Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Senin, 15 Juni 2009
Fakultas Kedokteran untuk Siapa?
Oleh Benni Setiawan
Kampus Suara Merdeka, Sabtu, 13 Juni 2009
Ada hal menarik saat Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari melakukan kunjungan kerja ke Universitas Padjajaran, Bandung, pertengahan bulan Mei lalu. Dia menghimbau Rektor dan Dekan Fakultas Kedokteran Unpad untuk membatasi jumlah mahasiswa asing di Indonesia. Setiap tahun, Fakultas Kedokteran Unpad menerima sekitar 300 mahasiswa baru. Dari jumlah itu 2,5 persen adalah mahasiswa asing dan umumnya dari Malaysia (Kompas, 11 Mei 2009).
Tak hanya itu, Menkes juga meminta agar jumlah mahasiswa kedokteran asing di sejumlah perguruan tinggi dikurangi serta distop secara bertahap. Dia khawatir, penerimaan mahasiswa asing dapat mengurangi jatah mahasiswa Indonesia. “Masih banyak rakyat Indonesia yang ingin menjadi dokter”, tandasnya.
Menurut Siti Fadilah, keberadaan mahasiswa asing itu telah mengurangi kesempatan pemuda Indonesia yang ingin menuntut ilmu kedokteran di negeri sendiri.
Ini akan berakibat panjang. Dengan terbatasnya mahasiswa lokal, pasokan dokter juga sangat minim.
Saat ini rasio antara dokter dan jumlah penduduk jauh dari ideal. Tak hanya itu, para mahasiswa pendatang juga dituding menikmati fasilitas rumah sakit pendidikan, yang notabene dibiayai dengan uang rakyat. ”Ini sangat menyakitkan. Kita keluarkan dana dari APBD tapi dipakai calon dokter dari Malaysia,” katanya.
Apa yang disarankan Menkes ini bak oase di gurun pasir. Dia ingin menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa fakultas kedokteran di Indonesia justru banyak dinikmati oleh mahasiswa asing.
Padahal pembiayaan fakultas kedokteran juga ditopang melalui pajak alias hasil keringat masyarakat Indonesia. Tidaklah pantas bagi mahasiswa asing, menikmati hasil jerih payah bangsa Indonesia, dengan menumpang di fakultas kedokteran.
Menurut data 2004-2007, fakultas dengan biaya kuliah hingga Rp 100 juta lebih itu menerima 82 hingga 116 mahasiswa asing untuk tingkat sarjana. Sementara mahasiswa asing di program pasca sarjana berkisar 75-150 orang. (Tempo Interaktif, 13 Mei 2009).
Sepanjang 2007, misalnya, terdapat 2.539 mahasiswa kedokteran dari luar negeri yang menimba ilmu di beberapa perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Yang paling banyak tentu Malaysia.
Jumlah mahasiswa kedokteran asal Malaysia memang terus bertambah dari tahun ke tahun. Kalau pada tahun 2005 baru tercatat 988 orang, akhir tahun 2008 membengkak menjadi 3.127 orang.
Mereka tersebar antara lain di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (Makassar), Universitas Indonesia, Universitas Udayana (Denpasar), Universitas Sebelas Maret (Surakarta), Universitas Diponegoro (Semarang), dan Universitas Airlangga (Surabaya) (Gatra, No 45, 18 September 2008).
Menurut Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar, Dewa Putu Wijana, hampir 100 persen mahasiswa asing di fakultas yang dipimpinnya itu berasal dari Malaysia. Jumlahnya 175 orang (Tempo Interaktif, 03 Juli 2008).
Ironis memang! Malaysia yang seringkali melecehkan martabat Indonesia di mata Internasional selalu mengirimkan mahasiswanya untuk belajar di Bumi Nusantara.
Pemerintah dan kampus tidak memedulikan harkat dan martabat bangsa yang seringkali dikangkangi Malaysia. Mereka menganggap, persoalan diplomatik adalah urusan politik dan pertahanan dan keamanan; tidak ada sangkut-pautnya dengan dunia pendidikan. Sebuah pemikiran yang antirealitas.
Lebih dari itu, atas nama prestise dan mengejar kelas Internasional, Pemerintah Indonesia dan pihak universitas dengan senang hati dan lapang dada menerima mereka.
Selain mendapatkan keuntungan akreditasi Internasional, kampus yang dituju mahasiswa asing juga mendapat suntikan dana besar dari mahasiswa asing. Maka, tidak aneh kalau, fakultas yang terkenal mahal ini hanya diperuntukan bagi mereka yang “berkantong tebal”.
Prioritaskan Indonesia
Selain harus berkantong tebal mahasiswa pribumi juga mesti bersaing masalah finansial dan kuota dengan mahasiswa asing. Bagi mahasiswa asing membayar Rp. 100 juta mungkin bukanlah hal yang sulit, karena nilai mata uang mereka lebih tinggi daripada rupiah.
Mereka menganggap kuliah di Indonesia sangatlah murah. Selain murah fakultas kedokteran Indonesia terkenal berkualitas internasional. Para lulusan fakultas kedokteran Indonesia akan lebih mudah bekerja dan menduduki posisi penting di rumah sakit luar negeri.
Sudah saatnya fakultas kedokteran yang juga dibiayai rakyat dikembalikan kepada masyarakat Indonesia. Artinya, membatasi atau bahkan meniadakan mahasiswa asing di fakultas kedokteran menjadi agenda mendesak.
Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, harus berani membuat aturan tegas mengenai hal ini. Aturan yang selama ini mengakomodir 10 persen mahasiswa asing sudah saatnya ditinjau ulang.
Kuota mahasiswa asing sudah saatnya dikurangi hingga angka nol. Jika tidak, meminjam sindiran Menkes, ”Nanti Malaysia nggak usah bikin fakultas, mendidik dosen, tidak usah membangun sekolah. Lebih baik sekolahin di sini saja”
Dengan demikian, pemuda Indonesia dapat menikmati pendidikan kedokteran di rumahnya sendiri. Memprioritaskan pemuda Indonesia untuk menikmati pendidikan kedokteran di dalam negeri lebih mulia daripada memanjakan mahasiswa asing.
Artinya, anggaran pendidikan yang dibuat tinggi bukanlah untuk mahasiswa asing, namun untuk menyejahterakan kehidupan bangsa Indonesia.
Pada akhirnya, fakultas kedokteran dibangun bukan untuk mahasiswa asing yang seringkali melecehkan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Ia dibangun untuk mencukupi kebutuhan tenaga dokter terdidik dari kalangan pribumi.
Mengembalikan fakultas kedokteran kepada rakyat Indonesia, sebagaimana diancang oleh Siti Fadilah Supari, sudah saatnya kita dukung bersama. Apa yang diancang Menkes merupakan bentuk pengabdiannya kepada nusa dan bangsa Indonesia.
Lebih dari itu, ini adalah bentuk keberpihakan pemimpin negeri kepada rakyatnya.
*)Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia (2006) dan Agenda Pendidikan Nasional (2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar