Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Minggu, 12 Juli 2009
Membedah Darwinisme
Seputar Indonesia, Resensi, Minggu, 12 Juli 2009
Charles Darwin tidak dapat dimungkiri merupakan tokoh teori evolusi kenamaan.Tanpa teori evolusinya mungkin tidak akan ada kontroversi dan penelitian tentang manusia dan kemanusiaan hingga saat ini.
Darwin melalui teorinya mengajarkan kepada kita betapa bumi dan seisinya sangat indah untuk dilihat dan diteliti. Kegemaran Darwin meneliti bumi dan seisinya direpresentasikan dengan melihat tingkah laku burung di hutan selama 13 tahun. Ia tidak merasa bosan melihat keindahan makhluk hidup yang satu ini. Banyak hal yang perlu kita ketahui dari ciptaan Tuhan ini.Dengan melakukan penelitian terhadap ciptaannya ini kita akan semakin mengetahui hakikat diri manusia dan Tuhan-nya.
Kemahakuasaan Tuhan akan semakin tampak di tengah zaman yang semakin gelap. Kemahakuasaan Tuhan itu juga tampak dalam teori besar evolusi Darwin. Evolusi adalah teori yang tidak saja merangkum seluruh pengamatannya, tetapi juga sebuah gagasan brilian yang terbukti kokoh hingga sekarang. Evolusi, yang diperhitungkan Charles Darwin sebagai keterangan untuk menjelaskan asal-usul spesies, telah menjangkau wilayahwilayah terluar dan sekaligus makna terdalam dari jangkauan teoretisnya.
Teori itu nyatanya pun berevolusi di tangan sejumlah ilmuwan dan filsuf di kemudian hari. Dalam teori evolusi, untuk dapat melewati seleksi alam, tiap makhluk hidup harus mampu beradaptasi dengan lingkungan di mana ia bermukim. Dengan demikian, tentu saja tidaklah mungkin terdapat adanya telos (tujuan) dalam diri tiap makhluk hidup— yang sudah dirancang sebelumnya oleh ”kekuatan ideal”. Transformasi intelektual berikutnya hingga hari ini,secara langsung maupun tidak langsung, sangat dipengaruhi oleh perspektif Darwinian.
Di bawah pengaruh perspektif Darwinian, ketertarikan intelektual bukan lagi membicarakan konsepsi-konsepsi ideal (transendental), namun bergeser pada pencapaian empiris, naturalistik, dan kegunaan. Berbekal teori evolusi Darwin, banyak peneliti menemukan keterkaitan antarilmu pengetahuan yang digelutinya.Teori evolusi juga seakan telah membuka cakrawala baru dalam dunia pengetahuan empiris yang mampu menembus batas-batas yang tak terpikirkan (unthought, meminjam istilah Mohammed Arkoun). Hal ini sangat kentara dalam buku ini.
Buku Ayat-Ayat Evolusi, karya beberapa filsuf dari Departemen Filsafat Universitas Indonesia, menyadarkan kita betapa teori evolusi Darwin melampaui batas tradisi yang selama ini kita pikirkan. Dalam pengamatan Noviar Andayani misalnya teori evolusi Darwin diracik sedemikian rupa menjadi alat bantu dalam membedah ilmu kedokteran (biologi).Ia berkesimpulan bahwa evolusi sesungguhnya tidak berurusan dengan upaya memaksimalkan kesehatan atau kesejahteraan makhluk hidup, tapi untuk memastikan keberhasilan replikasi genetik.
Apa yang baik untuk gen kita, belum tentu baik untuk kita. Bahkan bila tujuan gen dan kita bersesuaian, gen makhluk hidup lain dapat mengintervensi dengan agendanya sendiri. Tanpa menghargai dinamika evolusi dari kesehatan dan penyakit, kita tidak mungkin mengerti dengan benar asal, keberadaan, dan pilihan untuk mengobati penyakit yang mendera tubuh manusia. Eko Wijayanto menggali makna teori evolusi Darwin dalam kaitannya dengan perkembangan filsafat modern.
Ancangan Eko Wijayanto dengan teori evolusi Darwin menandaskan bahwa pencerahan bukan sekadar suatu periode spesifik (abad ke-18), melainkan juga afirmasi atas upaya manusia untuk membebaskan ilmu pengetahuan dari ”belenggu kegelapan” tradisi feodal dan dogma-dogma teologi. Rasio pencerahan melahirkan keyakinan bahwa manusia sudah harus keluar dari suasana kegelapan tersebut menuju terbit fajar akal budi. Artinya, tiap manusia harus mempunyai kebebasan, otonomi, dan kemerdekaan dalam berpikir.
Demikian pula dengan gagasan Irianto Wijaya dalam kajian epistemologi ilmu pengetahuan. Irianto Wijaya berkesimpulan bahwa ”kebenaran” bukanlah notion yang murni epistemik. Usaha untuk membela ataupun mempromosikannya, yakni apakah Anda menginginkan maksimalisasi kedamaian ataukah maksimalisasi kekuasaan atas fakta, akan lebih efektif dilakukan bukan dengan argumentasi, melainkan narasi.
Sedangkan, bagian normatif dari epistemologi dapat dipahami sebagai sejenis studi engineering untuk merancang berbagai tool-kit untuk membantu orang mencapai kebenaran, sebagaimana dipahami orang itu. Herdito Santi Pratama lebih menitikberatkan penelaahannya terhadap teori evolusi Darwin pada bidang filsafat. Herdito dengan cemerlang mampu mengupayakan gagasan segar mengenai hakikat manusia.Baginya,hakikat (nature) manusia yang disajikan ilmu pengetahuan adalah keterangan deskriptif (apa adanya) mengenai manusia.
Tidak dimaksudkan sebagai sebuah kondisi semestinya yang normatif. Mengutip semboyan Royal Society ”Nullius in Verba”, ”tidak berdasar kata-kata siapa pun”. Sedangkan Saraswati Dewi menyibak tabir cinta,di mana evolusi ini memengaruhi bagaimana manusia memahami kebudayaan dan makna-makna di dalam hidupnya. Dengan pendekatan filsafat, biologi, dan kebudayaan yang cukup mendalam buku ini menjadi semakin utuh dalam membedah Darwinisme.
Dengan membaca buku ini, kita akan lebih mengenal sosok Charles Darwin beserta ragam pemikiran unik yang telah ditelurkannya. Lebih dari itu, melalui buku ini juga kita punya peluang sebesar mungkin untuk mendiskusikan kebenaran yang dikandung dalam rahim evolusi. (*)
Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga,Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar