Search

Jumat, 28 Maret 2014

Membaca (Masa Depan) Parpol Islam

Oleh Benni Setiawan


"Gagasan", Solo Pos, Senin, 24 Maret 2014

Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 kian dekat. Partai politik (parpol) sudah mulai saling sikut dan serang. Mereka saling mencari titik lemah. Semua juru kampanye dan pengurus parpol mengaku parpolnya mampu memenangi hajatan akbar lima tahunan ini.

Saat semua saling klaim menang dengan saling melontarkan kritik, kegaduhan politik tidak terhindarkan. Kegaduhan itu muncul sebagai akibat kurang dewasanya calon pemimpin bangsa dalam bersikap.

Mereka tidak lagi menyerang simbol partai, namun kualitas diri pun menjadi bahan ejekan. Perang survei seakan menggenapi kegaduhan itu. Namun, di tengah semua itu ada yang menarik perhatian. Yaitu, semakin melemahnya suara parpol Islam dalam memperebutkan suara rakyat.

Hasil survei Lembaga Survei Jakarta (LSJ) pada akhir Januari 2014 menunjukkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) punya tingkat keterpilihan 19,83 persen; Partai Golongan Karya (Golkar) 17,74 persen,

Kemudian, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 12,58 persen; Partai Nasional Demokrat (Nasdem) 6,94 persen; Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 6,85 persen; Partai Demokrat 6,12 persen; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 4,83 persen.

Selanjutnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 4,67 persen; Partai Amanat Nasional (PAN) 4,51 persen; Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 3,87 persen; Partai Bulan Bintang (PBB) 1,2 persen; dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) 0,24 persen.

Pada Februari 2014, Indonesia Network Elections Survei (INES) merilis hasil survei elektabilitas. Hasil survei menyatakan PDIP punya tingkat keterpilihan 26,7 persen; Partai Gerindra 26,6 persen; Partai Golkar 14,8 persen; Partai Hanura 7,5 persen: Partai Nasdem 6,9 persen; Partai Demokrat 4,3 persen; PPP 3,6 persen; PAN 2,6 persen; PKB 2,6 persen; PKS 2,1 persen; PBB 1,2 persen; dan PKPI 1,1 persen.

Sementara itu, berdasarkan hasil survei terakhir CIRUS pada 1 Februari-8 Maret 2014, secara keseluruhan parpol Islam hanya mendapat dukungan dari total 24,67 persen responden dengan rincian PKB sebanyak 7,82 persen, PPP 7,26 persen, PAN 4,93 persen, PKS 3,78 persen, dan PBB 0,83 persen.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa elektabilitas parpol Islam rendah, padahal bangsa ini dihuni mayoritas penduduk muslim?



Posisi Minoritas

Pada Pemilu 1955, jumlah perolehan total suara parpol berbasis Islam sebesar 43,5 persen. Pada Pemilu 1999, jumlah total perolehan suara hanya 36,7 persen. Pada Pemilu 2004 sempat mengalami kenaikan menjadi 38,3 persen dan pada Pemilu 2009 mengalami penurunan kembali menjadi 29,2 persen.

Catatan jumlah perolehan suara parpol Islam dari pemilu ke pemilu tersebut sepertinya masih meneguhkan apa yang pernah dirumuskan Deliar Noer mengenai realitas relasi Islam dan politik di negeri ini, bahwa Islam adalah mayoritas secara sosiologis, tetapi minoritas secara politik (Syamsuddin Haris, 2011).

Dengan kata lain, meskipun hampir 85 persen jumlah penduduk Indonesia merupakan pemeluk Islam, dalam realitas politik hampir selalu dalam posisi minoritas (Ridho Imawan Hanafi, 2013).

Parpol Islam seakan tidak bertaji berhadapan dengan parpol berbasis nasionalis. Temuan itu pun seakan mengamini apa yang dilontarkan Nurcholish Madjid: Islam Yes, Partai Islam No.

Posisi minoritas semakin diperparah oleh jargon-jargon parpol Islam yang hanya asal tempel. Artinya, parpol Islam tidak kreatif dalam membingkai seruan. Parpol Islam masih terjebak pada religiositas yang pada gilirannya umat malah tidak bersimpati.

Umat menganggap parpol Islam hanya pantai penyitir ayat yang pada gilirannya dipergunakan untuk kepentingan pragmatis. Ironisnya, pragmatisme itu semakin mengerdilkan fungsi kepedulian dan pemanusiaan sebagaimana ayat itu diturunkan.



Skeptisisme

Kecilnya perolehan suara parpol berbasis Islam dalam pandangan Vedi Hadiz (2011) sebagai imbas dari marginalisasi dan ketimpangan kelas yang merupakan akibat kebijakan rezim.

Marginalisasi dan ketimpangan kelas saat ini telah menyeret arus utama umat Islam untuk tidak memilih parpol Islam sebagai penyaluran aspirasi. Bagi mereka, parpol Islam dan bukan parpol Islam sama saja.

Parpol Islam dan bukan parpol Islam sama-sama korup, tidak peduli terhadap rakyat kecil, dan mementingkan kepentingan pribadi legislator yang terpilih. Watak ”asli” legislator itulah yang menimbulkan skeptisisme umat untuk memilih parpol Islam.

Parpol Islam belum mampu tampil beda dan membela realitas kemanusiaan sebagaimana ancangan Islam. Seakan, parpol Islam malah mengerdilkan Islam di kancah politik praktis.

Maka dari itu, jika parpol Islam masih ingin mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia sudah selayaknya membuktikan diri. Membuktikan bahwa ia amanah dalam mengembang aspirasi rakyat.

Amanah itu berwujud dalam perilaku keseharian yang jauh dari sifat hedonis dan glamor, sehingga mampu terbebas dari belenggu korupsi. Jika parpol Islam masih saja terbelenggu arus utama korupsi, parpol itu akan semakin ditinggalkan umat.

Umat akan semakin muak dan bosan melihat tingkah laku mereka. Ketika umat sudah demikian, tingkat partisipasi dalam pemilu akan semakin turun dari tahun ke tahun.

Keengganan masyarakat memilih parpol Islam di bilik suara dalam pemilu merupakan senja kala kekalahan umat Islam dalam berpolitik. Islam seakan hanya menjadi alat pendulang suara tanpa pemaknaan.

Nilai-nilai Islam yang mulia pun semakin luntur di tengah ketidakmampuan mengejawantahkan cita-cita besar itu. Pada akhirnya, Pemilu 2014 seakan menjadi ajang pembuktian diri parpol Islam.

Pembuktian apakah mereka mampu bertahan di jagat politik dengan baju agama, atau terbenam bersama cita-cita menyejahterakan rakyat banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar