Search

Senin, 12 Januari 2009

Selamatkan Masa Depan Anak Indonesia




Oleh Benni Setiawan*)

Surabaya Post, Senin, 12 Januari 2009

Malang nian nasib anak Indonesia. Selain mereka dieksploitasi dan diperdagangkan, generasi penerus bangsa ini seringkali juga menerima perlakuan kasar dari orangtuanya atau majikannya.

Menurut data Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Anak dan Komersialisasi Anak, setiap tahun sekitar 150 ribu anak menjadi korban eksploitasi seksual. Angka ini dua kali lebih besar dibanding 1998. Berdasarkan data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (UINCEF), saat ini angka kekerasan seks terhadap anak sekitar 70 ribu kasus per tahun.

Masih tingginya angka korban eksploitasi dan kekerasan terhadap anak menjadi ancaman nyata bagi eksistensi bangsa Indonesia. Artinya, bangsa ini akan kehilangan ratusan ribu anak sebagai calon pemimpin bangsa, penerus estafet kepemimpinan nasional, dan penerus keturunan bangsa Indonesia.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah faktor apa saja yang mempengaruhi masih banyaknya eksploitasi dan tindak kekerasan seks terhadap anak? Dan bagaimana mencegah agar anak tidak selalu dieksploitasi dan diperdagangkan untuk kepentingan “dunia gelap” seks (pelacuran)?

Faktor yang paling dominan dalam kasus ini adalah kemiskinan. Kemiskinan telah mendorong seseorang untuk melakukan apa saja, walaupun salah bahkan “dosa”. Orang miskin hanya berfikir, apa yang dapat dimakan hari ini. Kebutuhan perut bagi orang miskin adalah nomor satu. Ketika kebutuhan ini sudah terpenuhi, mereka tidak akan banyak menuntut. Mereka cenderung diam dan damailah hidup ini.

Namun, orang miskin masih saja dipermainkan di negeri ini. Mereka masih saja menjadi obyek penderita. Mereka “dipelihara” dan didekati menjelang pemilu. Setelah pemilu usai, mereka kembali ditelantarkan—kalau tidak mau disebut disia-siakan.

Lebih dari itu, orang miskin juga menjadi komoditas atau kepentingan politik pemerintah. Hal ini terbukti dengan data yang dikeluarkan pemerintah, yang menyatakan bahwa orang miskin selalu turun dari tahun ke tahun.

Data terbaru dari badan pusat statistik (BPS) menunjukkan, jumlah keluarga miskin Desember 2008 ini turun. Hingga Desember 2008, jumlah rumah tangga miskin tinggal 18,6 juta. Turun jika dibandingkan dengan data Maret 2008, yang mencapai 19,1 juta rumah tangga. Padahal fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan, lebih dari 20.000 buruh di-PHK akibat krisis keuangan global. Ketika kepala keluarga atau semakin banyak orang yang menganggur, berarti bertambahlah jumlah rumah tangga miskin di negeri ini. Dengan asumsi bahwa tanpa bekerja mereka tidak mendapatkan penghasilan.

Jumlah orang miskin yang selalu turun menjadi bukti “keberhasilan” pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Dan ini akan menjadi modal sosial guna mencalonkan diri di Pemilu 2009. Lagi-lagi orang miskin menjadi santapan empuk pihak-pihak yang tidak mempunyai integritas moral.



Budaya

Faktor selanjutnya adalah budaya. Walaupun tidak dominan, di dalam masyarakat masih tumbuh dengan subur apa yang dinamakan budaya malu miskin. Artinya, seseorang ingin menjadi orang kaya dengan cara cepat tanpa harus bekerja keras. Menjadi orang kaya akan menempatkan seseorang dalam strata sosial tertinggi. Orang kaya akan selalu dihormati dan dipercaya orang lain. Pendek kata, dengan kekayaan seseorang dapat memperoleh kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat.

Budaya seperti ini perlu diselesaikan secara arif dan bijaksana. Budaya seperti ini tidak dapat diselesaikan secara cepat. Perlu tahapan-tahapan agar masyarakat tidak “sok” dalam menerima budaya baru. Salah satu cara mendidik masyarakat dan mengubah cara berfikir seperti ini adalah dengan pendidikan.

Pendidikan memainkan peran penting dalam membentuk karakter masyarakat. Hal ini dikarenakan, dalam pendidikan diajarkan cara berfikir logis dan sistematis. Cara berfikir inilah yang perlu disentuh dalam proses pendidikan, bukan hanya proses transfer of knowledge. Inilah tugas guru yang cukup berat.

Dengan mampu mengubah cara berfikir menjadi lebih logis dan sistematis, seseorang akan dengan sendirinya meninggalkan budaya yang “irasional” tersebut di atas. Pendidikan menjadi “budaya tandingan” bagi sistem hidup yang telah mendarah daging.

Lebih dari itu, pendidikan bagi anak-anak menjadi hal yang penting. Anak harus terus didorong untuk terus belajar, baik di dalam sekolah, pesantren atau dalam pendidikan-pendidikan informal. Ketika anak selalu bersemangat untuk belajar, maka kesempatan orangtua mempekerjakan mereka akan semakin berkurang.

Kemudian dari mana biaya pendidikan anak-anak Indonesia ini? Tentunya biaya pendidikan harus ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah, sebagai pemegang otoritas kenegaraan. Pemerintah yang telah menyetujui anggaran pendidikan 20 persen untuk pendidikan, dapat bekerja sama dengan pihak swasta atau pihak-pihak terkait untuk mengawasi penggunaan dananya, guna mengurangi kebocoran (korupsi).

Selain itu, pemerintah juga perlu membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya, agar masyarakat dapat bekerja dan tidak menjadi penganggur. Ketersediaan lapangan pekerjaan dengan gaji yang memadai akan mendorong seseorang giat dan tekun dalam bekerja.

Lebih lanjut, pemerintah baik pusat maupun daerah perlu memberikan perlindungan secara maksimal bagi anak-anak. Perhatian pemerintah ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perlindungan terhadap anak dapat dilakukan dengan cara menutup tempat-tempat pelacuran yang diidentifikasi mempekerjakan anak. Menangkap cukong perdagangan anak dan menghukum mereka dengan seberat-beratnya merupakan tugas mulia. Hal ini dikarenakan, anak dapat diselamatkan dari mata rantai kejahatan dan negara terhindar dari stigma penyedia (penyuplai) anak-anak untuk kepentingan seks.

Jika hal-hal tersebut di atas tidak menjadi program pemerintah dalam jangka pendek maupun panjang, maka akan semakin banyak anak-anak orang miskin diperdagangkan dan dieksploitasi untuk kepentingan “dunia gelap”. Dan hal ini akan semakin mempercepat kehancuran bangsa dan negara Indonesia, karena generasi penerusnya tidak terdidik dan menjadi “tenaga kerja” untuk memuaskan nafsu hewaniyah. Wallahu a’lam.



*) Pemerhati Pendidikan, Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia (2006) dan Agenda Pendidikan Nasional (2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar