Search

Minggu, 17 Mei 2009

Guru, Riwayatmu Kini

Kompas edisi Jatim, Rabu, 13 Mei 2009

Nestapa bagi Pak Guru Sumarno. Guru SMPN 1 Kawedanan, Magetan ini, divonis dua bulan dengan masa percobaan empat bulan kurungan pada 21 April lalu. Sumarno dinyatakan bersalah karena ”menganiaya” peserta didiknya. Keputusan pengadilan tersebut sontak membuat Paguyuban Solidaritas Guru, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Penjaskes, dan LSM pendidikan Solidaritas Generasi Muda (SGM), Magetan meradang. Mereka menuntut Sumarno dibebaskan dan dipulihkan nama baiknya.
Kasus yang menimpa Sumarno, sungguh di luar kewajaran. Artinya, seorang guru dinyatakan bersalah karena mendidik peserta didiknya. Jika seluruh guru yang mendidik dengan agak keras dijatuhi hukuman, maka tamatlah riwayat pendidikan. Pertanyaan yang muncul kemudian bagaimana melindungi martabat guru?

Tidak ada gunanya
Sistem pendidikan di Indonesia yang menempatkan guru dalam posisi “mulia” ternyata tidak diimbangi oleh kesejahteraannya. Guru dibiarkan “hidup mandiri” tanpa bantuan dari pemerintah. Pemerintah sepertinya ingin membiarkan--kalau tidak mau disebut menelantarkan guru. Guru dininabobokan dengan rayuan dan panggilan-panggilan yang menyenangkan seperti digugu lan ditiru, pahlawan tanpa tanda jasa, dan seterusnya.
Sistem pendidikan yang menempatkan guru dalam posisi mulia tersebut tidak ada gunanya. Hal ini karena, guru dibiarkan miskin oleh sistem yang tidak pernah memihak. Janji kenaikan gaji dan tunjangan guru melalui program sertifikasi tidak pernah dipenuhi. Hingga kini insentif tersebut masih dalam rancangan anggaran pemerintah. Konon, insenstif ini akan turun menjelang pemilihan presiden (pilpres). Jika benar terjadi, maka bisa katakan insentif syarat muatan politis.
Ironisnya, jika seorang oknum guru melakukan kesalahan, seperti memukul, masyarakat dan pemerintah buru-buru “menghukum” mereka. Bahkan, kalau perlu sebelum diproses di pengadilan, seorang guru dihakimi oleh massa, sebagaimana terjadi di Tapanuli, Sumetera Utara sekian bulan lalu.
Melalui pemberitaan media massa yang gencar, sepertinya guru diposisikan dalam pesakitan. Guru dianggap Dewa atau bahkan Tuhan yang tidak dapat (boleh) melakukan kesalahan. Jika melakukan kesalahan, maka ia berhak dihukum dengan sistem perundang-undangan yang berlaku.
Padahal kita tidak pernah tahu, mengapa seorang oknum guru melakukan tindak kekerasan terhadap peserta didiknya. Guru adalah manusia biasa yang tidak luput dari salah. Ia dapat berbuat apa saja karena tekanan hidup. Seperti, tetap menjaga dapur isteri tetap mengepul, anak-anak mereka juga butuh biaya hidup, dan lain sebagainya. Namun, di sisi lain, gaji guru tidak pernah naik. Jika naik pun, harga kebutuhan pokok sudah melambung terlebih dahulu. Tekanan mental dan psikis guru ini perlu dipelajari lebih lanjut.

UU Perlindungan Profesi Guru
Kemudian bagaimana melindungi martabat guru? Pemerintah harus segera merealisasi UU Perlindungan Profesi Guru. Dengan UU ini seorang guru akan terlindungi martabatnya. UU ini akan menjamin ”keberlangsungan hidup” seorang guru. UU ini akan mengatur bagaimana hubungan guru dengan peserta didik, guru dengan masyarakat dan guru dengan pemerintah.
UU Perlindungi Profesi Guru juga akan dapat menjamin kesejahteraan guru. Dengan UU ini pemerintah tidak bisa dengan serta merta mencampakkan guru sebagaimana buruh kasar. Guru akan terjamin haknya sebagai tenaga pendidik dan pemerintah berkewajiban untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
UU ini juga menjadi bukti pemihakan pemerintah kepada guru. Guru tidak lagi menjadi ”bancakan” politik menjelang pemilu. Guru mempunyai kedaulatan hukum dan kemandirian. Sebagaimana ada dalam UU Pers yang menjamin wartawan sebagai pewarta independen dan jauh dari intervensi pihak manapun juga.
Namun, tampaknya hingga saat ini pemerintah masih sibuk dengan urusan politik. Nasib guru dikesempingkan sebagaimana bidang-bidang lain. Guna menjembatani kebuntuan ini, pemerintah daerah, dalam hal ini DPRD (C.q. Gubernur, dan atau Bupati/Wali Kota) berkewajiban membuat peraturan untuk perlindungan profesi guru.
Peraturan ini akan mampu memecah kebuntuan sistem pendidikan yang diakibatkan oleh semakin banyaknya guru yang diajukan ke ”meja hijau”. Jika tidak segera dibuat peraturan tersebut, guru akan takut mengajar karena dibayang-bayangi ancaman hukuman. Lebih dari itu, akan semakin banyak peserta didik yang tidak dididik sebagaimana mestinya karena banyak guru mogok mengajar.
Semoga vonis bersalah bagi Pak Guru Sumarno, tidak terjadi lagi di masa yang akan datang, dengan adanya UU Perlindungan Profesi Guru. Sudah saatnya guru diletakkan pada maqam (kedudukan) yang mulia. Tidak hanya dalam angan-angan namun juga, dalam kehidupan nyata.

*)Benni Setiawan, Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia (2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar