Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Selasa, 19 Agustus 2008
Jangan Pasung Kemerdekaan Guru Kami
Seputar Indonesia, Selasa, 19 Augustus 2008
Surat Keputusan Wali Kota Bandung No 862/Kep.611- Peg/2007 terhadap Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan menuai protes.
Sanksi berupa penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun ini dijatuhkan kepada seorang guru yang melaporkan adanya dugaan kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) beberapa waktu lalu.
Sanksi disiplin yang dijatuhkan kepada Iwan Hermawan ini semakin memperpanjang kasus ”pembungkaman” guru kritis oleh pemerintah.Sebelumnya pemerintah juga menghukum guru di Garut,Jawa Barat, dan komunitas guru di Medan, Sumatera Utara. Penjatuhan sanksi disiplin oleh pemerintah ini kontras dengan kondisi riil pendidikan di Tanah Air.
Sebagaimana kita ketahui, hingga saat ini pemerintah pusat masih belum mampu membayar gaji guru yang lulus dalam program sertifikasi. Pemerintah konon masih memikirkan dan mencari sumber dana guna membayar keringat guru atas jerih payahnya mengikuti sertifikasi.
Pemerintah juga selalu berkelit ketika ditanyakan mengenai sumber dana untuk menggaji pahlawan bangsa yang digambarkan dalam kiasan yang ciamik oleh Iwan Fals dalam tokoh Oemar Bakri pada lagu dengan judul yang sama.
Disorientasi Program
Lebih dari itu, pemerintah seakan sedang meninabobokan anak-anak orang miskin untuk tidak perlu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dengan program sekolah menengah kejuruan (SMK). Bahkan pemerintah menargetkan dalam waktu dekat rasio SMK dan sekolah menengah atas (SMA) 70 berbanding 30.
Program prestisius berkedok sekolah langsung kerja (link and match) ini semakin memperjelas bahwa pemerintah sekarang tidak menginginkan rakyatnya cerdas dan mandiri.Pemerintah lebih berorientasi pada peningkatan kemampuan yang ujung pangkalnya peserta didik siap dipekerjakan di sektor industri maju. Anak-anak orang miskin dirayu untuk masuk SMK.
Di sisi lain, pemerintah tidak kuasa merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20% dalamAPBN danAPBD.Mungkin saat ini pemerintah telah menaikkan anggaran pendidikan di APBN hingga melebihi angka 20%, namun kita masih harus harap-harap cemas dengan implementasinya. Tidak aneh jika biaya masuk SMK lebih besar daripada masuk SMA. Anak-anak orang miskin lagi-lagi menjadi korban kebijakan yang tidak pernah berpihak kepada mereka.
Pemojokan Guru
Kegagalan pemerintah pusat dalam menangani pendidikan semakin diperparah oleh ”kewenangan” menghukum guru kritis. Guru kritis yang mencoba menguak kebobrokan birokrasi dibungkam dengan sanksi disiplin. Guru-guru tersebut dinilai mengganggu jalannya sistem pendidikan dengan melaporkan kecurangan dalam UN.
Padahal,pemerintah sendiri tidak merasa bersalah dengan menurunkan pasukan detasemen khusus (Densus) Antiteror 88 untuk menjaga pelaksanaan UN. Peserta didik dianggap teroris yang akan melakukan kejahatan terhadap negara.Peserta didik dalam pandangan pemerintah perlu diamankan dari ”kecurangan” UN dengan pasukan khusus tersebut. Inilah potret pendidikan di Indonesia.
Pendidikan yang hanya berorientasi pada berapa nilai yang didapat dan mengabaikan faktor-faktor (kecerdasan) lain. Guru-guru dipaksa untuk segera mengikuti sertifikasi dengan ancaman jika tidak lulus akan di-TU-kan (dimasukkan dalam jajaran tata usaha).Namun setelah mereka lulus, janji kenaikan gaji tunjangan tak kunjung dibayarkan.
Guru-guru yang mencoba untuk mengkritik kebijakan UN yang sarat manipulasi ditangkap dan dijatuhi sanksi.Guru-guru dipaksa menyelesaikan materi pelajaran sebelum waktu semesteran dan ujian akhir dilaksanakan. Padahal,mereka tidak pernah digaji layak. Mereka sering- kali harus menerima cemoohan dari kepala sekolah dan kepala dinas karena banyak peserta didiknya yang tidak lulus UN.
Mereka juga dilupakan kalau tidak mau disebut tidak pernah diakui sebagai seorang pendidik,ketika peserta didiknya diterima di perguruan tinggi negeri (PTN). Yang berhasil mengantarkan peserta didik ke jenjang PTN adalah LBB,bukan guru. Ironisnya, banyak orangtua yang mampu enggan membayar biaya pendidikan di sekolah.
Banyak orangtua yang mampu dengan senang hati (rela) mendukung dan mendorong anak-anaknya mengikuti les privat atau melalui lembaga bimbingan belajar (LBB) dengan biaya yang mahal. Habislah riwayat guru Indonesia. Mereka menjadi korban praktik pendidikan yang keliru (wrong track). Sikap kritis yang selama ini menjadi ciri insan pendidik diancam dengan sanksi disiplin.
Kesederhanaan dan ketidakmampuan membuat dapur istri mengepul tidak pernah menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah hanya memerhatikan hal-hal yang sekiranya mengancam eksistensinya. Guru yang digaji dari APBN berhak dipermasalahkan dan dihukum jika melontarkan pendapat yang dianggap tidak setia kepada pemerintah.
Meminjam istilah Orde Baru Soeharto,guru yang melaporkan fakta adanya SMS (pesan singkat) berisi jawaban UN palsu, telah merongrong kewibawaan pemerintah dan negara. Pada akhirnya, terus berjuang pahlawanku. Banyak jalan menuju kebenaran.(*)
Benni Setiawan
Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Jember, Penulis Buku ”Agenda Pendidikan Nasional”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar