Search

Jumat, 01 Mei 2009

Titik temu agama dan politik



Solo Pos, Jum'at, 01 Mei 2009 , Hal.4

Agama selama ini hanya dimaknai oleh masyarakat umum sebagai ibadah an sich antara manusia dan Tuhan. Perwujudannya pun sangat sederhana, yaitu ibadah di tempat ibadah. Keluar dari tempat ibadah adalah urusan dunia, bukan urusan agama. Begitu kira-kira yang selama ini ada di dalam benak masyarakat secara umum.

Padahal, agama adalah aturan universal untuk umat manusia. Agama tidak hanya terbatas pada ibadah vertikal melainkan juga horizontal. Contohnya, salat adalah perwujudan cinta kasih manusia dengan Tuhan. Salat tidak hanya soal gerakan, melainkan mempunyai dimensi sosial. Hal ini pernah dinyatakan oleh Muhammad Iqbal dalam buku The Reconstructions of Religions Thought in Islam. Salat yang dicapai secara sempurna adalah berjamaah dan semua semangat salat sejatinya adalah sosial.
Hal senada juga pernah disinggung oleh Kuntowijoyo dalam Identitas Politik Umat Islam untuk memahami persoalan zakat. Zakat yang nilai ibadahnya diberikan kepada orang lain seagama yang tidak mampu itu masih bersifat subyektif. Maka, makna zakat harus diobjektifkan agar dapat diterima siapa saja. Makna zakat juga berdimensi sosial. Zakat dapat digunakan untuk menekan angka kemiskinan yang tidak memandang agama.
Dengan demikian, agama mempunyai pesan universal. Ia juga bersentuhan secara langsung maupun tidak langsung dengan realitas umat manusia. Salah satunya dalam bidang politik.
Ibnu Khaldun, tokoh politik yang namanya banyak disandingkan dengan filosof besar Yunani menyatakan bahwa politik berkaitan dengan kekuasaan dalam suatu wilayah negara. Titik puncak dari pengertian kekuasaan itu adalah kebenaran.
Pengertian tersebut di atas mengisyaratkan kepada kita adanya sinergi antara agama dan politik. Agama selalu mengajarkan kebaikan dan kebenaran. Dan politik adalah cara mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan dalam politik adalah memperjuangkan kebenaran.
Maka, apa yang terjadi selama ini sudah melenceng jauh dari realitas agama dan politik. Agama berjalan sendiri, politik juga demikian. Seharusnya agama dan politik dapat bersinergi membangun peradaban secara lebih baik. Agama dan politik adalah kekuatan yang bisa disatukan.
Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah bagaimana menyinergikan agama dan politik? Agama dan politik sudah saatnya berjalan seiringan dan saling mengisi. Agama sebagai sistem kepercayaan memacu pemeluknya untuk melakukan interpretasi dan pemahaman akan realitas sosial. Sedangkan politik sebagai cara memperoleh legitimasi kewenangan (kekuasaan) negara dengan cara menegakkan kebenaran.
Pengertian atau cara kerja di atas bukan berarti menggunakan legitimasi agama untuk memperoleh kekuasaan. Akan tetapi, bagaimana apa yang dikerjakan oleh agama dan politik bermuara pada satu tujuan yaitu kebenaran. Kebenaran inilah yang tentunya ditunggu oleh masyarakat guna memecahkan persoalan sosial yang semakin pelik.
Ambil contoh, soal kemiskinan. Tafsir keagamaan yang selama ini menyatakan bahwa kemiskinan adalah takdir Tuhan, orang-orang miskin dicintai Allah dan Rasul dan seterunya perlu diluruskan. Kemiskinan bukan takdir Tuhan, kemiskinan adalah hasil dari buah kerja kita. Bahkan dalam Islam diajarkan bahwa, “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya.” Ajaran inilah yang harus disuarakan terus menerus. Bukan malah tafsir atau ayat-ayat yang semakin mengecilkan semangat hidup manusia yang diwartakan.

Seiring
Demikian pula dengan politik. Persoalan kemiskinan adalah realitas nyata yang harus segera diselesaikan atau ditanggulangi. Kemiskinan akan dapat mengancam stabilitas negara. Kemiskinan juga dekat dengan kebodohan. Kekuasaan politik harus berpihak kepada kaum miskin. Yaitu dengan memberikan subsidi dan banyak membuka lapangan kerja baru.
Menghentikan korupsi dan menghukum koruptor menjadi agenda penting dalam menyelamatkan aset negara dari tangan “pendekar” berwatak jahat. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui tekanan politik yang tentunya didukung oleh seluruh elemen bangsa.
Agama dan politik sudah saatnya menjadi potensi bangsa Indonesia. Artinya, agama dan politik berjalan seiring guna menyelesaikan persolan sosial. Hal ini karena misi profetik agama dan politik adalah sama, yaitu mewujudkan kebenaran.
Semoga pemimpin bangsa yang telah terpilih dalam hajat akbar Pemilu 9 April lalu dan 8 Juli mendatang memahami esensi agama dan politik ini. Sebagai kaum beriman, anggota legislatif tentunya mempunyai kewajiban untuk menunaikan amanat dan janji politik mereka. Agama dan politik yang sedang mereka jalani mengamanatkan tujuan yang mulia, yaitu kebenaran.
Jika kesadaran religius ini disinergikan dengan realitas politik, bangsa ini akan segera keluar dari jerat krisis multidimensional. Hal ini karena pemimpin bangsa yang duduk di kursi DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, menyadari amanat ketuhanan dan kemanusiaan untuk selalu berbuat benar.
Kebenaran juga akan membentengi diri mereka dari nafsu duniawi yang menyesatkan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menjadi musuh bangsa ini akan hilang dengan sendiri jika mereka paham akan realitas diri (sebagai bentuk interpretasi agama) dan politik (sebagai bentuk interpretasi kekuasaan). Wallahualam. - Oleh : Benni Setiawan, Mahasiswa Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar