Search

Minggu, 21 Oktober 2007

Membangun Pendidikan tanpa Kekerasan

Jawa Pos, Metropolis, Selasa, 04 Sept 2007,

Pada 21 Agustus 2007 lalu, hampir seluruh media massa cetak menyoroti mengenai dugaan penganiayaan dan tindak kekerasan dalam dunia pendidikan. Adalah Franky Edward Damar (16) peserta didik di SMK Pelayaran Wira Maritim asal Sambiarum Surabaya meninggal dunia saat mengikuti masa orientasi siswa (MOS). Sempat muncul dugaan Edward meninggal akibat hukuman dari senior saat MOS. Peristiwa ini semakin menambah deret panjang kematian peserta didik dalam dunia pendidikan.

Kekerasan yang dilakukan di dalam dunia pendidikan nampaknya akan selalu berulang. Hal ini dikarenakan seluruh komponen pendidikan (peserta didik, karyawan, guru, kepala sekolah) belum banyak menyadari hakikat pendidikan sebagai sebuah proses. Proses dalam menggali potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia sejak lahir, proses untuk bergaul dengan lingkungan yang berbeda, dan proses untuk tumbuh kembang dengan teman sebaya.

Proses mulia di atas seringkali dimaknai secara sempit oleh komponen pendidikan. Pendidikan hanya dimaknai di dalam lingkungan sekolah, pelajaran, ulangan harian, ujian kenaikan kelas dan kelulusan. Di dalamnya seringkali ada bentuk penghargaan dan hukuman. Siapa benar dan melakukan kebaikan akan mendapat hadiah atau penghargaan. Sebaliknya siapa yang salah dan melakukan tindakan yang dilarang akan mendapat hukuman.


Tidak manusiawi

Menurut Clanzic, hukuman dan ganjaran dalam dunia pendidikan pada dasarnya mematikan inisiatif belajar, mempengaruhi jiwa anak, dan karenanya hukuman dan ganjaran adalah tindakan yang tidak berperikemanusiaan dan menimbulkan permusuhan. (Nurul Huda, SA: 2002).

Hal ini dikarenakan komponen pendidikan seringkali memaknai hukuman sebagai hal yang negatif dan memaknai penghargaan sebagai hal yang positif. Sangat jarang ditemukan di dalam dunia pendidikan ada hukuman yang benar-benar mendidik dan membuat peserta didik sadar akan kesalahan dan tidak akan mengulangi perbuatannya.

Kebanyakan hukuman yang diberikan baik oleh senior saat MOS atau guru saat kegiatan belajar mengajar hanya menimbulkan kedengkian dan rasa dendam dalam diri peserta didik. Peserta didik tidak menjadi paham kesahannya dan akan terus melakukan kesalahan itu sebagai bentuk pembangkangan terhadap guru. Dan pada akhirnya akan menimbulkan suasana belajar yang kurang kondusif dan menjemukan.

Keadaan ini tentunya tidak akan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, mempunyai kepribadian mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan, sebagaimana tujuan pendidikan diselenggarakan.

Guna mewujudkan tujuan pendidikan di atas dan menekan angka kematian peserta didik di dalam dunia pendidikan kiranya komponen pendidikan perlu menelaah apa yang telah diajarkan Dorothy Law Nolte ini:

Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, maka ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, maka ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, maka ia belajar berlaku adil.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia akan menemukan cinta dalam kehidupan.
Begitulah anak selalu belajar dalam kehidupannya.

Petuah bijak tersebut di atas adalah bentuk pendidikan tanpa kekerasan. Komponen pendidikan harus menyadari bahwa anak adalah makhluk unik. Ia akan selalu belajar dari lingkungannya. Jika lingkungannya mengajarkan kebaikan, maka ia akan belajar kebaikan dan sebaliknya, jika lingkungannya mengajarkan kekacauan dan keburukan, maka ia akan menjadi insan yang sulit diatur.
Maka, hukuman yang selama ini selalu diartikan negatif sudah saatnya diganti dengan hal-hal yang positif.

Contohnya, ketika penulis mengenyam banngku SMA sekian tahun lalu, seringkali hukuman yang diberikan selalu menyenangkan dan membuat jera. Hukuman yang diberikan oleh guru atau guru bimbingan konseling (BK) biasanya hal-hal yang mendidik. Seperti, jika terlambat masuk sekolah, peserta didik dipersilahkan memilih hukuman membaca al-Qur’an dua juz atau membaca buku diperpustakaan dan menuliskannya kembali dalam bentuk resume atau makalah. Kegiatan ini lebih menyenangkan dari pada harus "ditempeleng" atau dipukul, membersihkan WC dan kamar mandi, atau membersihkan seluruh area sekolah. Dengan hukuman yang mendidik inilah banyak peserta didik yang "kapok" jera dan mencoba tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari.

Bentuk pendidikan ala militeristik dengan penuh makian, hinaan, celaan dan hukuman fisik sudah saatnya diminimalisir. Bentuk hukuman semacam itu hanya akan membuat peserta didik dendam dan tidak jera melakukan kesalahan. Dan pada akhirnya akan menularkan dan menjadi tradisi buruk yang akan mengancam jiwa orang lain dikemudian hari. (manifesto_06@yahoo.com)
*) Benni Setiawan, Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Sepakat saya bahwa sekolah harus bebeas dari segala bentuk kekerasan. kekerasan apapun alasannya tidak akan membuat baik. kekerasana adalah jalan pintas untuk mencari solusi mengatasi persoalan. kekerasan salah satunya tumbuhmenjadi budaya yang pertama adalah sekoalh banyak tuntutan seremonial yang tidak konteks dengan kebutuhan. kedua sekolah masih mewarisi budaya lama. ketiga pengalaman dan pengetahuan guru yang amat terbatas seperti katak dalam tempurung. guru tidakmenyadari bahwa zamannya dia tidak sejalan dengan zamannya anak-anak didiknya.

Posting Komentar