Search

Jumat, 13 Maret 2009

Ketika Kampus Jadi Pasar Dadakan




KAMPUS, Suara Merdeka,Sabtu, 14 Maret 2009

Tahun ajaran baru 2009/2010 sudah makin dekat, beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) bahkan sudah mulai menjaring calon-calon mahasiswa baru melalui berbagai jalur. Tetapi hingga detik ini, UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang menjadi salah satu landasan dalam penjaringan mahasiswa baru masih menimbulkan pro dan kontra. Kampus dikhawatirkan menjadi ’’pasar dadakan’’.

PIHAK kontra beranggapan, UU BHP hanya makin menyuburkan praktik kapitalisme dalam bentuk komersialisasi pendidikan. Sedangkan pihak pendukung menyatakan, peraturan ini justru diyakini bisa memberi perlindungan kepada masyarakat untuk tidak lagi dipungut biaya pendidikan yang tinggi.

Dengan UU ini, kata pihak pendukung, warga miskin jutru makin terlindungi. Sebab ada kewajiban dari badan hukum pendidikan serta pemerintah untuk menyediakan beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit pendidikan mahasiswa, dan pemberian pekerjaan kepada mahasiswa.

Selain itu, BHP wajib menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi, sekurangnya 20 persen dari jumlah peserta didik baru. Pertanyaan yang muncul kemudian, benarkah UU BHP yang diancang ’’mulia’’ ini dapat semakin meningkatkan mutu pendidikan tinggi di tengah kian menguatnya kuatnya pendulum perguruan tinggi mengeruk pundi-pundi mahasiswa ala kaum kapitalis?
Bertolak Belakang
Cita-cita ’’mulia’’ UU BHP untuk menolong orang miskin agar bisa melanjutkan pendidikannya jelas sangat bertolak belakang dengan realitas yang terjadi saat ini. Betapa tidak, di tengah makin tingginya tuntutan dunia industri yang mensyaratkan lulus pendidikan strata satu (S1), IP tinggi, dan berasal dari perguraan tinggi ternama, kampus-kampus telah menjadi bareng angker bagi orang miskin.

Orang miskin dengan kantong cekak tidak akan mungkin dapat masuk perguruan tinggi ternama. Ia harus bersaing dengan orang kaya berkantong tebal. Ironisnya, standar masuk perguruan tinggi ternama kini dapat diselesaikan dengan uang. Kualitas dan kapasitas seseorang dalam ilmu pengetahuan tidaklah penting. Ini terlihat jelas dari sistem seleksi perguruan tinggi yang telah menjadi badan hukum milik negara (BHMN).

Orang miskin yang bercita-cita dapat belajar di perguruan tinggi ternama, agar masa depannya gemilang, hanya bisa gigit jari. Ketika ditanya berani membayar berapa uang bantuan operasional pendidikan (dengan standar minimal Rp 5 juta), calon mahasiswa baru (dan orangtuanya) akan berfikir seribu kali!

Dari mana dia atau orang tua memperoleh uang sebanyak itu, di tengah makin sempitnya lapangan pekerjaan akibat krisis keuangan global. Hanya orang kaya saja yang siap dan sanggup menyediakan uang berapa pun, demi sebuah prestise atau gengsi. Benarlah kata Eko Prasetyo, dalam sebuah bukunya yang berjudul sangat provokatif: Orang Miskin Dilarang Sekolah!

Hal ini kian diperparah oleh penerbitan UU BHP, yang mensyaratkan swastanisasi sistem pendidikan. Perguruan tinggi bisa berubah dan membuat simpul-simpul usaha apapun, demi ’’keberlangsungan’’ sistem pendidikan. Mereka akan berlomba membuat ’’pabrik’’ di tengah-tengah peradaban dan pergulatan ilmu dan pemikiran (kampus).

Kampus nantinya akan menjadi pasar dadakan, yang menyediakan barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan manusia modern. Hal ini tentunya akan menggusur iklim ilmiah di kampus. Rektor dan pejabat kampus hanya disibukkan dengan bisnis barunya itu. Dosen-dosen akan mencari proyek penelitian yang dibiayai
oknum-oknum tertentu, demi kepentingan tersembunyi pemasok dana.

Mahasiswa akan disibukkan dengan bagaimana mencari sumber dana untuk menutupi biaya SPP setiap semester. Materi kuliah dan sistem pendidikan hanya dijadikan formalitas belaka. Perpustakaan sebagai jantung peradaban pun bakal sepi, karena mahasiswa, dosen, dan pejabat kampus lebih disibukkan dengan dunia bisnis yang lebih menjanjikan.
Sampah Masyarakat
Keadaan tersebut hanya akan menjadikan kampus sebagai mal dengan label perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan tidak ada kegiatan akademis yang dapat mengubah cara berfikir dari irasional menjadi rasional, dari magis menjadi kritis, dan seterusnya. Yang ada di dalam otak penghuni kampus hanyalah bagaimana bisnis ini menjadi lancar, dan kegiatan perguruan tinggi bisa berjalan dengan baik. Jika bisnisnya gagal, dibuat pailit saja. Selesai!

Maka, dari kehidupan kampus seperti itu, jangan banyak berharap perubahan datang dari orang-orang cerdik pandai. Kampus di era UU BHP hanya akan menjadi menara gading yang mereproduksi robot-robot tanpa nalar. Mereka akan selalu berfikir praktis dalam kerangka pikir ala kaum kapitalis. Segala sesuatu diukur dengan uang atau materi. Tanpa uang, gagasan besar akan mandek!.

Lebih dari itu, kampus hanya akan menjadi sampah masyarakat. Orang yang dapat masuk kampus adalah orang-orang mapan yang tidak membutuhkan perubahan radikal dalam hidup. Mereka akan menikmati indahnya bangunan kampus yang megah, fasilitas yang komplet, namun buta realitas.

Tidak ada lagi kebebasan berfikir di kampus. Yang ada hanyalah penyeragaman cara berfikir, sehingga para mahasiswa tidak mampu menjadi insan mandiri (kritis). Sangat sulit kita berharap kampus akan menjadi pusat peradaban yang menelurkan gagasan-gagasan besar yang dapat menyelesaikan persoalan sosial secara geneuin.

Semua ini tentu akan berimbas pada penurunan kualitas pendidikan perguruan tinggi di Indonesia. Karena, tidak ada sistem akademik yang mendorong mahasiwa untuk berfikir ilmiah. Juga karena lemahnya kontrol yang baik dari pemerintah maupun masyarakat.

UU BHP harus digugat melalui cara-cara formal maupun nonformal, dengan mengedepankan rasionalitas yang didasari sikap mawas diri. Cara formal dapat ditempuh dengan mengajukan gugatan uji materi UU ke Mahkamah Konstitusi (MK). Cara nonformal dilakukan dengan terus mendorong dan menumbuhkan budaya tandingan di kampus-kampus, agar pihak rektorat menolak UU BHP.

Dengan sinergi gerakan semacam itu, kita dapat menyelamatkan masa depan pendidikan serta bangsa dan negara Indonesia dari kehancuran akibat sistem yang tidak memihak dan membelenggu.

Akhirnya, UU BHP berpotensi makin mengerdilkan peran dan fungsi pendidikan yang mulia. UU ini makin menjauhkan perguruan tinggi dari realitas masyarakat. Perguruan tinggi makin menjadi menara gading dari ilmu pengetahuan. Wallahu a’lam. (Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjanan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta-32).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar