Search

Jumat, 03 Juli 2009

"Anarkisme” Iklan Politik Capres




Surabaya Post, Jumat, 3 Juli 2009.
Oleh Benni Setiawan
Peneliti Lembaga Ma’rifat Indonesia

Gong pemilu presiden (pilpres) 2009 sudah ditabuh. Partai politik (parpol), gabungan parpol pengusung capres dan cawapres, serta pasangan capres dan cawapres sudah mulai kampanye. Mereka memasang wajah ramah, penuh senyum, dan optimistis dapat menang pada pilpres kedua secara langsung di era reformasi ini. Namun, dari wajah manis yang terpampang di sepanjang jalan, mereka sepertinya tidak memerhatikan etika berpolitik. Mereka main pasang gambar, yang pada gilirannya menganggu kenyamanan publik.

Jika setiap capres dan cawapres yang berjumlah tiga pasang mencetak 1.000 poster saja di setiap kabupaten dan kota di Jawa Timur, totalnya ada 38.000 poster. Jika satu poster pajangnya 50 cm saja, ketika berjejer urutan panjangnya bisa mencapai 19.000 kilometer. Seberapa panjang itu? Bandingkan saja, bentangan jarak dari Sabang di Aceh sampai Merauke di Papua hanya 5.000 kilometer. Artinya, bentangan poster itu mencapai 3,8 kali jarak dari ujung ke ujung negeri ini.

Bisa dibayangkan betapa sumpeknya ruang kota dan desa jika dipenuhi gambar-gambar capres tersebut. Mungkin ruang hijau dan indahnya tata kota akan hilang karena tertutupi wajah manis bak selebritis yang sedang naik daun.

Lebih dari itu, selain selain memperburuk tata kota, iklan politik capres telah merusak lingkungan. Hal ini karena, banyak caleg memasang poster, baliho dan spanduknya dengan cara memaku di batang-batang pohon. Tentunya hal ini akan menyakitkan pohon dan akan mematikan tanaman tersebut.

Padahal, menurut Undang-undang No 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam, merusak alam atau ekosistem pohon dengan sengaja dapat dijerat dengan denda dan hukum pidana, tergantung tingkat kerusakan yang ditimbulkan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ketika sekarang capres sudah mengabaikan etika dalam memasang dan menyosialisasikan dirinya dengan semakin memperburuk tata kota dan merusak alam, apakah ia kelak akan mematuhi etika politik atau peduli dengan rakyatnya?

Ada sebuah teori yang patut direnungkan capres maupun pengurus parpol ikhwal etika politik. Hakikat etika merupakan refleksi filosofis tentang moral. Etika merupakan wacana normatif, tetapi tidak harus imperatif karena bisa juga hipotesis, yang membicarakan pertentangan antara yang baik dan yang buruk, yang dianggap sebagai nilai relatif.

Untuk mudahnya. Etika itu ingin menjawab pertanyaan, “bagaimana hidup yang baik?” Oleh karena itu etika lebih dipandang sebagai seni hidup yang mengarah kepada kebahagiaan dan memuncak kepada kebajikan. Jadi etika politik mustinya menjawab, “bagaimana kehidupan politik yang lebih baik?” (“Refleksi”, Joglosemar, 13/12/2008).

Apa yang kita saksikan saat ini, menunjukkan betapa etika iklan politik capres jauh dari ideal—kalau tidak mau disebut tidak beretika. Capres dengan sengaja memasang gambarnya untuk memperkenalkan diri dan membujuk masyarakat untuk memilihnya. Namun, apa yang terjadi, mereka tidak memedulikan etika keindahan tata kota dan kehidupan tumbuhan sebagai bagian dari makhluk hidup.

Lebih dari itu, strategi memasang gambar capres, menurut beberapa pakar tidak akan banyak membantu memperoleh suara pada pada pilpres 2009. Hal ini karena, capres beriklan secara monoton dan membosankan.

Model iklan seperti itu juga terlalu boros. Jika satu poster dihargai dengan Rp. 40.000,- pasangan capres dan cawapres akan menghabiskan Rp. 40 juta hanya untuk membuat poster dengan asumsi mencetak 1.000 buah. Sebuah angka yang tidak sedikit. Uang sebanyak itu, dapat dipergunakan untuk membangun dua buah ruang kelas untuk pendidikan anak bangsa.

Namun, sepertinya, capres tidak memedulikan hal itu. Capres sepertinya ingin menunjukkan keakuannya sebagai calon pemimpin. Mereka tidak peduli seberapa banyak uang yang dikeluarkan, yang penting pada pilpres 2009 dapat terpilih.

Perilaku “pokoke” inilah yang akan menyuburkan korupsi di Indonesia. Korupsi akan dipandang sebagai sebuah hal yang biasa, karena mereka merasa telah mengeluarkan banyak biaya saat pencalonan dahulu.

Inilah kekhawatiran masyarakat melihat fenomena iklan politik capres. Iklan politik yang mengarah pada anarkisme ini akan semakin memperburuk pemimpin bangsa. Masyarakat akan muak melihat wajah-wajah calon pemimpin bangsa yang terpampang di pinggir-pinggir jalan. Hal ini karena, masyarakat sekarang sudah melek politik. Mereka sering beranggapan bahwa nasibnya akan sama saja ketika capres tersebut duduk memimpin bangsa ini. Capres tidak akan mampu menolong meringankan penderitaan rakyat. Capres hanya akan memperkaya diri di tengah kemiskinan rakyat Indonesia.

Pada akhirnya, ketika capres sekarang sudah berani kampanye (iklan) dengan melanggar UU dan semakin memperburuk tata kota, maka sulit diharapkan mereka mampu mengembang amanat rakyat ketika menjadi pemimpin. Mereka akan melakukan apa saja untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat kampanye. Dan mungkin benar apa yang pernah dikatakan oleh Jason Jones dan Shân Wareing, “bagaimana caranya agar kita tahu kapan politisi berbohong? Jawabnya setiap kali mereka berbohong, mereka selalu menggerakkan bibir mereka”. Mereka akan selalu berbohong untuk kepentingan diri sendiri dan golongannya. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar