Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Jumat, 09 Januari 2009
Menakar Poros Tengah Jilid II
Koran Tempo, 09 Januari 2009
Benni Setiawan
Peneliti, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Wacana poros tengah yang dicoba digulirkan kembali oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mendapat tanggapan negatif dari berbagai kalangan. Pemerhati dan pengamat politik, misalnya, ragu terhadap efektivitas poros tengah untuk Pemilu 2009. Mereka beranggapan zaman telah berubah. Poros tengah di masa awal reformasi akan berbeda dengan zaman saat ini, ketika sistem pemilihan langsung menjadi pilihan. Namun, artikel ini ingin berusaha mendukung apa yang dikatakan oleh calon presiden yang didukung oleh Partai Matahari Bangsa (PMB) ini.
Wacana poros tengah memang sangat ideal saat ini. Namun, poros tengah sesuai dengan namanya harus merepresentasikan sebuah gagasan tandingan di antara dua kubu besar. Persoalannya adalah saat ini dua kubu besar sebagai simbol "status quo" tersebut belum muncul. Maka, tidak aneh jika banyak kalangan mencibir apa yang diungkapkan oleh Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini. Jika kita mengasumsikan bahwa dua simbol besar tersebut adalah SBY sebagai incumbent yang didukung oleh Partai Demokrat (PD), dan Megawati Soekarnoputri yang telah diusung secara resmi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, mungkin gagasan poros tengah akan mendapat sambutan hangat.
Lebih dari itu, gagasan poros tengah menjadi alternatif jalan bagi pemimpin baru untuk melenggang ke Senayan. Poros tengah merupakan tradisi tandingan atas kemapanan rezim. Ancangan poros tengah juga akan mampu memecah kebuntuan proses demokratisasi yang memunculkan “empat L”, "Lu Lagi, Lu Lagi". Dengan adanya poros tengah, masyarakat akan dapat memilih "pemimpin lain" dan memunculkan wajah baru dalam pentas perpolitikan nasional. Ide poros tengah untuk memunculkan figur baru di tengah semakin mengerucutnya calon presiden dan calon wakil presiden merupakan gagasan yang perlu didukung dan diapresiasi.
Mengerucutnya figur calon presiden dan calon wakil presiden ini merupakan konsekuensi logis UU Pemilihan Presiden, yang disahkan DPR beberapa waktu lalu. Dalam undang-undang ini disyaratkan partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang dapat mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden harus memenuhi 20 persen suara di parlemen (DPR) dan 25 persen suara pemilih nasional. Dengan aturan undang-undang yang ketat ini, diperkirakan hanya akan muncul maksimal tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2009. Jika memang sekarang sudah mengerucut pada dua tokoh sentral (SBY dan Mega), satu tokoh dari poros tengah masih berpeluang mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Gagasan poros tengah dengan cara koalisi partai-partai Islam memang berat. Namun, peluang untuk itu masih terbuka. Partai-partai berideologi Islam maupun berbasis massa muslim masih membuka peluang untuk ketemu dan melakukan koalisi sebagaimana pada 1999. Adanya gagasan calon presiden alternatif ala poros tengah juga sejalan dengan UU Pilpres. Menurut Yusril Ihza Mahendra, dalam seminar nasional di kampus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, beberapa waktu lalu, dalam UU Pilpres dinyatakan bahwa pengajuan calon presiden dan calon wakil presiden adalah sebelum pemilu legislatif 9 April 2008. Bukan menunggu hasil pemilu legislatif sebagaimana diopinikan oleh pemimpin parpol selama ini.
Jika pemahamannya demikian, gagasan mengajukan poros tengah melalui partai Islam dan partai berbasis massa Islam sangat tepat. Hal ini karena pendulum demokrasi untuk pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden 2009 masih mengarah pada SBY dan Mega, sebagai dua kekuatan besar. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa gerangan calon alternatif yang mampu bersaing dengan SBY dan Mega?
Dalam analisis Sukardi Rinakit, mantan Direktur Soegeng Sarjadi Syndicate, Jakarta, hanya ada empat nama besar calon presiden yang mampu membetot perhatian masyarakat pada Pemilu 2009. Mereka adalah SBY, Mega, Wiranto, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Jika proyeksi tim sukses Sultan ini benar, calon alternatif yang dapat diusung oleh poros tengah adalah Sultan. Mengapa Sultan? Sultan memiliki track record yang cukup baik dalam memimpin Yogyakarta. Sultan merupakan tokoh yang belum pernah mencalonkan diri sebagai calon presiden pada Pemilu 2009. Hal ini tentunya berbeda dengan Wiranto, yang pernah maju melalui Partai Golkar namun belum beruntung.
Sultan juga sudah didukung secara resmi oleh Partai Republika Nusantara (RepublikaN), dan konon juga mulai dilirik oleh tujuh partai kecil lainnya. Namun, apakah Sultan dapat diterima di kalangan parpol berideologi Islam, mengingat Sultan adalah pemegang tradisi kejawen, sebagai representasi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat? Masalah ini tentunya dapat dikompromikan secara baik (intern dan ekstern) di parpol poros tengah. Toh, dahulu, pencalonan Gus Dur sebagai calon presiden poros tengah juga mengalami perdebatan yang cukup alot. Namun, pada akhirnya Gus Dur terpilih menjadi presiden keempat RI.
Pandangan negatif mengenai poros tengah oleh beberapa kalangan, menurut hemat penulis, merupakan "ketakutan" akan munculnya calon alternatif yang mampu mengungguli SBY dan Mega. Gagasan poros tengah merupakan sebuah tesis, antitesis, sekaligus sintesis dari sistem demokrasi masyarakat Indonesia. Calon alternatif dan cenderung baru biasanya mampu menyihir perhatian masyarakat, yang pada gilirannya mereka akan memilihnya dengan sadar dan rasional. Pendek kata, orang baru merupakan ancaman nyata bagi orang lama (status quo).
Gagasan poros tengah yang kembali dimunculkan oleh Din Syamsuddin, walaupun dalam kapasitasnya sebagai pemimpin organisasi massa Islam bukan parpol, merupakan wacana yang perlu ditanggapi secara dingin, arif, dan bijaksana. Kembalinya poros tengah ke pentas politik nasional seakan membawa angin segar akan munculnya calon presiden alternatif, sebagai bagian pendewasaan sistem demokratisasi yang sedang berkembang di Indonesia.
Pada akhirnya, gagasan poros tengah tidak perlu terus dicibir. Hal ini karena, semakin sering dikritik dan "dianiaya" sebuah pemikiran, akan mampu membawa proses kesadaran kolektif bahwa poros tengah merupakan solusi suksesi kepemimpinan nasional 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar