Wawasan, Senin, 26 Mei 2008
PEMERINTAH SBY-JK kembali akan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan kali ini berkisar 20-30 persen dari harga sekarang. Kenaikkan BBM adalah cerminan tidak berpihaknya penguasa (baca: pemerintah) kepada rakyatnya. Kenaikan harga BBM tentunya sangat merugikan-kalau tidak mau disebut menyengsarakan rakyat. Rakyat dipaksa hidup dengan kondisi yang pas-pasan, sedangkan pemerintah menikmati kenaikan gaji di tengah penderitaan rakyat.
Kondisi ini diperparah oleh sistem subsidi yang timpang dari pemerintah. Pemerintah dengan sengaja menidurkan rakyat dengan sekian rayuan dengan kedok subsidi untuk rakyat.
Kali ini pun pemerintah sudah menyiapkan dana sekitar Rp 3 triliun yang akan dibagikan melalui program bantuan langsung tunai (BLT). Padahal ini sistem ini tidak terbukti efektif dalam menolong masyarakat pascakenaikan harga BBM. Malah pada tahun 2005 lebih dari tiga orang tewas akibat antri mendapatkan BLT sebesar Rp 100.000. Rakyat dipaksa antri seperti pengemis yang pesakitan guna mendapatkan talangan dana dari pemerintah.
Pemerintah pun kelihatannya enjoy melihat keadaan ini. Mereka masih seringkali melontarkan gagasan-gagasan ’’cerdas” guna meredam gejolak masa. Seperti bahwa dengan kenaikan BBM Anggaran Pendapan Belanja Negara (APBN) akan terselamatkan.
Padahal menurut hitung-hitungan alasan pemerintah tersebut terlalu mengada-ada. Simaklah perbandingan antara APBN dan APBN-2008 berikut. Dalam APBN 2008, harga minyak mentah dipatok sebesar 60 dolar Amerika per barel. Dengan asumsi seperti itu, beban subsidi berjumlah Rp 45,8 triliun, sedangkan penerimaan minyak bumi (PMB) berjumlah Rp 84,3 triliun. Selanjutnya, dalam APBN-P 2008, harga minyak mentah dipatok sebesar 95 dolar Amerika per barel. Dengan asumsi baru ini, beban subsidi BBM meningkat menjadi Rp 126,8 triliun, sedangkan PMB meningkat menjadi Rp 149,1 triliun (Revrisond Baswir, KR, 12 Mei 2008).
Dengan demikian kenaikan harga minyak mentah dunia tidak akan berpengaruh terhadap anggaran negara. Hal ini dikarenakan, Indonesia adalah termasuk negara pengekspor minyak.
Maka dari itu, subsidi kenaikan harga BBM juga telah mengindikasikan pemerintah ingin menyelematkan reputasi di mata negara donor (kaum neolib). Kesepakatan dengan kaum neolib seringkali mengakibatkan hilangnya rasa welas asih pemerintah kepada rakyat.
Pemerintah dengan sengaja menggembar- gemborkan bahwa dengan kenaikan harga BBM rakyat akan sejahtera, melalui iklan-iklan layanan masyarakat. Iklan sengaja dikonstruk guna memperlemah argumentasi rakyat guna menolak dan menyerang pemerintah.
Kenaikan harga bahan bakar minyak sejak tanggal 1 Maret 2005 disusul kemudian pada tanggal 1 Oktober 2005 dan akan naik sebentar lagi merupakan musibah terbesar bagi bangsa Indonesia. Artinya, musibah ini tidak serta merta meluluhlantakan bangunan-bangunan menjulang tinggi bak tsunami ataupun gempa yang menewaskan beribu-ribu nyawa manusia dalam sekejab, melainkan ’’mematikan” rakyat pelan tapi pasti.
Kenaikan harga BBM yang kurang wajar ini tentunya membuat semua kalangan kalang-kabut. Hal ini dikarenakan, kenaikan harga BBM tentunya akan diikuti oleh naiknya semua harga kebutuhan hidup.
Rakyat Indonesia yang hidup dari hasil pertanian dan buruh pabrik tentunya akan sangat menderita dengan kenaikan ini. Pendapatan mereka tidak akan cukup untuk makan saja. Pendapatan mereka hanya cukup untuk naik angkot dari rumah hingga pabrik tempat kerja. Demikian pula dengan petani, pendapatan panennya hanya cukup untuk membuat pesemaian baru dan membayar harga pupuk. Upah pekerja yang menggarap sawah mereka masih harus ’’ditomboki” (harus berhutang lebih dahulu).
BLT sebesar Rp. 100.000,- perbulan hanya cukup untuk membeli lauk berupa tempe. Apalagi BLT dibayarkan dalam jangka waktu tiga bulan sekali. Rakyat harus berhutang terlebih dahulu kepada tetangga yang masih punya dana dan diganti tiga bulan kemudian. Pendek kata, rakyat sudah mati terlebih dahulu sebelum subsidi turun.
Gambaran sederhana tersebut di atas terjadi di tengah masyarakat. Subsidi yang konon diberikan pun tidak lebih sebagai penghibur dan mimpi di siang bolong. Artinya, tidak semua rakyat yang membutuhkan mendapatkannya. Sebagaimana terjadi di berbagai daerah akhir-akhir ini. Tidak ada zamannya kenaikan harga BBM menguntungkan rakyat.
Rakyat Indonesia masih lumpuh dalam berbagai hal. Mereka belum dapat bangkit menata kehidupannya yang porak-poranda pascakrisis moneter tahun 1998. Kenaikan harga BBM untuk ketiga kalinya dalam tiga tahun terakhir ini sungguh menambah beban. Apakah pemerintah tidak melihat betapa rakyat masih banyak menderita akibat busung lapar dan kelaparan yang diakibatkan kemiskinan?
Kemiskinan yang menggurita ini tentunya tidak cukup dibantu dengan Rp 100.000 dan menaikan harga kebutuhan hidup. Apa artinya Rp 100.000 dibandingkan dengan pengeluaran yang lebih besar perharinya.
Rakyat Indonesia masih banyak menjadi buruh yang digaji di bawah Rp 300.000. Bahkan beberapa bulan yang lalu, ketika penulis berkunjung ke Jakarta pada sebuah pabrik, pekerjanya hanya digaji Rp 150.000 per bulan, bagi pekerja yang sudah lama masa kerjanya dan Rp 100.000 untuk pekerja baru. Bagaimana mereka mencukupi kebutuhan hidupnya di kota Jakarta yang serba mahal dan membutuhkan uang. Ibaratnya, kencing di Jakarta itu bayar.
Pada akhirnya, pemberian BLT merupakan aksi tipu (kebohongan publik) pemerintah. Pemerintah dengan sengaja meninabobokan rakyat dengan bantuan uang Rp 100.000 per bulan. Padahal kenaikan BBM tidak perlu terjadi kalau pemerintah berani keluar dari kekangan kaum neolib. hf
Benni Setiawan Peneliti Lentera Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar