Oleh Benni Setiawan
"Opini", Sinar Harapan, Sabtu, 15 Februari 2014
Masyarakat dan pemerintah seharusnya tidak lagi kaget dengan kehadiran bencana alam.
Bencana alam seakan selalu mengintai bangsa Indonesia. Dari Sabang hingga Merauke bencana menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa. Namun, tampaknya bangsa ini tidak mau belajar dari berbagai bencana tersebut.
Bangsa ini masih selalu gagap dalam menanggani dan mengelola bencana. Selalu saja berulang masalah-masalah klasik seperti, alam yang tidak bersahabat, menumpuknya bantuan di pusat-pusat kota, koordinasi yang lemah antara pemerintah daerah dan pusat, sampai pemerintah daerah (bupati/gubernur) yang sibuk menjemput dan menyiapkan fasilitas untuk pemerintah pusat (presiden, wakil presiden, menteri) sehingga lupa penderitaan korban bencana alam. Menyalahkan alam (hujan, tanah longsor, dan gunung meletus) dan saling tuding menjadi hal lumrah dalam menangani bencana.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa peristiwa-peristiwa ini selalu berulang. Berulangnya bencana seakan telah menjadi banalitas (meminjam istilah Hannah Arendt). Mengapa bangsa Indonesia masih menganggap bencana sebagai hal yang baru sehingga penanganannya selalu terlambat untuk tidak mengatakan kacau-balau?
Kearifan Lokal
Irwan Abdullah (2008) menyatakan, ada tiga hal dalam menghadapi bencana alam. Pertama, bencana seyogianya ditanggapi sebagai “proses” yang harus dilihat dari tahapan historis, dalam sumber-sumber pembentukan dan kelahirannya. Itu dalam nilai-nilai yang dipilih dan dalam kekuatan yang menggerakkan proses itu hingga menjadi suatu bencana.
Sebagai proses, bencana dapat dikelola dan dikendalikan pada tingkatan yang berbeda-beda berdasarkan kemampuan pengetahuan, sikap, tindakan-tindakan, dan kelembagaan yang tersedia.
Pemahaman yang lengkap tentang keseluruhan hubungan manusia dengan lingkungan dalam proses mutual production of each others existence memungkinkan prediksi dan kesiapan dalam menghadapi bencana itu. Hal tersebut juga memungkinkan minimalisasi status kerentanan masyarakat terhadap suatu bencana.
Kedua, suatu bencana perlu ditanggapi sebagai “konteks”, bukan sekadar event atau peristiwa yang terjadi pada suatu saat. Sebagai konteks, ia memberikan perspektif dan definisi tentang code of conduct yang dipatuhi secara kolektif, baik bagi masyarakat maupun berbagai pihak lain dalam berbagi bentuk tindakan dan kebijakan yang dirumuskan dalam situasi normal.
Dengan melihat bencana sebagai konteks, kita bisa membebaskan diri dari perangkap normalitas, ketika kehidupan bersifat labil atau disorder sehingga membutuhkan pengakuan dan praktik penafsiran yang lain secara akademis maupun kebijakan.
Keberadaan “daerah bencana” atau “korban bencana” merupakan ruang kebijakan yang harus menjadi bagian dari suatu kebijakan normal. Jadi, tidak seharusnya dirumuskan mendadak, tiba-tiba, pada saat bencana itu hadir dan seperti biasanya, menimbulkan chaos dan disorganized.
Ketiga, bencana adalah “ranah’ bagi pemahaman yang lebih dalam dan mendasar tentang hakikat dari hubungan-hubungan dalam konstruksi masyarakat. Melalui bencana, dapat diketahui esensi dan rahasia tentang kelemahan dan kekuatan tersembunyi dari suatu masyarakat, yang dalam situasi “normal’ tertutup sistem dan struktur yang membungkusnya.
Keberadaan dan akibat bencana menjangkau spektrum yang luas sehingga bencana memberi potensi menghubungkan analisis ilmu sosial dengan pilihan-pilihan ideologis dan kepentingan yang menentukan kehadiran suatu bencana. Itu juga memengaruhi tanggapan serta misi yang diemban dalam keseluruhan pemulihan dan rekonstruksi.
Menilik teori di atas, seharusnya bangsa Indonesia sudah siap menghadapi berbagai bencana yang silih berganti. Bangsa Indonesia sudah kenyang dengan pengalaman kebencanaan.
Dalam kasus erupsi Gunung Sinabung misalnya, erupsi yang selalu berulang tiga atau empat tahun sekali itu harus sudah diantisipasi dengan baik sejak awal. Kearifan lokal sebagai modal sosial masyarakat sudah saatnya mendapat tempat di tengah pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kearifan lokal (local genius) dapat menjadi proses historis yang selalu menyadarkan masyarakat tentang bencana kegunungapian. Gunung menjadi rumah sekaligus alam bagi kehidupan masyarakat. Ia adalah sumber berkat bagi masyarakat. Jadi, ketika terjadi erupsi, bangsa ini telah siap. Pengalaman ini seharusnya sudah menjadi dasar kebijakan pemerintah, sebagai pemangku kebijakan, untuk bertindak cepat dan tepat atas nama rakyat.
Pengalaman yang kaya ini menjadi sebuah langkah berani pemerintah untuk mengambil kebijakan. Kebijakan yang tepat merupakan aksi tanggap, bukan aksi sementara yang miskin nilai. Bencana bukanlah event yang dapat dikerjakan dalam dua atau tiga hari, lalu selesai.
Menjaga Harmoni
Lebih dari itu, masyarakat dan pemerintah seharusnya tidak lagi kaget dengan kehadiran bencana alam. Inilah bentuk persahabatan manusia dengan alam. Alam bukan lagi musuh manusia karena selalu mendatangkan bencana. Manusia pun tidak lagi gampang menyalahkan alam.
Alam adalah mahakarya indah bagi manusia. Jika manusia tidak mampu bersinergi dan memelihara alam, ia akan murka. Murka alam akan menghancurkan semesta kehidupan manusia. Manusia pun kalah akan kehendak alam.
Oleh karena itu, bencana alam bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia. Ia sudah ada sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Sudah selayaknya penanganan bencana tidak lagi serampangan dan cenderung menyalahkan alam. Sinergi (bersahabat) antara alam dan manusia merupakan kata kunci utama dalam mengurai masalah ini.
Akhirnya, alam punya mekanisme menjaga harmoni. Manusia pun punya akal mengelola harmoni itu. Persahabatan alam dan manusia menjadi hal mutlak di tengah intensitas bencana yang semakin tinggi.
Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Sabtu, 15 Februari 2014
Bumi Satu, Manusia Banyak
Oleh Benni Setiawan
"Kolom", Koran Tempo, Sabtu, 15 Februari 2014
Bencana telah menjadi menu harian bangsa Indonesia. Tampak tak ada sejengkal tanah tersisa tanpa sentuhan banjir, tanah longsor, gempa bumi, puting beliung, dan letusan gunung berapi. Manusia yang mendiami tanah pun meratapi kepiluan, menangisi kepergian orang tersayang dan hilangnya harta benda. Alam tampaknya ingin memperlihatkan kekuatannya kepada manusia. Belum tuntas menyelesaikan bencana Gunung Sinabung, Karo, Sumatera Utara, kini ada 19 gunung kembali aktif dan berstatus waspada serta siaga. Dan Gunung Kelud pun meletus pada 13 Februari.
Saat ini rasanya kita diajak untuk menghargai kearifan kuno. Bahwa manusia adalah bagian integral dari alam, bukan penguasa alam. Kearifan kuno mengajarkan keserasian antara habit, habitus, dan habitat. Ketika manusia sebagai habitus mengambil sikap eksploitasi dan konfrontasi terhadap habitat alamnya, manusia pasti kalah. Bukti kekalahan manusia ketika konfrontasi terhadap alam semakin banyak. Kini saatnya kita merenung dan menyadari betapa rapuh sesungguhnya posisi kita di hadapan semesta.
Sudah lama kita mendengar kata kosmologi, yang artinya pengetahuan dan kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam. Disebut kosmos, bukan chaos, karena alam ini indah dan teratur. Begitulah Tuhan menciptakan. Hanyalah manusia yang memiliki potensi untuk merusak keteraturan alam, bukan makhluk lain. Namun, sehebat apa pun kekuatan manusia untuk melawan alam, tidak mungkin manusia akan bisa memenangkannya. Apa yang bisa diraih dan ditaklukkan manusia terlalu kecil di hadapan semesta yang tak terbatas (Komaruddin Hidayat, 2006).
Karena itu, meminjam istilah filsafat antroposentrisme-yang memandang kebaikan dan kebenaran bersumber dari manusia-- selayaknya akal budi manusia mampu membaca "kekuasaan" alam ini. Akal budi akan menuntun manusia menuju kesalehan, bukan hanya kesalahen individu, tapi juga kesalahen sosial. Sebaliknya, tanpa akal budi ini, manusia akan terperosok ke lubang kenistaan. Manusia akan terjatuh dari sebaik-baik makhluk (ahsani taqwim) menjadi seburuk-buruk penciptaan (syarrul ummah).
Selain itu, tampaknya kita perlu menyimak gagasan Aldo Leopold (1994) tentang etika bumi. Baginya, istilah bumi ini merujuk pada segala sesuatu yang hidup pada semua obyek natural dan proses yang membentuk ekosistem tertentu. Setiap individu adalah bagian dari suatu komunitas alami dan adalah absurd menganggap bahwa orang tak punya kewajiban komunitasnya sendiri.
Etika bumi memperluas pengertian komunitas hingga mencakup tanah, air, flora, dan fauna atau---secara kolektif-bumi. Berhubung etika itu bersendikan presumsi bahwa individu adalah anggota suatu komunitas dengan bagian lain yang interdependen (Daoed Joesoef, 2013).
Ide etika bumi di atas mengajak manusia menyadari bahwa ia terintegrasi satu sama lain. Jika manusia satu merusak, akan mengakibatkan kerugian bagi yang lain. Manusia selayaknya menyadari bahwa posisinya mempengaruhi keberadaan orang lain. Tuhan tentu mempunyai alasan mengapa hanya menciptakan bumi satu dan memperanakkan manusia hingga banyak. Tuhan tampaknya ingin menguji seberapa amanat manusia menjaga yang satu. Jika gagal, manusia seharusnya malu. *
"Kolom", Koran Tempo, Sabtu, 15 Februari 2014
Bencana telah menjadi menu harian bangsa Indonesia. Tampak tak ada sejengkal tanah tersisa tanpa sentuhan banjir, tanah longsor, gempa bumi, puting beliung, dan letusan gunung berapi. Manusia yang mendiami tanah pun meratapi kepiluan, menangisi kepergian orang tersayang dan hilangnya harta benda. Alam tampaknya ingin memperlihatkan kekuatannya kepada manusia. Belum tuntas menyelesaikan bencana Gunung Sinabung, Karo, Sumatera Utara, kini ada 19 gunung kembali aktif dan berstatus waspada serta siaga. Dan Gunung Kelud pun meletus pada 13 Februari.
Saat ini rasanya kita diajak untuk menghargai kearifan kuno. Bahwa manusia adalah bagian integral dari alam, bukan penguasa alam. Kearifan kuno mengajarkan keserasian antara habit, habitus, dan habitat. Ketika manusia sebagai habitus mengambil sikap eksploitasi dan konfrontasi terhadap habitat alamnya, manusia pasti kalah. Bukti kekalahan manusia ketika konfrontasi terhadap alam semakin banyak. Kini saatnya kita merenung dan menyadari betapa rapuh sesungguhnya posisi kita di hadapan semesta.
Sudah lama kita mendengar kata kosmologi, yang artinya pengetahuan dan kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam. Disebut kosmos, bukan chaos, karena alam ini indah dan teratur. Begitulah Tuhan menciptakan. Hanyalah manusia yang memiliki potensi untuk merusak keteraturan alam, bukan makhluk lain. Namun, sehebat apa pun kekuatan manusia untuk melawan alam, tidak mungkin manusia akan bisa memenangkannya. Apa yang bisa diraih dan ditaklukkan manusia terlalu kecil di hadapan semesta yang tak terbatas (Komaruddin Hidayat, 2006).
Karena itu, meminjam istilah filsafat antroposentrisme-yang memandang kebaikan dan kebenaran bersumber dari manusia-- selayaknya akal budi manusia mampu membaca "kekuasaan" alam ini. Akal budi akan menuntun manusia menuju kesalehan, bukan hanya kesalahen individu, tapi juga kesalahen sosial. Sebaliknya, tanpa akal budi ini, manusia akan terperosok ke lubang kenistaan. Manusia akan terjatuh dari sebaik-baik makhluk (ahsani taqwim) menjadi seburuk-buruk penciptaan (syarrul ummah).
Selain itu, tampaknya kita perlu menyimak gagasan Aldo Leopold (1994) tentang etika bumi. Baginya, istilah bumi ini merujuk pada segala sesuatu yang hidup pada semua obyek natural dan proses yang membentuk ekosistem tertentu. Setiap individu adalah bagian dari suatu komunitas alami dan adalah absurd menganggap bahwa orang tak punya kewajiban komunitasnya sendiri.
Etika bumi memperluas pengertian komunitas hingga mencakup tanah, air, flora, dan fauna atau---secara kolektif-bumi. Berhubung etika itu bersendikan presumsi bahwa individu adalah anggota suatu komunitas dengan bagian lain yang interdependen (Daoed Joesoef, 2013).
Ide etika bumi di atas mengajak manusia menyadari bahwa ia terintegrasi satu sama lain. Jika manusia satu merusak, akan mengakibatkan kerugian bagi yang lain. Manusia selayaknya menyadari bahwa posisinya mempengaruhi keberadaan orang lain. Tuhan tentu mempunyai alasan mengapa hanya menciptakan bumi satu dan memperanakkan manusia hingga banyak. Tuhan tampaknya ingin menguji seberapa amanat manusia menjaga yang satu. Jika gagal, manusia seharusnya malu. *
Rabu, 05 Februari 2014
Suara dari Pasar Ir Soekarno
Oleh Benni Setiawan
Wacana Lokal, Suara Merdeka, Rabu, 05 Februari 2014.
Suara gaduh terdengar dari ‘’Kota Makmur’’, sebutan lain Sukoharjo. Kegaduhan itu berawal dari pelaksanaan pembangunan Pasar Ir Soekarno yang tidak kunjung rampung hingga kini. Dua tahun terkatung-katung tanpa kejelasan kapan pasar tersebut bisa ditempati. Pedagang pun akhirnya resah.
Mereka berdemonstrasi menuntut Bupati Wardoyo Wijaya segera menyelesaikan pembangunan pasar di jantung kota, yang telah menghabiskan dana Rp 24,8 miliar. Tuntutan tersebut tak berlebihan mengingat mereka selalu merugi karena dagangan sulit laku. Banyak dagangan busuk atau rusak mengingat pedagang menempati lapak di pasar sementara yang kurang representatif.
Fakta itu menambah potret buram program revitalisasi pasar tradisional di Jawa Tengah. Gagasan mulia menyejahterakan pedagang pasar tradisional kadang membawa petaka bagi pedagang, yang justru makin tersisihkan. Mereka kini jauh dari pembeli. Ironisnya, Pemkab belum dapat mewujudkan tanggung jawabnya terkait kemoloran penyelesaian pembangunan pasar itu.
Padahal Bupati merupakan inisiator pembangunan pasar tersebut. Ia pula yang menyematkan nama Ir Soekarno untuk pasar terbesar di jantung kota Sukoharjo tersebut. Penamaan dengan nama presiden pertama RI mengandung konsekuensi besar. Pemberian nama itu pasti bukan asal pilih. Terlebih Soekarno merupakan sosok penemu sekaligus pengobar paham Marhaenisme.
Namun sebelumnya, Bupati Wardoyo telah meminta jaminan atau garansi aman bila pemda melanjutkan pembangunan pasar tersebut (SM, 18/1/14). Marhaen, dalam biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams (1966) Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia adalah wong cilik yang hanya memiliki sedikit alat.
Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Pandangannya itu masih berlaku hingga saat ini. Kaum marhaen, yakni petani, buruh, dan pedagang kecil, masih saja kecil, miskin, dan tanpa ada pemihakan dari penguasa. Padahal rezim sudah berulang berganti.
Selayaknya, Wardoyo, sebagai bupati dari PDIP sekaligus ketua DPC partai mengembangkan dan mengimplementasikan gagasan Bung Karno. Andai Wardoyo melalaikan amanat tersebut bisa berdampak buruk. Artinya, warga bisa menilai partai itu yang senantiasa mengusung jargon membela wong cilik, sama seperti partai-partai lain, kini tidak peduli.
Menjadi Bumerang
Andai apatisme ini memuncak, masyarakat akan makin menjauh dari hajatan akbar Pemilu 2014. ”Penelantaran” pedagang pasar di Sukoharjo dapat berdampak buruk terhadap perolehan suara PDIP di kabupaten tersebut mengingat Wardoyo dipandang sebagai sosok di balik persoalan tersebut.
Ajakan Wardoyo supaya warga Sukoharjo memilih PDIP pada Pemilu Legislatif, 9 April mendatang sebagaimana terpampang pada baliho di kabupaten itu, dapat jadi bumerang jika masalah pasar tidak segera rampung. Sudah selayaknya dia tampil di tengah pedagang dan berjanji segera menyelesaikan keterkatung-katungan pembangunan tersebut.
Lebih baik lagi bila ia meminta maaf kepada pedagang dan masyarakat atas kelambanan penyelesaian pembangunan pasar tersebut. Permohonan maaf secara tulus disertai aksi nyata pemihakan terhadap pedagang dapat mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap ideologi Marhaen yang diusung oleh PDIP.
Tanpa hal itu, keterbengkalaian pembangunan pasar tersebut dapat menjadi senjata ampuh untuk melumpuhkan sendi-sendi suara di basis PDIP dapil Jateng V tersebut. Lawan-lawan politik bisa menjadikan isu tersebut sebagai kritik terbuka terhadap kepedulian pemerintah kabupaten pada umumnya, dan PDIP pada khususnya.
Pada akhirnya, pasar dengan sematan nama besar Ir Soekarno, bukanlah sekadar bangunan fisik. Keterwujudan pasar itu menunjukkan pemihakan terhadap wong cilik yang sering didengungkan oleh Soekarno sejak zaman revolusi, dan diikuti oleh petinggi PDIP pada saat ini, terutama menjelang pemilu. (10)
Wacana Lokal, Suara Merdeka, Rabu, 05 Februari 2014.
Suara gaduh terdengar dari ‘’Kota Makmur’’, sebutan lain Sukoharjo. Kegaduhan itu berawal dari pelaksanaan pembangunan Pasar Ir Soekarno yang tidak kunjung rampung hingga kini. Dua tahun terkatung-katung tanpa kejelasan kapan pasar tersebut bisa ditempati. Pedagang pun akhirnya resah.
Mereka berdemonstrasi menuntut Bupati Wardoyo Wijaya segera menyelesaikan pembangunan pasar di jantung kota, yang telah menghabiskan dana Rp 24,8 miliar. Tuntutan tersebut tak berlebihan mengingat mereka selalu merugi karena dagangan sulit laku. Banyak dagangan busuk atau rusak mengingat pedagang menempati lapak di pasar sementara yang kurang representatif.
Fakta itu menambah potret buram program revitalisasi pasar tradisional di Jawa Tengah. Gagasan mulia menyejahterakan pedagang pasar tradisional kadang membawa petaka bagi pedagang, yang justru makin tersisihkan. Mereka kini jauh dari pembeli. Ironisnya, Pemkab belum dapat mewujudkan tanggung jawabnya terkait kemoloran penyelesaian pembangunan pasar itu.
Padahal Bupati merupakan inisiator pembangunan pasar tersebut. Ia pula yang menyematkan nama Ir Soekarno untuk pasar terbesar di jantung kota Sukoharjo tersebut. Penamaan dengan nama presiden pertama RI mengandung konsekuensi besar. Pemberian nama itu pasti bukan asal pilih. Terlebih Soekarno merupakan sosok penemu sekaligus pengobar paham Marhaenisme.
Namun sebelumnya, Bupati Wardoyo telah meminta jaminan atau garansi aman bila pemda melanjutkan pembangunan pasar tersebut (SM, 18/1/14). Marhaen, dalam biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams (1966) Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia adalah wong cilik yang hanya memiliki sedikit alat.
Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Pandangannya itu masih berlaku hingga saat ini. Kaum marhaen, yakni petani, buruh, dan pedagang kecil, masih saja kecil, miskin, dan tanpa ada pemihakan dari penguasa. Padahal rezim sudah berulang berganti.
Selayaknya, Wardoyo, sebagai bupati dari PDIP sekaligus ketua DPC partai mengembangkan dan mengimplementasikan gagasan Bung Karno. Andai Wardoyo melalaikan amanat tersebut bisa berdampak buruk. Artinya, warga bisa menilai partai itu yang senantiasa mengusung jargon membela wong cilik, sama seperti partai-partai lain, kini tidak peduli.
Menjadi Bumerang
Andai apatisme ini memuncak, masyarakat akan makin menjauh dari hajatan akbar Pemilu 2014. ”Penelantaran” pedagang pasar di Sukoharjo dapat berdampak buruk terhadap perolehan suara PDIP di kabupaten tersebut mengingat Wardoyo dipandang sebagai sosok di balik persoalan tersebut.
Ajakan Wardoyo supaya warga Sukoharjo memilih PDIP pada Pemilu Legislatif, 9 April mendatang sebagaimana terpampang pada baliho di kabupaten itu, dapat jadi bumerang jika masalah pasar tidak segera rampung. Sudah selayaknya dia tampil di tengah pedagang dan berjanji segera menyelesaikan keterkatung-katungan pembangunan tersebut.
Lebih baik lagi bila ia meminta maaf kepada pedagang dan masyarakat atas kelambanan penyelesaian pembangunan pasar tersebut. Permohonan maaf secara tulus disertai aksi nyata pemihakan terhadap pedagang dapat mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap ideologi Marhaen yang diusung oleh PDIP.
Tanpa hal itu, keterbengkalaian pembangunan pasar tersebut dapat menjadi senjata ampuh untuk melumpuhkan sendi-sendi suara di basis PDIP dapil Jateng V tersebut. Lawan-lawan politik bisa menjadikan isu tersebut sebagai kritik terbuka terhadap kepedulian pemerintah kabupaten pada umumnya, dan PDIP pada khususnya.
Pada akhirnya, pasar dengan sematan nama besar Ir Soekarno, bukanlah sekadar bangunan fisik. Keterwujudan pasar itu menunjukkan pemihakan terhadap wong cilik yang sering didengungkan oleh Soekarno sejak zaman revolusi, dan diikuti oleh petinggi PDIP pada saat ini, terutama menjelang pemilu. (10)