Search

Rabu, 04 Maret 2009

Iklan Politik yang Monoton


Surya, Rabu, 4 Maret 2009


Dengan demikian, iklan politik pada dasarnya merupakan bentuk uji kredibilitas seseorang. Iklan politik akan sangat menentukan cara pandang seseorang. Iklan politik yang baik adalah yang mampu memengaruhi banyak orang. Yang terjadi sekarang sebaliknya. Banyak iklan politik yang memuakkan.

PESTA demokrasi lima tahunan Pemilu sudah dimulai. Pesta ini selalu ditandai dengan banyaknya atribut partai politik (parpol) yang semakin mengurangi sudut pandang keindahan kota di jalan raya. Mungkin, jika dibentangkan, iklan politik, baik yang berupa baliho, poster, spanduk, yang dipasang oleh caleg, lebih panjang dari Sabang hingga Merauke.

Kalau setiap caleg yang berjumlah 460.000 orang di seluruh Indonesia mencetak 1.000 poster, totalnya ada 460 juta poster. Jika satu poster pajangnya 50 cm saja, ketika berjejer urutan panjangnya bisa mencapai 230.000 kilometer. Seberapa panjang itu? Bentangan jarak dari Sabang di Aceh sampai Merauke di Papua hanya 5.000 kilometer. Artinya, bentangan poster itu mencapai 46 kali jarak dari ujung ke ujung negeri ini.

Tanpa Makna
Iklan politik hanyalah pengumuman biasa tanpa makna. Banyak yang asal ditempel di pohon tepi jalan, semakin membuat gersang tumbuhan, yang akhirnya mati. Aktivis pecinta lingkungan unjuk rasa menolak pemasangan pamlet, poster dan spanduk yang merusak pohon. Mereka menyerukan agar tidak memilih caleg yang sengaja memasang gambarnya di pohon, dengan tidak mengindahkan etika lingkungan.

Aktivis pecinta lingkungan juga mengancam caleg dengan Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam. Dalam UU ini dinyatakatan, merusak alam atau ekosistem pohon dengan sengaja dapat dijerat dengan denda dan hukum pidana, tergantung tingkat kerusakan yang ditimbulkan.

Ironisnya, selain calon pemimpin kita merusak ekosistem alam mereka enggan membayar pajak pemasangan iklan di pinggir jalan. Walau sudah banyak atribut yang dicopot polisi pamong praja (Satpol PP) karena melanggar perda dan peraturan lain, tetap saja caleg nekat memasangnya, tanpa memedulikan hak-hak orang lain.

Lebih dari itu, caleg dan parpol menggunakan media televisi untuk mewartakan dirinya. Iklan politik di televisi telah banyak menyedot perhatian pemirsa. Menurut data Nielsen Media Reseach Indonesia, pendapatan iklan pemerintah dan organisasi politik naik 79 persen. Belanja iklan di media massa naik pada semester pertama tahun 2008 sebesar 24 persen, jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2007 dengan total anggaran 19,56 triliun.

Simbol Agama
Iklan-iklan politik parpol maupun cale sangat monoton. Hampir seluruh iklan, baik di jalan raya maupun di televisi dipenuhi dengan simbol agama, pembelaan terhadap rakyat kecil (wong cilik), kompetensi caleg, gelar yang dipampang panjang, dan seterusnya. Tidak banyak variasi.

Menurut Lynda Lee Kaid (2000) sebagaimana dikutip Agus Putranto, iklan politik harus memiliki aspek kredibilitas yang tinggi berdasarkan pada sejauh mana iklan tersebut terlalu menyederhanakan masalah (oversimplified) tanpa menyembunyikan informasi penting dan relevan serta penggunaan trik dan manipulasi teknologis.

Dengan demikian, iklan politik pada dasarnya merupakan bentuk uji kredibilitas seseorang. Iklan politik akan sangat menentukan cara pandang seseorang. Iklan politik yang baik adalah yang mampu memengaruhi banyak orang.

Yang terjadi sekarang sebaliknya. Banyak iklan politik yang memuakkan. Bahkan, dalam sebuah surat pembaca di sebuah koran terbitan Jakarta, ditulis, seorang warga merasa terganggu dengan banyaknya atribut parpol maupun caleg yang memenuhi gang-gang sempit kampugnya. Ia bersama warga lain, sempat melakukan sweeping atau pembersihan kampung dari segala atribut parpol, namun, keesokan harinya sudah ada atribut lagi.

Keadaan seperti ini sudah saatnya dipikirkan oleh caleg dan parpol. Jika masyarakat sudah muak melihat iklan politik, ia akan acuh tak acuh terhadap tahapan pemilu, yang pada gilirannya, mereka akan memilih golput atau tidak memilih/menggunakan hak suaranya. Pilihan masyarakat untuk golput tentunya merugikan negara secara umum dan caleg secara khusus.

Formula Iklan
Kiranya perlu dibuat formula yang tepat agar iklan politik dapat diterima oleh masyarakat. Salah satunya, dengan mengurangi gambar-gambar di pinggir jalan. Iklan politik di pinggir jalan tidak terlalu efektif. Caleg seyogianya lebih memfokuskan diri mendekati konstituen dari rumah ke rumah. Kampanye model ini terbukti efektif sebagaimana pernah dilakukan oleh Presiden terpilih Amerika Serikat Barack Husein Obama Jr.

Selanjutnya, caleg dapat memanfaatkan media massa cetak (koran) untuk kampanye gratis. Bagaimana caranya? Caleg dapat menulis di kolom opini yang disediakan media cetak. Sekiranya caleg tidak mampu bersaing dengan penulis-penulis yang sudah malang-melintang di dunia kepenulisan, ia dapat memanfaatkan kolom surat pembaca atau citizen journalism, sebagaimana yang ada di Harian Surya.

Dengan menulis, caleg dapat mempromosikan diri serta visi dan misinya dalam membangun tatanan bangsa selama lima tahun ke depan. Lebih dari itu, caleg tidak perlu mengeluarkan ongkos politik yang besar, yang pada gilirannya nanti mereka mencari ganti dengan memangkas anggaran untuk rakyat (korupsi).

Model kampanye seperti ini tidak menganggu pemandangan serta tidak merusak pohon (ramah lingkungan). Model kampanye seperti ini akan lebih mendekatkan caleg dengan pemilih. Caleg dapat mendengar langsung keluh-kesah masyarakat, sehingga dalam menjalankan program kerja nanti lebih terarah dan tepat sasaran.

Benni Setiawan
Peneliti Lentera Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar