Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Senin, 04 Mei 2009
Demokrasi dan IHSG
KONTAN, Senin, 4 Mei 2009
Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute.
Pasar ragu apakah SBY akan mampu mencari pengganti Jusuf Kalla
Pecah kongsi SBY-JK telah mengubah iklim politik di Indonesia. Iklim bisnis pun terkena imbas “ketidakdewasaan” pemimpin bangsa ini. Menurut data tanggal 24 April 2009, indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup merosot 19,48 point (1,21%) ke level 1.595,75 diikuti indeks lainnya seperti LQ 45 yang turun 1,18%, Jakarta Islamic indeks (JII) menorot 0,75% dan indeks Bisnis-27 terkoreksi 1,3%.
Koreksi tersebut membuat IHSG kehilangan momentum kenaikan indeks yang melanda bursa Asia. Indeks Morgan Stenley Capital (MSCI) untuk Asia Pasifik naik 1,3% menjadi 89,32, akibat penguatan indeks Nikkei (1,4%), Han Seng (2,3%) dan Austaha 2%.
Pasar menanti putusan
Padahal IHSG pascapemilu legislatif 9 April lalu, sempat menguat selama enam hari berturut-turut. Pada perdagangan tanggal 13 April misalnya, IHSG Bursa Efek Indonesia (BEI) melonjak 5,1%. Lonjakan ke level 1.540,4 dari 1.465, 75 itu merupakan posisi tertinggi 6 bulan terakhir sejak 15 Oktober 2008. Penguatan itu sekaligus menempatkan IHSG BEI menjadi salah satu indeks bursa regional yang paling besar menorehkan kenaikan dan memiliki kinerja terbaik.
Kini, keadaan berbalik. IHSG terjun bebas. Investor meradang. Iklim bisnis dan investasi menjadi pertaruhan politik. Pasar yang pada awalnya yakin akan stabilitas politik yang dibangun SBY-JK, kini mulai menyangsikan. Pasar masih menantikan keputusan SBY untuk memilih wapres yang pro-pasar.
Sebagaimana kita ketahui, JK, sebagai saudagar memiliki kepiawaian di dalam mengolah sumber daya ekonomi bangsa. JK juga dikenal sebagai wapres yang pro-pasar. Inilah yang menjadikan investor yakin akan konstelasi politik nasional.
Kini, dua kekuatan besar ini sudah bubar. komunikasi politik yang buntu konon menjadi penyebab utamanya. Pecahnya kongsi dua kekuatan besar ini, seakan menjadi penanda ketidakstabilan politik. Pasar ragu apakah SBY akan mampu mencari pengganti JK; apakah JK mampu membangun koalisi yang kuat agar iklim investasi dapat jalan terus.
Lebih dari itu, pasar masih terus merespon gejolak politik yang terus memenas. Seperti masih kacaunya daftar pemilih tetap (DPT), protes dari berbagai parpol mengenai hasil pemilu, dan kinerja kabinet yang mulai terbagi.
Beberapa kelemahan demokrasi tersebut sudah saatnya dipikirkan secara bijak. Jangan sampai iklim demokrasi ini semakin memperburuk sistem perekonomian bangsa.
Rintisan demokrasi
Demikian pula bagi para pialang dan investor. Gejolak politik merupakan warna dalam sistem demokrasi Indonesia. Gejolak politik seperti ini juga pernah dialami oleh India dan China.
Amartya Sen pernah membandingkan India dan China dalam urusan korelasi antara pembangunan dan demokrasi. Menurut dia, China yang pada akhir 1958-1961 membunuh ribuan warganya membukukan pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih gemilang dari India.
Menurut Amartya Sen dalam tulisannya “Democracy as a Universal Value” (Journal of Democracy:1999), memberikan nasihat visioner bagi bangsanya. India, katanya, tidak perlu terlalu peduli dengan angka-angka perekonomian. Yakinlah, demikian Sen, pada jalan demokrasi yang sudah dirintis.
Gagasan cemerlang Sen ini patut direspon oleh pemimpin bangsa ini. Mereka perlu menjamin bahwa demokrasi yang sudah dirintis tidak akan dibunuh. Artinya, iklim demokrasi sudah selayaknya disuburkan dengan perilaku elit politik yang santun.
Cara-cara meraih kekuasaan harus didasarkan pada semangat kebersamaan dan gotong royong sebagaimana ada falsafah bangsa ini. Politik menghalalkan segala cara ala Machiavelli sudah saatnya ditinggalkan. Politik semacam itu hanya akan mematikan demokrasi yang telah kita rintis bersama.
Demokrasi merupakan bagian terpenting dalam membangun sistem perekonomian bangsa. Jika para pengambil keputusan keliru dalam menerapkan demokrasi, pasar akan meresponnya secara negatif. Respon negatif pasar ini merupakan mimpi buruk bagi bangsa Indonesia.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan dan krisis keuangan global akan semakin menjerat ekonomi rakyat. Terdesaknya kebutuhan masyarakat akan hak hidup dan ekonomi akan semakin memperkeruh suasana bangsa. Pada akhirnya, pasar masih terus menanti “kearifan” elit politik. Pengambilan keputusan yang tepat dan bijaksana akan mampu menyelamatkan biduk bangsa yang semakin rapuh ini.
Jika para pengambil keputusan keliru dalam menerapkan demokrasi, pasar akan meresponnya secara negatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar