Search

Rabu, 20 Agustus 2008

“Melik Nggendong Lali”



Bernas Jogja, Rabu, 20 Agustus 2008

Tampaknya masyarakat Indonesia akan terus disuguhi fakta bahwa pemimpin bangsanya saat ini telah melakukan tindak pidana korupsi. Kasus korupsi berskala agak besar satu per satu mulai terkuak dan terungkap. Hampir tidak ada lembaga pemerintahan yang luput dari korupsi.

Mulai dari lembaga Yudikatif. Jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) tertangkap oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) saat menerima suap Rp. 6 miliar dari Artalyta Suryani atau Ayin. Jaksa UTG tidak sendirian, setidaknya tiga nama juga terseret dalam kasus ini. Mereka adalah, Untung Udji Santoso, Kemas Yahya Rahman dan Wisnu Subroto.
Kasus yang sempat menyedot perhatian masyarakat ini seakan membuktikan dugaan bahwa mafia peradilan benar ada di Indonesia. Mafia peradilan telah mencoreng kewibawaan hukum di tengah masyarakat. hukum dalam pandangan masyarakat sudah tidak berharga, karena “harganya” sudah dibeli dan dibayar oleh uang.

Di lembaga Legislatif, Al Amin Nur Nasution, Sarjan Taher, Bulyan Royan, Yusuf Emir Faisal, juga diduga melakukan tindak pidana korupsi. Mereka menjadi “calo” dalam alih fungsi hutan lindung di Bintan Kepulauan Riau. Bahkan pengakuan mengejutkan datang dari Hamka Yandhu. Menurutnya, aliran dana bantuan likuiditas bank Indonesia (BLBI) dinikmati oleh seluruh anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004.

Dana sebesar Rp. 31,5 miliar, dijadikan “bancaan” anggota dewan yang terhormat. Menurut Hamka Yandhu, Fraksi Partai Golkar (12 orang) mendapat jatah Rp. 3 miliar; Fraksi PDI Perjuangan (14 orang) mendapat jatah Rp. 3,55 miliar; Fraksi PPP (5 orang) mendapat jatah Rp. 1,5 miliar; Fraksi PKB (5 orang) mendapat Rp. 1,4 miliar; Fraksi Reformasi (5 orang) mendapat jatah Rp. 1,25 miliar; Fraksi TNI/Polri (4 orang) mendapat jatah Rp. 1 miliar; Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (1 orang) mendapat jatah Rp. 250 juta; Fraksi Bulan Bintang (1 orang) mendapat jatah Rp. 300 juta; dan Fraksi Daulat Umat (1 orang) mendapat jatah Rp. 250 juta.

Kasus aliran dana BLBI ini juga menyeret nama Paskah Suzetta Menteri Perencanaan Pembangunan dan Malem Sambat Ka’ban Menteri Kehutanan yang sebelumnya adalah anggota komisi IX DPR RI 1999-2004. Korupsi juga dilakukan oleh Direktur Utama PT Pos Indonesia, Hana Suryana, yang mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp. 40 miliar. Lengkap sudah korupsi di Indonesia, karena ketiga lembaga tinggi negara terjerat kasus tindak pidana ini.

Keadaan ini semakin membuktikan bahwa tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Tindak pidana korupsi juga erat hubungannya dengan kekuasaan. Kekuasaan amat dengan dengan korupsi.

Ketiga lembaga negara yang diharapkan dapat memimpin bangsa Indonesia dan membawa Indonesia keluar dari krisis multidimensional ini ternyata malah semakin memperkeruh kondisi bangsa. Lembaga peradilan yang seharusnya menegakkan hukum bermain mata dengan Ayin sahabat Syamsul Nursalim pengemplang dana BLBI sebesar Rp. 41 triliun.
Lembaga Legislatif yang seharusnya mendengar, membawa dan menyuarakan aspirasi rakyat yang sedang dibelit kemiskinan malah mengkorupsi dana kesejahteraan rakyat. Demikian pula dengan lembaga Eksekutif sebagai pemimpin dan pamong masyarakat. Seharusnya mereka sadar bahwa kedudukannya saat ini merupakan amanah kemanusiaan yang wajib ditunaikan. Mereka adalah panutan masyarakat. Segala tingkah lakunya selalu menjadi rujukan masyarakat.

Dalam kosmologi Jawa ada istilah melik nggendong lali yang artinya kurang lebih kekuasaan lebih dekat dengan korupsi. Berada dalam puncak kekuasaan, seseorang seringkali lupa asal muasalnya. Mereka lupa sedang menjalankan amanah mulia mengembang aspirasi masyarakat. Kekuasaan telah membutakan mata hati mereka untuk menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.

Amanah Kemanusiaan
Hukum sebagai panglima menuju kesejahteraan dan keadilan masyarakat dilanggar oleh lembaga yang seharusnya menegakkannya. Amanah rakyat yang juga merupakan amanah Tuhan (vox populie vox die) ditukar dengan harta kekayaan yang menyilaukan.

Seringkali kekuasaan dimaknai secara sempit oleh pemimpin kita. Kekuasaan hanya dimaknai sebagai alat atau tempat untuk menumpuk kekayaan. Kekuasaan belum mampu dimaknai sebagai amanah kemanusiaan. Amanah kemanusiaan yang dapat menyelamatkan diri sendiri dan orang lain.

Mengemban amanah kemanusiaan akan dapat menyelamatkan seseorang dari godaan kekayaan atau dunia yang berat. Lebih dari itu, amanah kemanusiaan akan menuntun seseorang menjadi seorang pemimpin bukan seorang penguasa.

Pemimpin dan penguasa
Pemimpin adalah seseorang yang dengan sadar menjalankan amanah yang diemban untuk kepentingan bersama, bukan pribadi dan golongan. Sedangkan penguasa adalah seseorang yang menjalankan amanah untuk memuaskan nafsu pribadi dan golongannya.

Menjadi pemimpin berarti mampu memimpin diri sendiri dan menjadi panutan yang dipimpin. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan amanahnya dengan baik dan benar. Berbeda dengan penguasa. Penguasa cenderung korup, karena ia tidak tahu siapa yang memimpin dan dipimpin. Penguasa akan mempertahankan kedudukannya dan menguras pundit-pundi negara hingga habis. Mereka akan menghalalkan segala cara dalam mempertahankan dan memperoleh apa yang diinginkannya.

Kasus tertangkapnya tokoh-tokoh pemegang kekuasaan oleh KPK sudah saatnya dijadikan pelajaran berharga bagi pejabat lain. Artinya, ia harus mampu mawas diri bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya. Kekuasaan adalah amanah kemanusiaan yang harus diemban dengan baik dan benar. Kekuasaan bukanlah untuk untuk menjadi penguasa. Kekuasaan adalah tempat untuk memimpin dan menjadi pemimpin.

Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar