Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Senin, 04 Mei 2009
Kiai dan Media Massa
Harian Joglosemar, Senin, 4 Mei 2009
Kiai merupakan tokoh masyarakat. Bahkan Azra, menyamakan guru dengan Kiai. Guru dan Kiai sebenarnya figur yang sama, mesti dalam wilayah kultural yang berbeda. Guru mengajar di lingkungan pendidikan modern (negara), sedangkan Kiai berada di lingkungan pendidikan tradisional pada masyarakat santri.
Namun demikian, keduanya sama-sama mereproduksi dari narasi-narasi agung, yaitu negara dan agama. Dalam proses reproduksi tersebut, mereka mengajarkan kebajikan dalam kehidupan. Tindakan dan perbuatannya begitu santun, setiap orang akan menaruh rasa hormat. Karena setiap kali guru datang, murid-muridnya menyambut dengan mencium tangan, merebut membawakan tas dan sepedanya (Zainuddin Maliki: 2004).
Lebih dari itu, Kiai adalah corong bagi kehidupan umat. Namun, di tengah tanggung jawab yang berat tersebut, Kiai dan pesantren belum mampu mengakses media massa (koran) sebagai portal informasi aktual. Padahal koran merupakan ”buku harian” yang wajib dibaca oleh siapa pun. Koran menyediakan topik dan pembahasan yang hangat dari penjuru negeri maupun dunia. Dengan koran, komunitas pesantren sebagai basis pendidikan dan Kiai sebagai pemimpin masyarakat akan berlangsung budaya baca yang kritis dan mencerahkan. Membaca koran akan sangat membantu kiprah seorang Kiai sebagai pemimpin masyarakat.
Sebagaimana diketahui, Kiai merupakan tokoh yang tidak pernah lepas dari budaya baca. Kiai selalu membaca kitab suci dan kitab kuning setiap saat. Bahkan, saking seringnya membaca kitab tersebut, banyak Kiai yang hafal di luar kepala. Maka tak aneh jika seorang Kiai jauh dari penyakit pikun. Walaupun Kiai sudah sepuh, ia tetap memiliki ingatan dan hafalan yang kuat mengenai ilmu-ilmu agama. Pendek kata, Kiai dan budaya baca bukanlah hal baru di pesantren, terutama dalam membaca kitab suci dan kitab kuning.
Akan tetapi, sebagaimana disinggung di muka, masih sedikit —untuk menyatakan tidak ada— Kiai yang gemar membaca kitab putih, dalam hal ini koran. Koran bagi sebagian Kiai belum seakrab dengan kitab kuning yang telah ditulis puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Koran belum menjadi konsumsi harian di kalangan pesantren dan Kiai.
Kitab kuning yang ditulis dengan huruf Arab lebih diakrabi Kiai dan pesantren jika dibandingkan dengan kitab putih yang ditulis dengan bahasa latin. Membaca kitab kuning menurut pandangan kelompok pesantren, akan mendapat pahala dari Allah SWT, karena dianggap sebagai ibadah. Ini tentunya berbeda dengan membaca kitab putih (koran). Koran dianggap sebagai ”produk baru” yang belum mempunyai nilai pahala (ibadah).
Padahal koran selalu menyediakan informasi akurat dan up to date. Ulasan dan headline (berita utama) koran selalu berubah dan berkembang setiap hari. Jika tidak membaca satu hari saja, maka kita akan kehilangan beberapa informasi penting. Hal ini tentunya berbeda dengan kitab kuning, yang tidak begitu berkembang cepat. Kitab kuning akan tetap sama dari tahun ke tahun. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana seorang Kiai dan pesantren dapat mengakrabi koran?
Koran sepertinya masih menjadi barang ”mahal” bagi sebagian orang. Walaupun di Jawa Tengah sendiri, setidaknya ada lebih dari 20 koran yang terbit setiap hari. Belum lagi ditambah koran terbitan Jakarta dan beberapa kota di Jawa Barat dan Jawa Timur. Koran sulit diakses karena harganya mahal walau ada beberapa koran yang dijual dengan harga terjangkau.
Akses
Persoalan tersebut sudah saatnya dipikirkan bagaimana mengatasinya. Salah satunya, bisa dimulai dari kesediaan perusahaan media cetak untuk menginfak-kan koran kepada masyarakat umum dan pesantren. Misalnya dengan memasangnya di tempat-tempat umum, memberikan cuma-cuma atau dengan harga khusus untuk lembaga pendidikan.
Cara ini akan membantu warga kurang mampu untuk menikmati informasi yang juga menjadi haknya. Ini juga akan makin mengakrabkan koran dengan masyarakat. Artinya, masyarakat dapat belajar membaca dan diskusi berdasar informasi dari koran.
Demikian pula di pesantren. Pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang pendidikan nasional. Bahkan model pesantren ini diklaim sebagai cara pendidikan tertua di Indonesia. Jika pesantren dan Kiai, yang notabene juga membutuhkan informasi dari membaca ternyata jauh dari koran, maka sistem pendidikan tertua ini akan makin terbelakang. Bahkan lulusan pesantren akan dianggap kuper karena jarang membaca koran.
Lebih dari itu, mengubah konsepsi bahwa membaca koran juga mendapat pahala sebagaimana membaca kitab kuning kiranya juga penting. Hal ini karena, ayat pertama yang turun dalam Al-Qur’an adalah iqra’ (bacalah). Membaca kitab kuning dan kitab putih sama-sama mendapat pahala dari Allah.
Dengan demikian, khasanah intelektual pesantren tidak hanya dipenuhi dan diwarnai oleh tradisi masa lampau yang diwakili kitab kuning, namun juga diisi oleh tradisi masa kini yang diwakili oleh kitab putih (koran). Penguasaan dua kitab ini akan makin mengokohkan peran Kiai dan pesantren dalam tradisi keilmuan dan intelektual bangsa Indonesia. Alumnus pesantren, tidak lagi jago membaca huruf dari kanan ke kiri, namun juga fasih melafalkan huruf dari kiri ke kanan.
Lebih lanjut, dengan banyak membaca koran, meminjam istilah Gramsci dalam praktik hegemoni, sosok individu seperti Kiai, yang dianggap memiliki pengetahuan mendalam dalam hal ilmu-ilmu keagamaan, dapat membentuk pemaknaan tertentu mengenai kategori moral dan imoral dan sejenisnya di dalam masyarakat, terutama menyangkut wilayah keagamaan.
Kepandaian dalam ilmu pengetahuan dan agama yang dimiliki para Kiai melalui praktik pengajaran, pendidikan dan dakwah keagamaan dapat membentuk struktur kognitif dan afektif individu dan kelompok-kelompok sosial dengan orientasi dan visi keberagaman yang dikonstruk oleh sang Kiai (Abdur Rojaki: 2004).
Pada akhirnya, jika Kiai dan civitas akademika pesantren mampu memadukan antara kitab kuning dan kitab putih, maka revolusi besar peradaban akan lahir dari rahim pesantren, sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia.
Penulis adalah
Peneliti Lentera Institut
tinggal di Sukoharjo
Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar