Search

Senin, 18 Mei 2009

Nasionalisme ala Sukarno



Surabaya Post, Jumat, 15 Mei 2009 | 13:52 WIB

Iki dadaku, endi dadamu
Rawe-rawe rantas, malang-malang putung



Oleh Benni Setiawan
Analisis Sosial, Peneliti Lembaga Ma’rifat Indonesia.


Kata-kata tersebut di atas adalah teriakan lantang Presiden RI pertama Sukarno atau yang sering disapa dengan Bung Karno. Teriakan penuh keberanian ini mengiringi barisan siap tempur dalam misi “Ganyang Malaysia” pada tahun 1963. Semboyan “Ganyang Malaysia” dipicu oleh pernyataan Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman Putra (8 Februari 1903-6 Desember 1990) yang mendeklarasikan Kerajaan Federasi Malaysia. Hal ini sontak menimbulkan “amarah” bangsa Indonesia. Presiden Sukarno atas nama bangsa Indonesia, menyerukan kepada seleruh rakyat untuk berperang melawan Kerajaan Federasi Malaysia. Hal ini disebabkan, Kerajaan Federasi dianggap sebagai “antek” atau wujud neo-kolonialisme Inggris dan Amerika Serikat.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia berlanjut ketika Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada tahun 1965. Dan Indonesia kala itu menyatakan keluar dari keanggotaan PBB. Sejak saat itulah, Indonesia memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Malaysia.

Hampir 34 tahun peristiwa tersebut berlalu. Apa yang terjadi dengan bangsa Indonesia sekarang? Alih-alih melakukan konfrontasi, pemerintah Indonesia terlihat santai seperti tidak ada masalah genting yang mengancam eksistensi atau kedaulatan negara. Malah perwakilan Indonesia menghadiri Hari Kemerdekaan Malaysia ke 50 tahun yang jatuh pada tanggal 31 Agustus 2008.

Padahal, Donald Peter Luther Kolopita duta olah raga (resmi) bangsa Indonesia sudah dianiaya oleh empat oknum polisi diraja Malaysia tanpa sebab yang jelas. Perlakukan tersebut menyulut emosi anak bangsa. Demonstrasi marak di pelbagai daerah. Akan tetapi, maraknya demonstrasi ini merupakan puncak gunung es (kemarahan) perlakuan pemerintah Malaysia terhadap bangsa Indonesia.

Sebelumnya, banyak tenaga kerja Indonesia (TKI) harus dipulangkan dengan paksa dan peti mati. Kasus terakhir, mengenai TKI yang meninggal di Malaysia adalah Kurniasih. Bahkan Migrant Care juga menemukan data bahwa TKI bernama Sumarmi ditemukan tewas di Malaysia pada tanggal 25 Agustus 2007 lalu.

Sebelumnya, pada tahun 2004, pemerintah Malaysia telah memulangkan dengan paksa sekitar 700.000 TKI bermasalah. Lebih lanjut, banyak diantara mereka disiksa dan tidak dibayar hak-haknya sebagai tenaga kerja. Data yang dikeluarkan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) menyatakan tidak kurang dari 100 TKI di Malaysia setiap tahun disiksa oleh majikan dan tidak dibayarkan hak-haknya.

Perlakuan tidak manusiawi itu hanya ditanggapi sebagai resiko kerja. Tidak ada langkah berani pemerintah Indonesia untuk melaporkannya kepada Mahkamah Internasional sebagai tindakan melanggar hak asasi manusia (HAM). Pemerintah Indonesia sepertinya cukup menikmati hasil jerih payah mereka berupa devisi negara.

Devisa yang masuk dari sekitar 2,7 juta tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri pada akhir tahun 2006 diperkirakan mencapai 3,4 miliar dolar AS atau setara Rp. 30,6 trilyun. Jumlah ini masih kalah jauh dibandingkan dengan sumbangan 8 juta buruh migran Filipina bagi negaranya yang berkisar 14 miliar dolar AS-21 miliar dolar AS pertahun (Kompas, 9/06/2007).

Akan tetapi, apa balasan dari pemerintah Indonesia? Pemerintah tidak peduli dan acuh terhadap mereka. Perkara Nirmala Bonat, TKI yang mengajukan tuntutan hukum kepada majikannya empat tahun lalu pun hingga kini belum menampakan hasil. Dalam wawancara dengan sebuah stasiun televsisi, Nirmala Bonat mengaku sudah letih menghadapi persidangan yang selalu ditunda-tunda. Ia sekarang ingin pulang ke-Indonesia dan hidup wajar bersama keluarganya di nusa tenggara timur (NTT).

Tidak ada sedikit pun pembelaan hukum dari pemerintah Indonesia mengenai permasalahan ini. Pendek kata, persoalan TKI yang dapat merusak citra bangsa bukanlah masalah besar. Masalah yang penting bagi pemerintah Indonesia adalah bagaimana meningkatnya pemasukan devisa negara dari hasil jerih payah TKI di luar negeri.



Citra bangsa

Citra atau pamor bangsa ini telah hilang. Bangsa berdaulat dengan berbagai macam potensi alam hanya dianggap sebagai “sampah” dalam percaturan dunia. Bangsa Indonesia adalah “bangsa babu” yang patut untuk disiksa dan dikebiri hak-haknya.

Guna mengangkat citra atau pamor bangsa Indonesia di luar negeri, sudah saatnya pemimpin bangsa Indonesia sekarang belajar kepada foundhing fathers dan guru bangsa, seperti Sukarno. Berani mengambil sikap dan tegas dalam menentukan arah kebijakan negara.

Bung Karno berani mengambil langkah tegas karena ia merasa bangsa Indonesia kaya. Ia tidak takut pada tekanan Inggris dan Amerika Serikat. Bangsa Indonesia adalah bangsa berdaulat penuh. Maka tidak ada satu pun kekuatan yang mampu (baca: bleh) mendikte kebijakan sebuah negara berdaulat.

Ketika pemimpin bangsa Indonesia saat ini masih saja takut kepada kekuatan neo-kolonialisme Inggris dan Amerika Serikat, maka bangsa ini akan tetap menjadi bulan-bulanan dan dianggap remeh oleh bangsa lain.

Pada akhirnya, semangat nasionalisme ala Sukarno sudah saatnya dibangkitkan kembali. Pemimpin bangsa ini harus berani menyatakan tidak kepada korporasi internasional, meninjau kontrak karya dengan negara asing, sehingga aset bangsa dapat digunakan sepenuhnya oleh anak negeri, tanpa harus “ngemis” ke negeri Jiran, Malaysia. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar