerintah hanya perlu memperhatikan satu hal, orang Arab sangat tidak suka jika dipegang atau tersentuh pantatnya.
Bagi mereka, memegang pantat merupakan bentuk pelecehan. Inilah diplomasi budaya yang dapat ditempuh guna meluluhkan hati orang Arab. Kerja budaya ini perlu menjadi perhatian pemerintah di tengah semakin banyaknya jumlah TKW yang terancam hukuman mati. Menyelamatkan satu nyawa TKW berarti pemerintah telah memberi hak hidup kepada seluruh makhluk di dunia.
Proses penyelamatan nyawa seseorang ini perlu menggunakan pendekatan sosiologis berbasis budaya. Pasalnya, melaluikerjaitu, pemerintah dapat meletakkan posisinya sebagai masyarakat beradab, yaitu masyarakat yang mampu menghormati kebudayaan orang lain.
Momentum Berbenah
Selainkerja-kerja kebudayaan tersebut, pemerintah selayaknya perlu memikirkan formula yang tepat guna mencegah atau setidaknya mengurangijumlahTKW di luar negeri. Semakin banyak TKW (TKI) menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola aset bangsa. Aset bangsa adalah hak warga negara Indonesia dan diperuntuhkan untuk kemakmuran Nusantara. Hal tersebut merupakan bagian dari amanat kebangsaan yang termuat dalam lembaran negara, UUD 1945. Saat aset bangsa mampu dikelola dengan baik oleh pemerintah, bangsa Indonesia tidak perlu lagi mengais rezeki di negeri orang. Mereka pun tidak perlu lagi bertaruh nyawa untuk menda-patkan penghasilan.
Cukup bekerja sesuai potensi yang dimiliki di tanah air. Pada akhirnya, mencuatnya kasus Satinah selayaknya menjadi momentum bagi pemerintah untuk berbenah. Membebani tatanan berbangsa dan ber-negara, agarhajathiduporangbanyakdapat dipenuhi di negeri sendiri. Jangansampaiwargabangsabertaruh nyawa untuk ”memakmurkan” negeri, sedangkanpemerintah acuh terhadap mereka.