Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Rabu, 07 Mei 2008
Gizi Buruk dan Jerat Kemiskinan
Bagai ayam mati di lumbung padi. Kira-kira pepatah tersebut sedikit menggambarkan kondisi bangsa Indonesia. Negeri subur makmur, gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo, sarwo tukhul kang tinandur. Namun, kini negeri Zamrud Katulistiwa ini sedang dilanda krisis. Krisis multidimensional yang memorak-porandakan tatanan sosial masyarakat. Pejabat di negeri ini “doyan” korupsi dan antikritik. Rakyatnya dibiarkan mati kelaparan karena harga-harga melambung tinggi. Anak-anak kecil dibiarkan kurus kering karena gizi buruk.
Menurut data Departemen Kesehatan (Depkes) Republik Indonesia, pada tahun 2004 jumlah balita gizi kurang dan buruk adalah 5.119.935 dan jumlah balita gizi buruk adalah 1.528.676. Pada tahun 2005 turun menjadi 4,4 juta atau berkurang 13,7 persen. Tahun 2006 adalah 4,2 juta dan tahun 2007 menjadi 4,1 juta. Jika ditotal secara keseluruhan dalam empat tahun terjadi penurunan sebesar 20 persen.
Walaupun demikian, jumlah penurunan penderita balita gizi buruk tidak sebanding dengan besarnya anggaran yang meningkat setiap tahun. Masih menurut data yang sama, pada tahun 2004 total anggaran untuk gizi buruk adalah Rp. 170 miliar. Tahun 2005 meningkat menjadi Rp. 175 miliar. Tahun 2006 meningkat tiga kali lipat menjadi Rp. 582 miliar dan pada tahun 2007 meningkat lagi menjadi Rp. 700 miliar.
Kepala Subbidang Bina Kewaspadaan Gizi Departemen Kesehatan Tatang S. Falah kepada media menargetkan, pada 2009, angka gizi kurang dan gizi buruk berkurang hingga 20 persen. Hal ini berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2005, yang menyebutkan angka gizi buruk dan gizi kurang adalah 28 persen dari jumlah anak Indonesia.
Sepanjang 2006, menurut Direktur Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan Ina Hernawati, pemerintah baru menangani 19.567 kasus gizi buruk. Jumlah tersebut menurun jauh dibanding pada 2005, yang mencapai 76.178 kasus.
Namun, Survei Sosial Ekonomi Nasional 2005 yang dilakukan Badan Pusat Statistik menyebutkan estimasi kasus gizi buruk hingga 2006 mencapai sekitar 8,8 persen dari jumlah anak di Indonesia. Itu berarti ada sekitar 1,5 juta anak yang diperkirakan mengalami gizi buruk. (Tempo Interaktif, 3 Januari 2007)
Beberapa data di atas menunjukkan, fakta bahwa angka balita gizi buruk masih cukup tinggi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa fenomena gizi buruk masih saja menjadi momok bangsa besar seperti Indonesia?
Faktor yang menyebabkan masih tingginya tingkat gizi buruk di Indonesia adalah, kemiskinan. Menurut data Bank Dunia dengan kriteria penghasilan 2 dolar per hari, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 124 juta orang atau separo lebih (56,4 persen) dari jumlah penduduk Indonesia (220 juta).
Kemiskinan ini dipicu oleh jaminan kehidupan yang sangat rendah, mulai dari pendapatan rendah, pendidikan rendah, jumlah tanggungan banyak, atau karena musibah.
Kemiskinan menjadikan seseorang tidak mempunyai daya beli. Artinya, mereka akan kesulitan memberikan makanan sehat dan bergizi pada anak-anaknya. Mereka hanya mampu membeli bahan makan pokok saja, itu pun tidak setiap hari. Mereka seringkali harus “puasa” Daud (sehari puasa sehari tidak) guna mempertahankan kehidupan di tengah himpitan dan tekanan hidup.
Akibat kemiskinan, menurut UNICEF, 69 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar dan 55 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses terhadap sumber air yang aman. Menurut sumber tersebut, keadaan yang demikian ini menyebabkan setiap tahun 100.000 anak berusia dibawah 3 tahun di Indonesia meninggal karena penyakit diare. Ditambahkan juga bahwa setiap harinya ada sekitar 5.000 anak dibawah umur 5 tahun yang meninggal karena diare itu (Kompas, 28 Maret 2008).
Hal itu diperparah oleh tingkah laku elit pemerintahan yang tidak pernah berpihak. Para pejabat masih saja suka untuk melakukan tindak pidana korupsi. Mereka lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain. Mungkin dalam pikiran pejabat Indonesia, “biarkan orang lain mati dalam keadaan papa, namun saya tetaplah pejabat pemerintah yang bergelimangan harta”.
Lebih dari itu, pemerintah sepertinya tidak kuasa untuk menahan laju atau perkembangan harga-harga kebutuhan pokok. Pemerintah hanya mampu mengeluarkan kebijakan-kebijakan pragmatis yang miskin strategi tanpa makna. Seperti operasi harga dengan menggelar pasar murah, membebaskan biaya import dan memberikan subsidi kepada produses kecil.
Bahkan, pemerintah beralasan bahwa kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dikarenakan, melambungnya harga minyak mentah di pasaran dunia. Atau harga-harga di luar negeri sedang tinggi.
Perilaku pemerintah tersebut sudah saatnya dihentikan. Pemerintah sudah saatnya “cancut tali wondo” (bergerak cepat) dalam mengatasi kasus gizi buruk ini. Salah satunya dengan, mengefektifkan kembali penyuluhan masyarakat melalui pos pelayanan terpadu (Posyandu) yang tidak hanya diperuntukkan bagi warga asli, melainkan juga merangkul warga pendatang.
Membuka seluas-luasnya lapangan pekerjaan, akses sekolah gratis bermutu dan dibebaskannya masyarakat dari biaya berobat juga penting. Hal ini dikarenakan, tiga hal tersebut di atas adalah impian masyarakat. Dengan hal tersebut, masyarakat miskin akan mampu mendayagunakan potensi yang telah diberikan oleh Tuhan kepada mereka.
Pekerjaan dapat menjamin seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup dalam hal materi. Dengan pendidikan masyarakat mampu belajar dan menjadikan insan mandiri. Dan dengan dibebaskannya biaya berobat, masyarakat miskin dapat segera sehat tanpa harus mengeluarkan biaya.
Pada akhirnya, anak-anak Indonesia perlu dibebaskan dari derita gizi buruk akibat kemiskinan orang tuanya. Ketika anak Indonesia masih saja dalam belenggu gizi buruk akibat orang tua mereka miskin dan pemerintah hanya tinggal diam, maka saat ini kita sedang menyaksikan dan meninggalkan generasi muda penerus bangsa yang lemah. karena menderita gizi buruk. Allahu A’lam.
*)Benni Setiawan, Dosen di Universitas Muhammadiyah Jember.
Koran Tempo, 07 Mei 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar