Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Selasa, 13 Mei 2008
Menggugat Sekolah Berlabel Unggulan
Artikel Moh. Muhibbin, Menyikapi Pesono Sekolah Unggulan, (Kompas, Jum'at 2 Mei 2008), menarik untuk dikaji lebih lanjut. Moh. Muhibbin dalam pandangan saya pada dasarnya menggugat eksistensi sekolah berlabel unggulan. Hal ini terlihat jelas dalam kalimat, Ini artinya prinsip penyelenggaraan pendidikan (proses belajar- mengajar) yang bernapaskan egalitarian tidak bisa diabaikan, kecuali pengelolanya dari awal sudah menerapkan sistem pembenaran keunggulan dalam disparitas dan diskriminasi yang bertumpu pada kapitalisme pendidikan. "Apa yang distigmakan dalam kosakata "unggulan" terbatas pada strategi pemenuhan kebutuhan pasar elite yang menuntut pemuasan dari ambisi status sosialnya".
Maka tulisan ini hanya ingin mempertegas apa yang telah dikemukakan oleh Moh Muhibbin.
Merebaknya sekolah yang mengklaim dirinya unggul merupakan fenomena dalam masyarakat. Sekolah unggul setidaknya telah mencerminkan adanya pendikotomian antara sekolah unggul dan tidak unggul. Pendikotomian ini tentunya sangat sulit jika diukur dengan parameter keberhasilan peserta didik dalam proses pendidikan.
Apakah sekolah yang tidak unggul hanya mampu meluluskan peserta didiknya dengan nilai rata-rata Ujian Akhir Nasional (UAN) 5,25. Sedangkan sekolah unggul telah berhasil meluluskan peserta didiknya dengan nilai UAN rata-rata 8,5? Atau sekolah unggul yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas mewah dan komplit sedangkan sekolah tidak unggul tidak mempunyai fasilitas penunjang kecuali buku-buku perpustakaan yang mulai menguning? Atau sekolah unggul yang berada di perkotaan sedangkan sekolah tidak unggul berada di pedesaan? Dan seterusnya.
Pada intinya sangat sulit untuk menentukan apakah sekolah tersebut tergolong unggul atau tidak. Jika dipaksakan yang dinamakan sekolah unggul adalah yang memperoleh jenjang Akreditasi Badan Akreditas Sekolah A, maka hal ini perlu dikaji lebih lanjut.
Sekolah yang telah mendapatkan tingkat akreditasinya A biasanya hanya diukur dari sejauh mana (baca: berapa nilai) kelulusan peserta didik tersebut. Ketika sekolah belum mampu memperoleh angka nilai sesuai dengan nilai akreditasi maka sekolah tersebut hanya mendapatkan status, diakui, disamakan, diakreditasi A,B dan seterusnya.
Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah dengan nilai yang tinggi tersebut ada jaminan bahwa peserta didik juga memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Ambil contoh, kecerdasan dalam bertingkah laku dan berhubungan dengan orang lain. Pada kenyataanya lembaga yang bernama sekolah telah banyak menghasilkan koruptor kelas kakap yang bertitel panjang. Dan mungkin salah satu dari mereka adalah "jebolan" sekolah unggul tersebut.
Reorientasi
Maka diperlukan orientasi baru atau pemaknaan baru tentang sekolah unggul. Sekolah unggul selayaknya tidak hanya dibekali dengan berbagai fasilitas yang mewah dengan biaya yang mahal. Akan tetapi, sekolah unggul mampu mendidik peserta didiknya menjadi manusia yang mandiri dan mampu bertanggung jawab.
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Driyarkara (1980) bahwa misi pendidikan yang utama adalah proses pengangkatan manusia muda ketaraf insani sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai manusia utuh dan membudayakan diri. Pendidikan sebagai proses hominisasi dan humanisasi, membantu manusia muda untuk berkembang menjadi manusia yang utuh, bermoral, bersosial, berwatak, berpribadi, berpengetahuan, dan berohani.
Pendidikan berarti memasukkan anak ke dalam alam nilai-nilai, juga memasukkan dunia nilai ke dalam jiwa anak. Pendidikan di sini sebagai suatu bentuk hidup bersama, pemasukan manusia muda kea lam niali-nilai dan kesatuan antar pribadi yang mempribadikan. Mendidik adalah pertolongan atau pengaruh yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak agar mereka menjadi dewasa.
Maka peran sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mampu melakukan upaya-upaya tersebut di atas. Ketika upaya tersebut telah tercapai, maka, sekolah dapat memproklamirkan dirinya menjadi sekolah unggul.
Sekolah unggul yang hanya mengedepankan aspek kognitif saja tentunya hanya akan mendapatkan pujian dan "kebanggaan dari masyarakat". Artinya, ia diidolakan dan cari oleh masyarakat untuk dapat mengembangkan dan meraih (mewujudkan) cita-cita anaknya, yang pada dasarnya hanya memacu dan berorientasi pada pengembangan aspek kognitif belaka.
Parahnya jika sekolah unggul hanya menjadikan persoalan tersendiri bagi masyarakat. Artinya, sekolah unggul menunjukkan keunggulannya dan merendahkan sekolah-sekolah lain. Sekolah unggul berani beriklan di sejumlah surat kabar dan media elektronik dengan memberikan jaminan kelulusan dengan nilai tinggi.
Persoalan lain yang muncul adalah terjadinya ketimpangan dan keminderan bagi sebagai peserta didik yang bergaul di lingkungannya. Anak-anak sekolah unggul yang harus dipacu belajar sehari penuh akan sulit bergaul dan bersosialisasi dengan anak yang lain. Ia cenderung terkungkung dalam aktivitas yang membelenggu. Ketika ia harus keluar rumah, ia akan menjadi anak yang "aneh" karena sulit bergaul dan memperlihatkan ke-aku-annya menjadi peserta didik sekolah unggul.
Lebih lanjut, keadaan seperti ini akan menjadikan anak antirealitas sosial. Dan ketika ia memegang jabatan publik yang penuh dengan materi (uang) ia tidak segan-segan untuk melakukan korupsi yang pada dasarnya sangat merugikan orang lain. Maka, seyogyanyalah sekolah unggul memposisikan dirinya sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tidak hanya mendorong peserta didik untuk mendapatkan nilai UAN yang tinggi melainkan mendidik peserta didik menjadi insan mandiri dan bertanggung jawab.
*)Benni Setiawan, Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia.
(Versi asli, karena saya belum dapat versi muatnya).
Kompas edisi Jatim, 12 Mei 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar