Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Selasa, 13 April 2010
Selamatkan Anak Indonesia dari Rokok
Forum, Kompas edisi Jawa Tengah, Selasa, 13 April 2010
Fatwa haram rokok yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah seakan semakin menguatkan fatwa serupa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Januari 2009. Sebagaimana fatwa MUI, fatwa ini pun mengundang pro dan kontra.
Di tengah pro kontra tersebut, patut diketahui bahwa jumlah perokok di Indonesia ketiga terbesar di dunia. Konsumsi rokok tahun 2008 mencapai 240 miliar batang, sedangkan penduduk yang merokok mencapai 60 juta orang—sekitar 25 persen populasi Indonesia.
Ironisnya, anak-anak usia sekolah dasar (SD) sudah berani mencoba merokok walaupun masih sembunyi-sembunyi. Ketika menginjak usia sekolah menengah pertama (SMP), mereka sudah berani terang-terangan merokok di depan umum. Mereka lebih mementingkan sebatang rokok daripada membeli nasi untuk mengganjal perut yang sudah mulai keroncongan. “Tanpa rokok hidup hampa”, katanya. Menurut data Komnas Anak, setidaknya 91,8 persen perokok berusia di bawah 10 tahun.
Di Indonesia, menurut data Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA), setidaknya 427.948 orang meninggal setiap tahun akibat rokok. Lebih dari itu, menurut data survei pada tahun 2006, 57 persen atau separoh lebih rumah tangga di Indonesia memiliki perokok aktif. Sedangkan jumlah perokok pasif 97,5 juta jiwa atau hampir separoh jumlah penduduk Indonesia, di antaranya 65,8 juta adalah perempuan dan anak-anak.
Maka sudah saatnya generasi penerus bangsa ini dilindungi agar asap rokok tidak merusak masa depan mereka. Kemudian bagaimana agar anak-anak kita sehat tanpa rokok?
Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah pertama, menaikan harga rokok. Sampai saat ini harga rokok di Indonesia sangat murah,, yakni 38 persen atau terendah setelah Kamboja.
Menaikan harga rokok dapat dilakukan dengan menaikan pajaknya. Cukai tembakau di Indonesia yang sekarang berkisar 30-40 persen, sudah saatnya dinaikan menjadi 50-60 persen secara bertahab. Dengan dinaikannya cukai tembakau ini akan berimbas langsung pada harga jual rokok. Rokok akan menjadi barang mahal semahal emas. Dengan demikian, setiap orang akan berfikir seribu kali untuk membelanjakan uangnya hanya untuk membeli rokok.
Menaikan cukai tembakau juga merupakan sarana mendidik masyarakat bercikir cerdas yang cukup efektif. Dengan mahalnya harga rokok tentunya masyarakat akan berfikir dari pada menghabiskan uang untuk hal yang tidak berguna. Alangkah baiknya uang tersebut ditabung untuk menata hari depan. Atau daripada uang dibelikan rokok alangkah lebih baik untuk membeli buku bacaan yang mencerdaskan.
Kedua, menghentikan iklan promosi rokok. Iklan rokok yang hadir dalam media elektronik dan cetak sudah saatnya dihentikan demi masa depan generasi penerus bangsa.
Coba simaklah iklan rokok yang tidak masuk akal di layar televisi Anda. Bagaimana mungkin rokok dapat menjadikan seseorang “lebih hidup”, “pria pemberani”, “membuat bangga” dan seterusnya? Iklan yang tidak mendidik masyarakat ini sudah saatnya disikapi dengan bijak oleh lembaga sensor iklan atau lembaga yang berwenang lainnya. Dan menghentikan penayangannya adalah pilihan tepat dan bijak.
Membatasi iklan di televisi atau media elektronik lainnya perlu didukung dengan membatasi juga iklan rokok melalui baner, reklame, atau pun spanduk di pinggir-pinggir jalan. Iklan rokok yang sudah memenuhi badan jalan dan menganggu kenyamanan umum sudah saatnya ditertibkan. Selain sebagai bentuk kampanye untuk tidak merokok juga untuk menjaga kesejukan dan kenyamanan kota.
Membatasi atau melarang iklan rokok juga sesuai dengan rekomendasi Komnas Anak. Komnas Anak berpendapat bahwa iklan rokok telah mengajarkan hal yang tidak baik bagi anak-anak. Banyak anak-anak muda tersugesti akibat iklan rokok yang berlebihan. Menurut survei Komnas PA tahun 2007 sebanyak 99,7 persen anak melihat iklan rokok di televisi, dan 68 persen berkesan positif. Separoh anak lebih percaya diri seperti di iklan.
Ketiga, larangan merokok di tempat-tempat umum. Sebagaimana telah ada di DKI Jakarta, Kota Bandung, dan di beberapa wilayah lainnya yang akan menerapkan perda larangan merokok di tempat umum, seperti di Rembang, Jawa Tengah, Surabaya dan Gresik, Jawa Timur. Perda ini sudah saatnya didukung oleh seluruh elemen masyarakat. Hal ini karena, merokok adalah perbuatan sia-sia yang dapat merusak organ tubuh manusia. Lebih dari itu, merokok di tempat umum dapat menimbulkan polusi udara dan pada dasarnya menganggu “kemerdekaan” orang lain yang tidak merokok.
Rokok adalah pembunuh nyata yang patut kita waspadai. Artinya, mengajak dan mendidik masyarakat agar menghentikan pekerjaan sia-sia itu adalah kata kuncinya.
Sudah saatnya manusia Indonesia dapat bertahan hidup selama lebih dari satu abad (100 tahun). Hal ini sesuai dengan penelitian Robert Butler dalam Biogenetic Maximum Life Span sebagaimana dikutip Hendrawan Nadesul (2008). Robert Butler menyatakan bahwa secara biologis umur manusia dapat diulur hingga 120 tahun. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah dengan hidup sehat, yaitu tidak merokok.
Pada akhirnya, maka matikan rokok Anda sekarang, sebelum rokok mematikan Anda. Selamatkan anak Indonesia dari rokok.
Benni Setiawan, Peneliti, tinggal di Sukoharjo Jawa Tengah.
Jumat, 02 April 2010
Kuliah Kerja Nyata Tematis
Media Indonesia, Kolom Pendidikan, Senin, 29 Maret 2010 00:00 WIB
Slogan 'Bali ndeso mbangun ndeso' pernah dipopulerkan oleh pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo-Rustriningsih. Sebuah gagasan genuine dalam membangun Jawa Tengah ke depan. Bali ndeso berarti pulang ke desa dengan maksud mengabdikan diri sepenuhnya untuk kemaslahatan masyarakat desa. Mbangun ndeso berarti membangun tatanan masyarakat dengan penuh keikhlasan demi kemakmuran bangsa dan negara. Pendek kata, cita-cita ideal ini menghendaki terciptanya desa sejahtera yang berarti kemakmuran negara. Artikel ini akan mencoba mengkritisi program kerja Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal yang menggandeng dua universitas besar yaitu Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dalam penyelenggaraan kuliah kerja nyata (KKN) tematis pada tahun 2010.
KKN tematis bersama Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ini bertujuan untuk merangsang mahasiswa terdorong kembali ke daerahnya masing-masing setelah lulus. Sampai saat ini, masih ada sekitar 123 kabupaten (62%) di kawasan Indonesia timur, 58 kabupaten (29%) di Sumatra, 18 Kabupaten (9%) di Jawa, dan 18 kabupaten (9%) di Bali yang tergolong daerah tertinggal.
Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faisal Zaini menilai keterlibatan mahasiswa dalam pembangunan daerah tertinggal penting karena mahasiswa adalah agen perubahan yang diharapkan dapat menggerakkan masyarakat di daerah berbekal ilmu pengetahuan yang diperoleh di perguruan tinggi (Media Indonesia, 15 Januari 2010). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana menjadikan mahasiswa siap terjun ke daerah untuk membangun masyarakatnya?
Sejak dini
Kesiapan mahasiswa untuk terjun ke daerah harus dimulai sejak masuk di bangku kuliah (semester pertama). Mahasiswa harus mempunyai cakrawala atau pandangan yang luas bahwa kuliah bukan hanya sekadar mengisi waktu kosong, daripada menjadi penganggur, untuk mencari gelar, dihormati masyarakat, lulus jadi pegawai negeri sipil (PNS), dan seterusnya. Dalam setiap diri mahasiswa harus ditanamkan semangat kepemudaan yang siap melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa. Karena itu penting untuk ditawarkan skema leadership training program yang berorientasi membangun kembali desa asal mereka, terutama ketika masa orientasi mahasiswa di awal perkuliahan.
Jiwa kepemimpinan ini dapat dipupuk dengan menanamkan pada diri setiap mahasiswa bahwa ia adalah manusia terpilih (khoiro al ummah, the chosen people). Maka, tugasnya bukan hanya belajar dan membaca buku, membuat makalah serta dapat mengerjakan ujian semester dengan baik sehingga mendapatkan nilai A. Mahasiswa harus dapat mengisi waktunya untuk bergaul, bertukar informasi dan pengalaman, berorganisasi, dan memperluas jaringan. Dengan demikian mereka akan siap menghadapi kehidupan nyata yang kompleks.
Penting untuk sedini mungkin menghidupkan kesadaran mahasiswa tentang relevansi kehidupan kampus dengan kerasnya kehidupan di luar kampus. Karena kehidupan itu sendiri sering kali tidak sesuai antara teori yang senantiasa digeluti di bangku perguruan tinggi dan kenyataan yang akan mereka terima dan alami. Pertanyaannya adalah, apakah mungkin mahasiswa dapat memperluas jaringan dan mengasah keterampilannya dengan berorganisasi di tengah semakin rigidnya peraturan dan padatnya sistem kurikulum pada perguruan tinggi?
Buka ruang
Sebagaimana kita ketahui bersama, di seluruh perguruan tinggi kini diterapkan sistem presensi (mengikuti kuliah) minimal 75% secara ketat. Tanpa batas minimal ini, seorang mahasiswa tidak diperkenankan mengikuti ujian semester. Maka secara otomatis mereka harus mengulang di tahun depan. Ketatnya sistem perkuliahan ini sering kali membuat mahasiswa gamang menatap masa depan. Mahasiswa seakan diformat sedemikian rupa agar segera lulus pada semester delapan, memperoleh nilai memuaskan, bahkan cum laude (dengan pujian), bekerja sesuai dengan bidang yang digeluti (linier), dan seterusnya.
Dengan keadaan seperti ini, sulit bagi mahasiswa untuk berkembang mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki. Mahasiswa terkekang (baca: dikekang) oleh sistem pendidikan yang kaku, sehingga mereka tidak dapat berbuat banyak. Tidak banyak mahasiswa yang berpikiran progresif dan mau melawan arus. Mahasiswa lebih banyak berpikiran pragmatis dalam meniti karier. Maka tidak aneh, ketika lulus pun, mereka akan menjadi penganggur terbuka yang kini jumlahnya mencapai 1.183.140 sarjana.
Guna menunjang suksesnya program kerja Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ini, perguruan tinggi harus mau membuka ruang gerak mahasiswa untuk berkarya. Ruang terbuka dimaksud adalah, salah satunya, dengan mencoba memasukkan unsur keterampilan sosial (social skills) ke beberapa pokok bahasan mata kuliah secara berkesinambungan. Tanpa adanya ruang terbuka ini sulit bagi pemerintah umumnya dan mahasiswa pada khususnya untuk berkarya di daerah (apalagi daerah tertinggal).
Untuk menjaga konsistensi sekaligus membuktikan bahwa keterampilan sosial tersebut berguna secara nyata, program KKN tematis kembali ke desa juga harus dilaksanakan secara berkesinambungan. Artinya, waktu satu hingga dua bulan dalam KKN akan sangat bermanfaat jika sisipan program keterampilan sosial mendapatkan relevansinya dalam program KKN tematis terebut. Jika ini yang terjadi berarti setiap komponen di perguruan tinggi dapat bekerja sama dan saling mendukung dalam menyukseskan program kerja ini secara berkesinambungan. Kesinambungan merupakan kata kunci suksesnya rencana program ini.
Misalnya, angkatan pertama, yang menurut data kementerian mencapai 6.000 mahasiswa dari UGM Yogyakarta, melakukan pendataan kebutuhan dan meletakkan fondasi kegiatan. Mahasiswa angkatan kedua dan seterusnya berkewajiban melanjutkan program tersebut, hingga target-target yang telah ditetapkan tercapai. Dengan demikian KKN bukan hanya sebagai ajang pindah tidur, hura-hura, liburan, dan sarana mencari calon jodoh, tapi mempunyai arti bagi masyarakat.
KKN tematis kembali ke desa akan lebih bermanfaat jika menyentuh persoalan riil di masyarakat dalam rangka membangun kemandirian masyarakat. Prinsip kemandirian dapat dilakukan mahasiswa dengan mengajak masyarakat memetakan sendiri kebutuhan mereka berdasarkan potensi daerahnya masing-masing. Semacam community need assessment yang dilanjutkan dengan serangkaian focus group discussion (FGD) adalah di antara teknik-teknik KKN tematis yang harus dikembangkan mahasiswa di tengah masyarakat. Hal ini karena, selain masyarakat sudah sadar bahwa kemajuan daerah tidak akan pernah terwujud tanpa adanya peran serta masyarakat desa itu sendiri, juga akan membantu mereka untuk merumuskan beragam skema solusi alternatif yang selama ini tidak pernah ditemukan jalan keluarnya. Pemetaan potensi masyarakat dan sumber daya alam daerah menjadi kunci utama program ini. Tanpa hal tersebut, KKN tematis hanya akan semakin menambah beban negara.
Selain mengoptimalkan program KKN tematis ini, pemerintah perlu memberikan dukungan kepada putra daerah untuk berkiprah di daerahnya. Salah satunya dengan memberikan modal dan pelatihan sebagaimana pernah diprogramkan oleh calon Presiden M Jusuf Kalla pada Pemilu 2009 lalu. Pemberian modal melalui bank pemerintah yang sudah mulai dirintis sudah saatnya terus disosialisasikan dan menjadi agenda kerja bersama.
KKN tematis kembali ke desa pada dasarnya merupakan manifestasi dari apa yang telah dikatakan oleh Paulo Freire bahwa seseorang bukanlah intelektual jika hanya mau hidup di kota dan melupakan desanya. Semakin banyak intelektual hidup di kota, berarti sistem pendidikan di Tanah Air gagal menciptakan iklim atau tradisi pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan. Pendidikan seperti ini hanya akan semakin melanggengkan sistem feodal. Kaum intelektual hanya akan menjadi menara gading yang jauh bersentuhan dengan realitas sosial.
Pada akhirnya, program KKN tematis yang digawangi oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ini perlu didukung sebagai upaya mengembalikan intelektual ke desa. Kaum intelektual harus kembali ke desa membangun tatanan masyarakat yang berkepribadian dan berkemandirian. Tanpa sentuhan kaum intelektual di desa, akan semakin banyak pemuda desa menjadi penganggur, masyarakat desa terampas hak-haknya oleh penguasa daerah, dan bangsa ini akan kehilangan kesempatan untuk bersaing dengan bangsa lain. Semoga rencana Kementerian PDT ini merupakan ijtihad dalam mengurangi pengangguran dan menjadikan bangsa Indonesia semakin bermartabat.
Oleh Benni Setiawan Pengamat Pendidikan, tinggal di Sukoharjo
Slogan 'Bali ndeso mbangun ndeso' pernah dipopulerkan oleh pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo-Rustriningsih. Sebuah gagasan genuine dalam membangun Jawa Tengah ke depan. Bali ndeso berarti pulang ke desa dengan maksud mengabdikan diri sepenuhnya untuk kemaslahatan masyarakat desa. Mbangun ndeso berarti membangun tatanan masyarakat dengan penuh keikhlasan demi kemakmuran bangsa dan negara. Pendek kata, cita-cita ideal ini menghendaki terciptanya desa sejahtera yang berarti kemakmuran negara. Artikel ini akan mencoba mengkritisi program kerja Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal yang menggandeng dua universitas besar yaitu Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dalam penyelenggaraan kuliah kerja nyata (KKN) tematis pada tahun 2010.
KKN tematis bersama Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ini bertujuan untuk merangsang mahasiswa terdorong kembali ke daerahnya masing-masing setelah lulus. Sampai saat ini, masih ada sekitar 123 kabupaten (62%) di kawasan Indonesia timur, 58 kabupaten (29%) di Sumatra, 18 Kabupaten (9%) di Jawa, dan 18 kabupaten (9%) di Bali yang tergolong daerah tertinggal.
Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faisal Zaini menilai keterlibatan mahasiswa dalam pembangunan daerah tertinggal penting karena mahasiswa adalah agen perubahan yang diharapkan dapat menggerakkan masyarakat di daerah berbekal ilmu pengetahuan yang diperoleh di perguruan tinggi (Media Indonesia, 15 Januari 2010). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana menjadikan mahasiswa siap terjun ke daerah untuk membangun masyarakatnya?
Sejak dini
Kesiapan mahasiswa untuk terjun ke daerah harus dimulai sejak masuk di bangku kuliah (semester pertama). Mahasiswa harus mempunyai cakrawala atau pandangan yang luas bahwa kuliah bukan hanya sekadar mengisi waktu kosong, daripada menjadi penganggur, untuk mencari gelar, dihormati masyarakat, lulus jadi pegawai negeri sipil (PNS), dan seterusnya. Dalam setiap diri mahasiswa harus ditanamkan semangat kepemudaan yang siap melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa. Karena itu penting untuk ditawarkan skema leadership training program yang berorientasi membangun kembali desa asal mereka, terutama ketika masa orientasi mahasiswa di awal perkuliahan.
Jiwa kepemimpinan ini dapat dipupuk dengan menanamkan pada diri setiap mahasiswa bahwa ia adalah manusia terpilih (khoiro al ummah, the chosen people). Maka, tugasnya bukan hanya belajar dan membaca buku, membuat makalah serta dapat mengerjakan ujian semester dengan baik sehingga mendapatkan nilai A. Mahasiswa harus dapat mengisi waktunya untuk bergaul, bertukar informasi dan pengalaman, berorganisasi, dan memperluas jaringan. Dengan demikian mereka akan siap menghadapi kehidupan nyata yang kompleks.
Penting untuk sedini mungkin menghidupkan kesadaran mahasiswa tentang relevansi kehidupan kampus dengan kerasnya kehidupan di luar kampus. Karena kehidupan itu sendiri sering kali tidak sesuai antara teori yang senantiasa digeluti di bangku perguruan tinggi dan kenyataan yang akan mereka terima dan alami. Pertanyaannya adalah, apakah mungkin mahasiswa dapat memperluas jaringan dan mengasah keterampilannya dengan berorganisasi di tengah semakin rigidnya peraturan dan padatnya sistem kurikulum pada perguruan tinggi?
Buka ruang
Sebagaimana kita ketahui bersama, di seluruh perguruan tinggi kini diterapkan sistem presensi (mengikuti kuliah) minimal 75% secara ketat. Tanpa batas minimal ini, seorang mahasiswa tidak diperkenankan mengikuti ujian semester. Maka secara otomatis mereka harus mengulang di tahun depan. Ketatnya sistem perkuliahan ini sering kali membuat mahasiswa gamang menatap masa depan. Mahasiswa seakan diformat sedemikian rupa agar segera lulus pada semester delapan, memperoleh nilai memuaskan, bahkan cum laude (dengan pujian), bekerja sesuai dengan bidang yang digeluti (linier), dan seterusnya.
Dengan keadaan seperti ini, sulit bagi mahasiswa untuk berkembang mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki. Mahasiswa terkekang (baca: dikekang) oleh sistem pendidikan yang kaku, sehingga mereka tidak dapat berbuat banyak. Tidak banyak mahasiswa yang berpikiran progresif dan mau melawan arus. Mahasiswa lebih banyak berpikiran pragmatis dalam meniti karier. Maka tidak aneh, ketika lulus pun, mereka akan menjadi penganggur terbuka yang kini jumlahnya mencapai 1.183.140 sarjana.
Guna menunjang suksesnya program kerja Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ini, perguruan tinggi harus mau membuka ruang gerak mahasiswa untuk berkarya. Ruang terbuka dimaksud adalah, salah satunya, dengan mencoba memasukkan unsur keterampilan sosial (social skills) ke beberapa pokok bahasan mata kuliah secara berkesinambungan. Tanpa adanya ruang terbuka ini sulit bagi pemerintah umumnya dan mahasiswa pada khususnya untuk berkarya di daerah (apalagi daerah tertinggal).
Untuk menjaga konsistensi sekaligus membuktikan bahwa keterampilan sosial tersebut berguna secara nyata, program KKN tematis kembali ke desa juga harus dilaksanakan secara berkesinambungan. Artinya, waktu satu hingga dua bulan dalam KKN akan sangat bermanfaat jika sisipan program keterampilan sosial mendapatkan relevansinya dalam program KKN tematis terebut. Jika ini yang terjadi berarti setiap komponen di perguruan tinggi dapat bekerja sama dan saling mendukung dalam menyukseskan program kerja ini secara berkesinambungan. Kesinambungan merupakan kata kunci suksesnya rencana program ini.
Misalnya, angkatan pertama, yang menurut data kementerian mencapai 6.000 mahasiswa dari UGM Yogyakarta, melakukan pendataan kebutuhan dan meletakkan fondasi kegiatan. Mahasiswa angkatan kedua dan seterusnya berkewajiban melanjutkan program tersebut, hingga target-target yang telah ditetapkan tercapai. Dengan demikian KKN bukan hanya sebagai ajang pindah tidur, hura-hura, liburan, dan sarana mencari calon jodoh, tapi mempunyai arti bagi masyarakat.
KKN tematis kembali ke desa akan lebih bermanfaat jika menyentuh persoalan riil di masyarakat dalam rangka membangun kemandirian masyarakat. Prinsip kemandirian dapat dilakukan mahasiswa dengan mengajak masyarakat memetakan sendiri kebutuhan mereka berdasarkan potensi daerahnya masing-masing. Semacam community need assessment yang dilanjutkan dengan serangkaian focus group discussion (FGD) adalah di antara teknik-teknik KKN tematis yang harus dikembangkan mahasiswa di tengah masyarakat. Hal ini karena, selain masyarakat sudah sadar bahwa kemajuan daerah tidak akan pernah terwujud tanpa adanya peran serta masyarakat desa itu sendiri, juga akan membantu mereka untuk merumuskan beragam skema solusi alternatif yang selama ini tidak pernah ditemukan jalan keluarnya. Pemetaan potensi masyarakat dan sumber daya alam daerah menjadi kunci utama program ini. Tanpa hal tersebut, KKN tematis hanya akan semakin menambah beban negara.
Selain mengoptimalkan program KKN tematis ini, pemerintah perlu memberikan dukungan kepada putra daerah untuk berkiprah di daerahnya. Salah satunya dengan memberikan modal dan pelatihan sebagaimana pernah diprogramkan oleh calon Presiden M Jusuf Kalla pada Pemilu 2009 lalu. Pemberian modal melalui bank pemerintah yang sudah mulai dirintis sudah saatnya terus disosialisasikan dan menjadi agenda kerja bersama.
KKN tematis kembali ke desa pada dasarnya merupakan manifestasi dari apa yang telah dikatakan oleh Paulo Freire bahwa seseorang bukanlah intelektual jika hanya mau hidup di kota dan melupakan desanya. Semakin banyak intelektual hidup di kota, berarti sistem pendidikan di Tanah Air gagal menciptakan iklim atau tradisi pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan. Pendidikan seperti ini hanya akan semakin melanggengkan sistem feodal. Kaum intelektual hanya akan menjadi menara gading yang jauh bersentuhan dengan realitas sosial.
Pada akhirnya, program KKN tematis yang digawangi oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ini perlu didukung sebagai upaya mengembalikan intelektual ke desa. Kaum intelektual harus kembali ke desa membangun tatanan masyarakat yang berkepribadian dan berkemandirian. Tanpa sentuhan kaum intelektual di desa, akan semakin banyak pemuda desa menjadi penganggur, masyarakat desa terampas hak-haknya oleh penguasa daerah, dan bangsa ini akan kehilangan kesempatan untuk bersaing dengan bangsa lain. Semoga rencana Kementerian PDT ini merupakan ijtihad dalam mengurangi pengangguran dan menjadikan bangsa Indonesia semakin bermartabat.
Oleh Benni Setiawan Pengamat Pendidikan, tinggal di Sukoharjo