Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Selasa, 28 Juli 2009
Utang dan Korupsi
KONTAN, Senin, 6 Juli 2009
Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute.
Persoalan korupsi bermulanya dari dana pinjaman luar negeri (utang)
Sudah saatnya pemerintah berani menjadwalkan kembali dan menegoisasikan penghapusan utang luar negeri
Persoalan utang luar negeri kembali menjadi perbincangan hangat di tengah semakin panasnya suhu politik menjelang pilpres 8 Juli. Bahkan, isu tingginya utang Indonesia menjadi bola liar yang siap menghantam salah satu calon presiden alias capres.
Soalnya salah satu capres selalu menyatakan, bahwa Indonesia sudah tak mempunyai utang pada Dana Moneter Internasional (IMF). Ia tidak jujur, bahwasanya bangsa ini punya utang yang lebih besar daripada utang kepada IMF.
Bermula dari utang
Berdasarkan kajian Komite Penghapusan Utang Negara Dunia Ketiga alias Committee for Abolition Third World Debt, Koalisi Anti Utang (KAU) menyebutkan, pada 2007 utang jangka panjang Indonesia sudah mencapai US$67 miliar. Angka itu hanya terpaut sedikit di bawah Meksiko, Brasil, dan Turki.
Data Departemen Keuangan (Depkeu) menunjukkan, total utang pemerintah Indonesia hingga 29 Mei 2009 mencapai Rp. 1.700 triliun. Jumlah itu meningkat Rp. 64 triliun hanya dalam tempo lima bulan jika dibandingkan dengan utang pada akhir 2008 yang Rp. 1.636 triliun. Besarnya tingkat utang menyebabkan setiap penduduk Indonesia saat ini menanggung beban utang Rp. 7 juta
Lebih dari itu, besarnya pembayaran utang yang harus digelontor setiap tahun hampir sama dengan tiga kali anggaran pendidikan, 11 kali anggaran kesehatan, dan 33 kali dari anggaran perumahan dan fasilitas umum. Dengan demikian, utang sangat membebani bangsa Indonesia.
Mengapa bangsa ini tidak dapat lepas dari belenggu utang? Dalam sejarah, pemaksaan terhadap kepentingan modal menjadi agenda kaum imperialis. Ketika bangsa Indonesia sudah "merdeka" dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, dominasi kaum imperialis melalui neokolonialisme sangat kentara di Indonesia. Contohnya, ketika perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB).
KMB menjadi ajang kaum neokolonialisme menanamkan penjajahan baru di Bumi Nusantara. Dalam perjanjian ini, bangsa Indonesia dipaksa untuk menandatangai kesepakatan yang timpang dan merugikan. Lihat saja, utang-utang pemerintahan Hindia Belanda dengan penguasa di Eropa menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia untuk membayarnya. Demikian juga, segala kerugian yang diakibatkan oleh agresi militer Indonesia I dan II. Beban tanggungan biaya dan utang ada di tangan Pemerintahan Indonesia. Sungguh hal yang tidak logis. Sudah dijajah dibebani utang (Baswier 2006).
Ironisnya, dalam kajian Chris Wangkay, hampir 30 persen hasil utang dikorupsi oleh pejabat Orde Baru. Lebih dari itu, perilaku ini diketahui oleh lembaga pemberi dana internasional, seperti IMF, IGGI, Word Bank, dan seterusnya.
Jadi, persoalan korupsi di Indonesia pada mulanya berasal dari dana pinjaman luar negeri (utang). Pemerintah dengan sengaja membuat angka defisit dalam setiap penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) guna mendapatkan kucuran dana dari negara dan lembaga donor.
Keadaan ini dimanfaatkan oleh negara donor untuk mendikte setiap persoalan dan penanganan oleh pemerintah Indonesia. Maka tidak aneh, jika banyak kebijakan pemerintah terkesan tidak merakyat. Hal ini terjadi karena adanya dominasi kepentingan pihak asing terhadap bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bak kelinci percobaan dan kambing dungu yang siap didekte oleh sekian kepentingan yang menyengsarakan dan memiskinkan.
Maka, sudah saatnya pemerintah berani menjadwalkan kembali dan menegoisasikan penghapusan utang luar negeri. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh pemimpin yang tegas. Ketegasan dan keberanian menjadi kata kunci dalam program penyelamatan bangsa ini. Keraguan dalam mengambil keputusan hanya akan semakin menambah beban penderitaan rakyat.
Selain itu, pemerintah juga sudah saatnya berani meninjau kembali kontrak karya dengan asing. Penguasaan sumber daya alam untuk kemakmuran bangsa lebih berharga daripada selalu mengemis kepada negara donor. Pada akhirnya, Indonesia akan bebas dari ketergantungan utang yang menjadi sumber kerusakan dan kehancuran bangsa (korupsi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar