Search

Selasa, 28 Juli 2009

Bebaskan Kampus dari Kepulan Asap Rokok



Oleh Benni Setiawan
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Harian Jogja, Rabu Legi, 22 Juli 2009

“Merokok dapat merugikan kesehatan, serangan jantung, kanker, impotensi dan gangguan pada janin”. Begitulah peringatan yang selama ini ada di dalam bungkus rokok. Namun, sejauh ini jumlah perokok semakin meningkat, bahkan, anggaran untuk membeli rokok lebih besar dari pada membeli koran atau media cetak.
Menurut data Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada tahun 2003 saja, belanja masyarakat Indonesia untuk rokok Rp. 150 triliun per tahun, tetapi belanja surat kabar atau koran hanya Rp. 4,9 triliun. Dengan perbandingan yang sangat jauh ini, masyarakat Indonesia lebih bangga membeli rokok yang membahayakan jiwa dan raganya dari pada membeli koran yang dapat menyehatkan dan mencedaskan jiwa dan raga mereka.

Lebih berbahaya
Berdasarkan data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gapri) volume penjualan rokok di Februari 2009 mencapai 12,2 miliar batang. Padahal, setidaknya rokok telah membunuh 10 juta orang per tahun di seluruh dunia. Lebih banyak dari pada kematian yang disebabkan oleh penyakit malaria, kematian ibu hamil dan melahirkan, infeksi pada anak-anak dan diare.
Ironisnya, lebih dari separo kematian ini menimpa mereka yang berumur 30-69 tahun, yang kehilangan sekitar 25 tahun dari harapan hidup mereka. Rokok juga telah membunuh 100 juta orang pada abad ke-20, yang sebagian besar di negara maju. Pada abad ke-21 ini rokok akan membunuh 1 miliar orang, terutama di negara-negara berkembang. Sebanyak 150-180 juta kematian akibat rokok dapat dicegah sebelum tahun 2050 jika proporsi orang dewasa di negara-negara berkembang yang berhenti merokok ditingkatkan dari 5 persen saat ini menjadi 30-40 persen sebelum tahun 2020 (seperti yang terdapat di Kanada saat ini). (Prabhat Jha, Koran Tempo, 29 Januari 2008).
Pembatasan jumlah produksi rokok juga penting. Artinya, kebijakan World Health Organization (WHO) yang akan membatasi produksi rokok setiap negara maksimal 260 miliar batang setahun mulai tahun 2020 sudah saatnya kita dukung, kalau perlu dipercepat.
Di Indonesia, menurut data Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA), setidaknya 427.948 orang meninggal setiap tahun akibat rokok. Lebih dari itu, menurut data survei pada tahun 2006, 57 persen atau separoh lebih rumah tangga di Indonesia memiliki perokok aktif. Sedangkan jumlah perokok pasif 97,5 juta jiwa atau hampir separoh jumlah penduduk Indonesia, di antaranya 65,8 juta adalah perempuan dan anak-anak.
Menganggu iklim akademis
Ironisnya, perokok aktif adalah para mahasiswa. Mereka merokok di lorong dan pojok kampus. Bahkan di ruang berpendingin ruangan (AC) pun mereka merokok. ”Pahit rasanya jika tidak merokok”, gumam mereka.
Lebih dari itu, kampus menjadi kotor, karena puntung rokok tidak dibuang pada tempatnya. Petugas kebersihan kampus pun harus hilir mudik membersihkan kotoran rokok yang tidak kunjung habis, karena ada saja mahasiswa perokok hingga pintu gerbang kampus ditutup.
Kampus bak lokomotif kereta api yang mengeluarkan asap mengepul. Pojok dan lorong kampus tidak lagi sehat. Hal ini karena, asap rokok telah mengepung ruang udara sehat di kampus. Kumpulan mahasiswa tidak sah apabila tanpa asap rokok.
Tentunya hal ini sangat menganggu iklim akademis. Kampus bukanlah tempat untuk merokok. Kampus merupakan sarana untuk meningkatkan kapasitas intelektual seseorang. Membaca, diskusi, dan membangun jaringan merupakan salah satu fungsi kampus. Ketika asap rokok sudah memenuhi ruang gerak civitas akademika kampus, maka yang ada adalah kampus menjadi salah satu penyumbang ”kematian” generasi muda bangsa.

Bertahap
Oleh karenanya, sudah saatnya kampus difungsikan sebagaimana fungsinya. Kampus harus steril dari asap rokok. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi kepulan asap rokok di kampus adalah: Pertama, keberanian pihak rektorat dan jajarannya melarang merokok di kampus. Larangan merokok di kampus ini dapat disosialisasikan saat orientasi mahasiswa baru, melalui papan-papan pengumuman, atau dimasukan dalam kode etik mahasiswa.
Larangan merokok ini juga dapat dilakukan bertahap. Seperti memperbanyak ruang yang bertuliskan ”kawasan tanpa asap rokok” di awal tahun dan menyediakan tempat khusus di kampus bagi perokok di tahun berikutnya. Penerapan kebijakan yang bertahap akan dapat mengurangi resistensi dari aktivis gerakan mahasiswa.
Kedua, keteladanan dosen. Larangan merokok di kampus tentunya bukan hanya bagi mahasiswa, melainkan juga bagi dosen. Keteladanan dosen untuk tidak merokok di kampus tentunya akan semakin mendukung program kampus bebas asap rokok. Tidak ada artinya jika, mahasiswa dilarang merokok, di sisi lain, dosen bebas menghisap rokok di ruang dosen atau ruang kampus lain.
Kampus merupakan bagian dari sarana umum. Maka, melarang merokok di kampus sesuai dengan rekomendasi (fatwa) Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Sidang Ijma’ Ulama Fatwa III MUI di Padang Panjang 24-26 Januari 2009 lalu.
Rokok adalah pembunuh nyata yang patut kita waspadai. Artinya, mengajak dan mendidik masyarakat agar menghentikan pekerjaan sia-sia itu adalah kata kuncinya.
Sudah saatnya manusia Indonesia dapat bertahan hidup selama lebih dari satu abad (100 tahun). Hal ini sesuai dengan penelitian Robert Butler dalam Biogenetic Maximum Life Span sebagaimana dikutip Hendrawan Nadesul. Robert Butler menyatakan bahwa secara biologis umur manusia dapat diulur hingga 120 tahun. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah dengan hidup sehat, yaitu tidak merokok. Maka matikan rokok Anda sekarang, sebelum rokok mematikan Anda. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar