Search

Jumat, 20 Juni 2008

Jika Bumi tanpa Hutan



Oleh Benni Setiawan
Jum'at, Surya, 20 June 2008
Hutan Indonesia menurut PP ini hanya dihargai Rp 1.200.000,- sampai Rp 3.000.000,- per hektare per tahun atau Rp 120,- sampai dengan Rp 300,- per meter persegi


Hutan Indonesia di ambang kepunahan. Hutan Indonesia diperebutkan dan diperjualbelikan oleh pejabat Indonesia. Belum lama ini al Amin Nur Nasution, seorang anggota DPR (PPP) ditangkap KPK karena kedapatan menerima suap dalam pembebasan hutan lindung seluas 73.000 hektar untuk perluasan kota di Bintan, yang setidaknya merugikan negara sebesar 13 triliun. Demikian pula. Sarjan Taher (Partai Demokrat) yang turut meikmati uang hasil korupsi dari alih fungsi lahan di Air Talang, Musi Banyuasi, Sumatera Selatan.

Perusakan hutan dengan dalih perluasan kota ini semakin menambah deret panjang laju kerusakan hutan Indonesia. Kasus ini juga semakin menambah deret panjang kerusakan hutan yang mencapai 2000 kasus yang belum mampu ditangani Departemen Kehutanan (Dephut).

Menurut Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB dalam Global Forum on Ecology and Poverty diselenggarakan di Dhaka pada 22-24 Juli 1993, menyatakan bahwa “dunia kita berada di tepi kehancuran lantaran ulah manusia. Di seluruh planet, sumber-sumber alam dijarah kelewat batas. Diperkirakan pada setiap detiknya sekitar 200 ton karbon

dioksida (CO2) dilepas ke atmosfer dan 750 topsoil musnah. Sementara itu, diperkirakan sekitar 7.000 hektare hutan dibabat, 16.000 hektare tanah digunduli, dan antara 100 hingga 300 spesies mati setiap hari.

Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), laju penghancuran (deforestasi) hutan di Indonesia tahun 2002-2005 merupakan yang terbesar dan terparah di dunia. Setiap tahun, menurut FAO, rata-rata 1,871 juta hektar hutan Indonesia hancur atau 2 persen dari luas hutan yang tersisa pada tahun 2005, yakni 88,495 juta hektare.

Dari tutupan hutan Indonesia seluas 130 juta hektar, menurut World Reseach Institute (sebuah lembaga think-tank di Amerika Serikat), 72 persen hutan asli Indonesia telah hilang. Berarti hutan Indonesia tinggal 28 persen. Data Departemen Kehutanan sendiri mengungkapan 30 juta hektar hutan di Indonesia telah rusak parah. Itu berarti 25 persen rusak parah.

Sedangkan menurut, data Bank Dunia, setidaknya setiap tahun 2,5 juta Indonesia amblas dan jika dibiarkan hingga 2010 hutan tropis Indonesia akan musnah. Dan kerugian akibat pembalakan liar ini sekitar 6.700 dolar AS per hari. Lebih lanjut, luas hutan Indonesia semakin menyusut dari tahun ke tahun. Pada tahun

1990 luas hutan Indonesia 116.567.000 ha, berkurang menjadi 97.852.000 ha pada tahun 2000 dan tinggal 88.496.000 ha pada tahun 2005.

Sementara itu emisi karbon dioksida paling besar disumbangkan oleh sektor kehutanan. Sebesar 75 persen dari konversi lahan dan deforestasi (kerusakan hutan), 23 persen dari penggunaan energi sektor kehutanan, dan dua persen dari proses industri sektor kehutanan.

Laju kerusakan hutan Indonesia semakin diperparah oleh keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008. Hutan Indonesia menurut PP ini hanya dihargai Rp 1.200.000,- sampai Rp 3.000.000,- per hektare per tahun atau Rp 120,- sampaidengan Rp 300,- per meter persegi. Ini adalah rekor penjualan hutan termurah di dunia dan sepanjang sejarah hidup umat manusia. PP ini juga menegaskan bahwa hutan sebagai penyangga alam diobral oleh pemerintah.

Melalui PP No 2/2008, pemerintah merestui pembalakan hutan secara legal dengan dalih peningkatan kontribusi pendapatan negara terhadap 13 perusahaan tambang yang sudah berada di kawasan hutan lindung. 13 perusahaan tersebut adalah; Freeport Indonesia, Karimun Granit Inco, Indominco Mandiri, Aneka Tambang A, Aneka Tambang B, Natarang Mining, Nusa Halmahera Minerals, Pelsart Tambang Kencana, Interex Secra Raya, Weda Bay Nickle, Gag Nikel, dan Sarikmas Mining.

Ironisnya, peraturan ini keluar setelah Indonesia dipercaya masyarakat dunia untuk menjadi tuan rumah konferensi tingkat tinggi tentang perubahan iklim (COP-13/UNFCCC) yang membahas mengenai penyelamatan hutan.

Maka tidak aneh jika bumi Indonesia sering dilanda bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), banjir dan tanah longsor mendominasi bencana tahun 2006-2007, khususnya di pulau Jawa. Bencana itu terjadi di lebih dari 2.850 desa pada 61 kabupaten/kota. Jumlah bencana itu meningkat jika dibandingkan dengan periode tahun 2000-2003, yakni pada 1.288 desa.

Data di atas menjadi penanda bahwa pemerintah sekarang lebih memanjakan pembalak liar dari pada rakyat kecil. Pembalak diberi kesempatan untuk menjarah kekayaan alam Indonesia dan menjadi kaya di tengah penderitaan rakyat. Rakyat kecil dibiarkan mati karena kelaparan, gizi buruk dan bencana alam (banjir, tanah longsor dan kekeringan).

Hancurnya hutan Indonesia pada dasarnya akan mengancam kehidupan penduduk bumi. Hal ini dikarenakan,hutan alam Indonesia termasuk salah satu penyangga atau paru-paru dunia. Terdapat banyak makhluk hidup yang mempertahankan keturunan serta sumber makanan dan minuman di dalamnya. Setidaknya, 40 hingga 50 juta orang menggantungkan hidupnya dari hutan, entah lewat cara berburu, memancing atau memanen kayu maupun produk lainnya.

Lebih dari itu, berjuta satwa langka dunia berada di dalam hutan Indonesia. Keadaan tersebut di atas jelas menunjukkan bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa adanya bumi. Bumi pun akan binasa dan musnah tanpa adanya penyangga ekosistem alam yaitu hutan.

Maka usaha untuk menyelamatkan bumi dari kemusnahan karena habisnya hutan perlu dilakukan bersama. Pertama, dengan menghentikan, menangkap dan menghukum seberat-beratnya pelaku pembalakan liar (illegal logging).

Aturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pemberian izin mengelola hutan pun perlu dipertegas dan diperketat. Jangan sampai ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan dalih telah mendapatkan legalitas dari pemerintah dan undang-undang dengan seenaknya membabat hutan.

Lebih dari itu aturan perundang-undangan yang tidak memihak kepada kelestarian hutan alam Indonesia sudah saatnya dicabut. Seperti PP No 2 Tahun 2008, yang ditanda tangani Presiden SBY beberapa waktu lalu. PP ini harus dicabut karena dengan telah sengaja membuka peluang bagi pengusaha untuk merambah (baca: merusak) hutan Indonesia.

Kedua, mengajarkan menanam satu pohon sejak dini. Menanam satu pohon merupakan salah satu bukti bahwa manusia masih membutuhkan bumi dan turut serta dalam menjaga ekosistem alam. Dengan demikian, gerakan ini akan dapat menyelamatkan masa depan anak cucu kita.

Ketiga, menegakkan aturan hukum tanpa pandang bulu. Artinya, penegak hukum sudah saatnya berani menindak siapa saja yang dengan sengaja menghancurkan aset nasional ini. Hatta, itu adalah anggota DPR dan Menteri. Wallahu a'lam.


Benni Setiawan
Peneliti Lentera Institute

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hmmmm, bumi tanpa hutan seperti kopi tanpa rokok...keren dan tajam mas..!

Posting Komentar