Lampu Kuning Kebebasan Pers?
- Oleh Benni Setiawan
DIKABULKANNYA gugatan mantan Presiden Soeharto terhadap Majalah Time menurut beberapa pakar adalah pertanda atau lampu kuning terhdap kebebasan pers. Artinya, Majalah Time sebagai media massa cetak terenggut hak-haknya untuk memberikan berita kepada masyarakat secara terbuka dan apa adanya.
Dengan demikian, kebebasan pers dalam menyuarakan dan menemukan data dan fakta mendapat ancaman serius dari hukum. Hal ini dikarenakan, media massa tidak boleh memberitakan hal-hal yang sensitif mengenai kekuasaan, harta dan bahkan kehidupan pribadi jika tidak ingin mengalami nasib yang sama seperti Time.
Majalah itu juga harus membayar denda kepada Soeharto sebesar satu triliun rupiah, selain harus membayar kerugian materiil dengan permintaan maaf secara terbuka di lima media cetak nasional, dan lima majalah terbesar di Indonesia dalam tiga kali penerbitan secara berturut-turut. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah dengan dikabulkannya kasasi Soeharto kebebasan pers akan terunggut?
Kebebasan pers menjadi menu harian ketika genderang reformasi ditabuh. Presiden Habibie sebagai salah satu pejabat negara yang berhasil membuka kran kebebasan berpendapat dan pers. Walaupun demikian hal itu tidak dapat dipisahkan dari tuntutan kebebasan pers di era reformasi.
Kebebasan pers selama ini banyak dimaknai sebagai upaya pers untuk dapat menyajikan data dan fakta dari sebuah peristiwa kepada masyarakat. Penyajiannya cenderung buka-bukaan sesuai dengan misi dan ideologi pers. Tidak dapat dipungkiri, pers selama ini menyajikan berita berupa rekam peristiwa, data, fakta dan analisis tidak dapat dipisahkan dari ideologi dan misi pers.
Ideologi Pers
Saya berpandangan bahwa setiap pemberitaan yang ada di dalam dunia pers tidak akan pernah lepas dari ideologi dan misi pers. Ideologi inilah yang akan menentukan cara atau corak berita yang disajikan. Apakah dengan lembut, kasar dengan penuh makian, atau biasa-biasa saja asalkan tidak menyingung perasaan dan martabat orang lain.
Dalam pers juga ada hak jawab. Sebagaimana jika ada kesalahan atau ketidakakuratan sebuah data. Seseorang diperkenankan untuk membuat "berita tandingan" dengan melakukan klarifikasi terhadap sebuah berita. Adanya keseimbangan ini sering menimbulkan persoalan baru.
Sebagaimana kasus Pak Harto dan Majalah Time. Menurut Time, Pak harto memiliki kekayaan 15 miliar dollar AS (sekitar Rp150 triliun, kurs Rp 9.400,- per dolar AS). Sulitkah membuktikan kekayaan Pak Harto? Time dinilai tidak "objektif dan kurang akurat, tidak sesuai dengan asas kepatutan" oleh Mahkamah Agung (MA). Oleh karena itu, penyiaran berita itu dinilai mencemarkan nama baik Pak Harto. Atas dari itu, MA memenangkan kasasi Pak Harto.
Pers Bertanggung Jawab
Kasus ini pada dasarnya tidak akan banyak mengancam eksistensi kebebasan pers. Pers sampai kapan pun tetap bebas merdeka dalam menyuarakan hasil temuannya. Akan tetapi, pers juga harus bertanggung jawab terhadap apa yang ia beritakan. Apakah itu menyangkut hajat hidup orang banyak atau menyangkut pribadi dan martabat seseorang.
Kebebasan pers memang telah menjadi ikon dunia penerbitan atau pemberitaan. Akan tetapi, dengan adanya kebebasan pers, pers juga patut mawas diri. Artinya, selain berbicara panjang lebar, pers juga patut menghormati pribadi dan privasi seseorang. Pendek kata, adanya perimbangan antara kebebasan pers dan pers yang bertanggung jawab.
Pers yang bertanggung jawab adalah pers yang memberitakan sebuah peristiwa dengan data dan fakta menyangkut hajat hidup orang banyak dengan tanpa menciderai kebebasan pers dan menyingung hak-hak pribadi seseorang.
Pers yang bertanggung jawab adalah pers yang menyajikan berita sebagai sebuah kebutuhan masyarakat dengan cara memberikan pendidikan dalam segala hal dan benar menjadi pionir demokrasi yang mencerahkan dan mencerdaskan.
Pers yang bertanggung jawab tidak mesti menyajikan berita yang spektakuler agar mendapat perhatian penuh masyarakat. Artinya, kalau toh memberitakan hal tersebut, haruslah ada pesan moral dan tetap menghargai norma-norma yang berlaku di tengah masyarakat.
Sudah saatnya pers Indonesia menjadi sehat dengan kebebasan pers dan pers yang bertanggung jawab. (11)
--- Benni Setiawan, dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah JemberSuara Merdeka, Sabtu, 22 September 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar