Oleh Benni Setiawan
"Kolom", Koran Tempo, Sabtu, 15 Februari 2014
Bencana telah menjadi menu harian bangsa Indonesia. Tampak tak ada sejengkal tanah tersisa tanpa sentuhan banjir, tanah longsor, gempa bumi, puting beliung, dan letusan gunung berapi. Manusia yang mendiami tanah pun meratapi kepiluan, menangisi kepergian orang tersayang dan hilangnya harta benda. Alam tampaknya ingin memperlihatkan kekuatannya kepada manusia. Belum tuntas menyelesaikan bencana Gunung Sinabung, Karo, Sumatera Utara, kini ada 19 gunung kembali aktif dan berstatus waspada serta siaga. Dan Gunung Kelud pun meletus pada 13 Februari.
Saat ini rasanya kita diajak untuk menghargai kearifan kuno. Bahwa manusia adalah bagian integral dari alam, bukan penguasa alam. Kearifan kuno mengajarkan keserasian antara habit, habitus, dan habitat. Ketika manusia sebagai habitus mengambil sikap eksploitasi dan konfrontasi terhadap habitat alamnya, manusia pasti kalah. Bukti kekalahan manusia ketika konfrontasi terhadap alam semakin banyak. Kini saatnya kita merenung dan menyadari betapa rapuh sesungguhnya posisi kita di hadapan semesta.
Sudah lama kita mendengar kata kosmologi, yang artinya pengetahuan dan kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam. Disebut kosmos, bukan chaos, karena alam ini indah dan teratur. Begitulah Tuhan menciptakan. Hanyalah manusia yang memiliki potensi untuk merusak keteraturan alam, bukan makhluk lain. Namun, sehebat apa pun kekuatan manusia untuk melawan alam, tidak mungkin manusia akan bisa memenangkannya. Apa yang bisa diraih dan ditaklukkan manusia terlalu kecil di hadapan semesta yang tak terbatas (Komaruddin Hidayat, 2006).
Karena itu, meminjam istilah filsafat antroposentrisme-yang memandang kebaikan dan kebenaran bersumber dari manusia-- selayaknya akal budi manusia mampu membaca "kekuasaan" alam ini. Akal budi akan menuntun manusia menuju kesalehan, bukan hanya kesalahen individu, tapi juga kesalahen sosial. Sebaliknya, tanpa akal budi ini, manusia akan terperosok ke lubang kenistaan. Manusia akan terjatuh dari sebaik-baik makhluk (ahsani taqwim) menjadi seburuk-buruk penciptaan (syarrul ummah).
Selain itu, tampaknya kita perlu menyimak gagasan Aldo Leopold (1994) tentang etika bumi. Baginya, istilah bumi ini merujuk pada segala sesuatu yang hidup pada semua obyek natural dan proses yang membentuk ekosistem tertentu. Setiap individu adalah bagian dari suatu komunitas alami dan adalah absurd menganggap bahwa orang tak punya kewajiban komunitasnya sendiri.
Etika bumi memperluas pengertian komunitas hingga mencakup tanah, air, flora, dan fauna atau---secara kolektif-bumi. Berhubung etika itu bersendikan presumsi bahwa individu adalah anggota suatu komunitas dengan bagian lain yang interdependen (Daoed Joesoef, 2013).
Ide etika bumi di atas mengajak manusia menyadari bahwa ia terintegrasi satu sama lain. Jika manusia satu merusak, akan mengakibatkan kerugian bagi yang lain. Manusia selayaknya menyadari bahwa posisinya mempengaruhi keberadaan orang lain. Tuhan tentu mempunyai alasan mengapa hanya menciptakan bumi satu dan memperanakkan manusia hingga banyak. Tuhan tampaknya ingin menguji seberapa amanat manusia menjaga yang satu. Jika gagal, manusia seharusnya malu. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar