Reformasi Bidang Pendidikan
Oleh Amat Iskandar
TULISAN Benni Setiawan berjudul "Sarjana, Kembalilah ke Desa" (SM, 20 Oktober 2007, hlm 6)cukup ideal. Sejalan dengan itu, muncul pertanyaan "Untuk apa para sarjana kembali ke desanya?"
Kalau tujuannya hanya untuk membantu rakyat menjadi melek huruf, tentunya dapat dilakukan oleh siapa pun juga yang bersemangat untuk itu, kendati tidak berpredikat sarjana. Ada pun tujuannya ialah untuk menularkan pengetahuannya kepada rakyat di desanya dalam mengatasi masalah yang dihadapinya, maka perlu dipertimbangkan bahwa situasi, kondisi, maupun potensi tiap desa belum tentu sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki oleh sang sarjana.
Oleh karena itu saya berpendapat bahwa sebab utama banyaknya penganggman sarjana di perkotaan maupun yang bekerja tidak sesuai dengan disiplin ilmunya, bukanlah karena mereka enggan kembali ke desa/daerah asalnya. Juga bukan karena minimnya anggaran pendidikan yang di patok dalam UUD 1945, melainkan karena berbagai sebab!
Yang berkaitan dengan upaya memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa -seperti tertuang dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945- ialah karena kebijakan pembangunan maupun sistem dan kurikulum pendidikan nasional selama ini kurang berpijak kepada potensi yang kita miliki.
Tetapi di balik itu, mengapa kita masih harus mengimpor beras, gula, ikan, daging, kedelai maupun kebutuhan pokok hidup rakyat lainnya? Mengapa jumlah angka pengangguran kian meningkat? Tidak lain karena landasan, arah, dan tujuan pembangunan nasional selama ini tidak berpijak kepada situasi, kondisi, dan potensi yang kita miliki.
Kalau dari negara agraris dan maritim kita ingin tumbuh dan berkembang menjadi sebuah negara industri, maka mengapa harus hitech? Mengapa bukan pembangunan industri yang sangat kita butuhkan, dan sebagian besar bahan bakunya tersedia di Tanah Air?
Mengingat sebagian besar potensi maupun kekayaan alam kita tersebar di desa-desa, maka ketepatan dalam menetapkan landasan, arah, dan tujuan pembangunan tentu akan dapat memusatkan kegiatan pembangunan di seluruh pelosok tumpah darah Indonesia.
Di Bidang Pendidikan
Di pusat-pusat kegiatan pembangunan itulah -ibarat pepatah ada gula ada semut-, dapat dipastikan rakyat yang berkemampuan akan datang dengan sendirinya untuk bermukim dan mencari nafkah.
Oleh karena itu, maka dalam rangka reformasi total, bukan hanya urusan politik, hukum maupun sejenisnya yang harus direformasi, melainkan juga reformasi di bidang pendidikan nasional, baik mengenal sistem maupun penyederhanaan kurikulum pendidikan yang selaras dengan landasan, arah, dan tujuan pembangunan nasional kita tersebut.
Untuk keperluan tersebut, apa yang seyogyanya dilakukan? Barangkali, pendidikan dasar selama sembilan tahun perlu dipertegas dengan meniadakan SLTP. Sesuai dengan namanya, maka selain mata pelajaran mengenai kewarganegaraan menuju bangsa Indonesia yang pancasilais dan berwawasan nusantara, maka pada pendidikan tingkat dasar itu dapat dilakukan penjaringan dasar-dasar atau bakat yang dimiliki oleh setiap anak didik sebagai bekal untuk menjawab tantangan zamannya.
Di atas Sekolah Dasar (SD) adalah Sekolah Menengah (SM) lengkap dengan segala macam jurusannya. Mata pelajaran untuk SM ditetapkan sedemikian rupa, sehingga bagi mereka yang tidak meneruskan belajar di perguruan tinggi (PT), benar-benar bisa tampil menjadi manusia yang mandiri atau siap mengisi lapangan pekerjaan yang diciptakan oleh kegiatan pembangunan.
Bagaimana dengan PT? Agaknya perlu ada PT tingkat pertama yang hasilnya dapat menampilkan tenaga pembimbing, pengawas, bahkan instruktur. Kemudian pada PT tingkat atas -sesuai dengan jurusannya-, diharapkan akan menghasilkan para ahli, para pemikir, serta kader-kader pemimpin bangsa.
Adalah tidak mudah untuk mengubah serta memperbaiki sistem maupun kurikulum pendidikan tersebut. Kecuali berkaitan erat dengan jelasnya landasan, arah, dan tujuan pembangunan nasional kita, tentunya memerlukan persiapan yang matang dengan beaya yang tidak sedikit.
Oleh karena itu, maka reformasi di bidang pendidikan menuju manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat serta berkemampuan dan sanggup hidup mandiri sangatlah penting.
Dalam konteks itulah pentingnya tenaga pendidik, guru, maupun dosen. Di tangan merekalah bakat alami tunas bangsa terjaring. Di tangan mereka terbentuk bangsa Indonesia yang berwawasan nusantara. Di tangan mereka, terbentuk manusia Indonesia yang tidak hanya pandai menghafal sila-sila dalam Pancasila, tetapi juga memahami hakikat serta memelopori pengamalannya. Di tangan merekalah, para pembimbing, pengawas, instruktur, ahli, pemikir, pengusaha, dan pemimpin bangsa yang berkualitas dan bertanggung jawab dapat ditampilkan.
Oleh karena itu wajar, apabila dibandingkan dengan pegawai negeri sipil pada umumnya, tenaga pengajar, para pendidik, guru serta para dosen berhak memperoleh penghasilan lebih.(68)
Amat Iskandar, Sekretaris Umum DHD Badan Pembudayaan Kejuangan 45 Jateng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar