Search

Selasa, 18 Maret 2014

Tahun (Rebutan) Kursi

Oleh Benni Setiawan


Koran Sindo, Minggu, 16 Maret 2014

Gempita pemilu sedang berlangsung. Gambar kontestan sudah memenuhi badan jalan. Menyimak yang tersaji, semua optimistis menang. Mereka yakin mendapatkan kursi tahun ini. Namun, di tengah gempita persaingan meraih kursi, masyarakat seakan hanya disuguhi situasi bisu tanpa narasi.

Calon anggota legislatif (caleg) yang berjumlah 6. 6607 (sesuai dengan daftar calon tetap untuk DPR RI dari 12 parpol) dan calon tetap Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari 33 provinsi sebanyak 945 orang belum mampu memberi pendidikan politik secara memadai. Mereka hanya mengandalkan foto dengan gaya khas dan senyum manis di pinggir jalan. Mereka belum bergerak menuju proses pemerdekaan dan pemanusiaan dalam proses berpolitik.

Tuna Kuasa

Meminjam ungkapan Profesor Machasin, permukaan laut adalah politik, tengahnya kebudayaan, dasarnya adalah filsafat. Caleg kini hanya bermain di arena permukaan laut. Tanpa pemaknaan sumber dan realitas kebudayaan berbasis filsafat. Mereka masih terpaku pada seberapa banyak suara yang didapatkan guna meraih satu kursi. Perolehan kursi tanpa basis kebudayaan dan filsafat hanya akan melahirkan manusia tunakuasa. Manusia yang hanya ingin berkuasa, tanpa niat melayani dan membangkitkan optimisme bersama. Manusia yang senang dipuji tanpa mau membangun citra diri sebagai pengayom.

Manusia yang ingin hidup mewah tanpa mau bekerja keras. Manusia tuna kuasa hanya akan menjadi penyakit bagi bumi. Bumi seakan penuh sesak dengan sikap, sifat, dan solah bowo (segala perilaku yang tampak maupun tak tampak). Bumi nan luas menjadi arena sempit yang penuh dengan kebencian, kedengkian, dan kedurhakaan. Ruang publik—meminjam istilah Habermas—menjadi ruang privat. Ruang privat yang kecil itu pun terkotak dalam nafsu kuasa dengan laku menghujat, menghardik, dan menghamburkan uang demi cita satu kursi.

Mesem dan Gemuyu

Satu kursi hanya mewujud dalam realitas semu. Realitas di mana kekuasaan hanya terbaca pada produk pangkat, harta, dan kedudukan. Padahal, kursi kekuasaan selayaknya terbangun dalam realitas kebudayaan, yaitu kursi kekuasaan yang diraih dengan laku darma bakti pribadi terhadap Ibu Pertiwi. Melalui bakti, seseorang menjadi dirinya sendiri. Melalui penghargaan diri, seorang caleg mampu membaca keinginan rakyat. Keinginan rakyat itu sederhana.

Sesederhana pemahaman kerakyatan, yakni cukup sandang, pangan, dan papan. Saat ketiga hal itu terpenuhi dengan baik, rakyat akan mesem (tersenyum riang) dan gemuyu (tertawa tanpa terbahak-bahak). Realitas kebudayaan itu belum tertangkap oleh nalar caleg. Caleg hanya menangkap gejalanya saja. Mereka menggelontorkan banyak uang dalam berbagai rupa. Seakan melalui hal itu rakyat dapat mesemdan gemuyu. Gelontoran uang yang mewujud dalam money politicsitu tidak mampu membuat rakyat merdeka. Rakyat malah menjadi sasaran empuk saat mereka meraih kuasa. Rakyat ditinggal bersama kenangan manis recehan rupiah.

Kehidupan

Saat basis kebudayaan tidak termaknai dengan baik, maka basis filsafat pasti lepas. Filsafat sebagai ibu ilmu pengetahuan pun hanya menjadi ujaran usang. Filsafat dianggap sebagai ilmu bebal yang susah untuk dipelajari. Padahal ia merupakan dasar dalam politik. Ketika caleg tidak mampu memahami filsafat, maka tidak aneh jika dalam setiap lakunya senantiasa melanggar norma dan etika. Contoh paling sederhana adalah saat mereka memaku dan merusak pohon sebagai sarana memperkenalkan diri. Pohon bagi mereka adalah makhluk tanpa suara.

Pohon tidak akan berontak saat batang dan rantingnya tertancap paku dalam jumlah yang tak terbatas. Padahal, pohon telah lama bersemayam dalam kehidupan manusia. Ia adalah pemompa kehidupan. Karena ia menyuplai sebagian oksigen untuk manusia. Manusia tanpa oksigen pasti mati. Pohon adalah kehidupan manusia itu sendiri. Namun, saat pohon membisu, manusia buas menebasnya. Manusia seakan lupa bahwa dirinya adalah bagian dari mikro dan makrokosmos bumi. Pohon dan manusia adalah makhluk hidup yang butuh kehidupan.

Kehidupan penuh tenggang rasa dan penghormatan terhadap sesama yang hidup. Caleg seakan lupa dengan itu. Mereka hanya ingin satu kursi untuk diraih dan direbut. Inilah realitas politik Nusantara hari ini. Politik penuh riak yang diempas angin. Pasang surut karena tarikan sinar bulan. Calon pemimpin bangsa seakan sedang mengalami amnesia kesejarahan panjang.

Kesejarahan di mana manusia dan alam merupakan satu kesatuan utuh mewujudkan peradaban utama. Pada akhirnya, saat ini tepat disebut sebagai tahun rebutan kursi, di mana semua orang berlomba mendapatkan satu kursi tanpa pemaknaan yang memadai terhadap realitas kemanusiaan yang beradab. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar