Search

Senin, 26 Oktober 2009

Meneropong Masa Depan Demokrasi




Resensi, Seputar Indonesia, Minggu 25, Oktober 2009

SEJAK 20 Oktober lalu, bangsa Indonesia mempunyai pemimpin baru. Mereka adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden dan Boediono sebagai wakil presiden.

Kelengkapan susunan pembantu presiden (menteri) dalam Kabinet Indonesia Bersatu II pun telah diumumkan ke publik dan dilantik.Walaupun diwarnai pro dan kontra,ada baiknya kita menunggu kerja mereka. Selain susunan jajaran eksekutif yang telah rampung, kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun terbentuk.

Mulai dari pimpinan Dewan,pimpinan komisi, Badan Kehormatan (BK), Badan Legislasi, dan Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP). Mereka adalah pemimpin bangsa yang akan membawa masa depan republik ini, setidaknya dalam lima tahun ke depan.Mereka pun akan menjadi warna dalam proses demokratisasi di Indonesia.Proses demokratisasi inilah yang akan mengantarkan bangsa ini menuju kemakmuran atau keterpurukan.

Seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab (amanat) untuk menjadikan bangsa ini adil, makmur, dan sejahtera. Ketika ketiga hal tersebut tidak mampu dijalankan, maka, keterpurukan menjadi ancaman serius bagi bangsa ini. Hal tersebut setidaknya tercermin dari buku Kepemimpinan Nasional, Demokratisasi, dan Tantangan Globalisasi yang mengetengahkan pandangan ilmuwan politik dalam proses demokratisasi Indonesia dan juga sekaligus menilik masa depan Nusantara.

Buku ini terdiri dari sebelas bab yang terbagi dalam empat bagian.Bagian pertama memuat globalisasi dan masalah kepemimpinan nasional.Dalam bagian ini tiga ilmuwan politik Indonesia (Revrisond Baswir,Riwanto Tirtosudarmo, dan Ninok Leksono,memberikan penekanan pada arti penting seorang pemimpin bagi bangsa Indonesia. Seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab mengantarkan bangsa Indonesia pada sebuah kemakmuran.

Kemakmuran hanya dapat dicapai jika pemimpin bangsa memiliki semangat kemandirian. Artinya, mereka tidak bergantung kepada bantuan asing Namun, mampu mengoptimalkan segala potensi bangsa Indonesia untuk kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Bagian kedua mengetengahkan Pemilu 2009, keterwakilan politik dan konsolidasi demokrasi.

Tiga ilmuwan politik (Tommi A Legowo, Agust Riewanto, dan Moch. Nurhasim) berhasil memotret proses demokratisasi Indonesia yang tercermin dari hasil Pemilu 2009. Mereka juga memberi catatan kritis terhadap permasalahan keterwakilan politik baik keterwakilan perempuan di parlemen maupun partai politik di parlemen dan kabinet. Tommi A Legowo misalnya mencatat bahwa Pemilu 2009 belum mampu membuahkan perubahan besar dalam masyarakat.

Ia menilai perubahan dalam tata aturan pemilu yang tertuang dalam UU No 10/2008 hanya memberi jalan bagi pelanggengan kehadiran partai-partai besar dan menengah yang telah eksis sejak Pemilu 2004 di DPR RI. Senada dengan Tommi, Moch Nurhasim menengarai terpilihnya artis Ibu Kota menjadi anggota DPR akan berpengaruh pada mutu dan kinerja parlemen lima tahun mendatang.

Salah satu penyebabnya,mereka kurang memiliki keahlian dan pengalaman politik, apalagi, sebagian besar orang-orang yang sudah memiliki pengalaman politik di DPR justru harus hengkang dari Senayan. Hal ini merupakan dampak dari diberlakukannya sistem suara terbanyak sebagai salah satu mekanisme dalam menentukan calon terpilih.

Referensi pemilih yang terbatas, sebagian besar bahkan kebingungan dalam menentukan pilihan karena minimnya sosialisasi dan pendekatan yang dilakukan oleh calon menyebabkan pilihan-pilihan mereka belum sepenuhnya didasarkan pada syarat-syarat kemampuan politik,hanya relatif pada syarat kepopuleran.

Tentu hal ini akan memengaruhi kualitas demokrasi kita di masa mendatang (halaman 197). Bagian ketiga membahas tentang pilkada langsung dan kepemimpinan lokal. Tiga ilmuwan politik (Syarif Hidayat,Abdul Kholiq Azhari, dan Achmad Herman) menyatakan bahwa era pemilihan kepala daerah langsung setidaknya telah memengaruhi cara pandang masyarakat dalam berdemokrasi.

Pilkada sering kali dijadikan ajang pembuktian diri bagi elite lokal dalam berkompetisi meraih kekuasaan sehingga hasil pilkada sering kali berbuah kerusuhan, disharmoni, dan menghasilkan pemimpin ”cap uang”.Artinya,pilihan masyarakat terhadap calon pemimpinnya bukan didasarkan pada kualitas individu yang mumpuni Namun, hanya seberapa banyak calon bupati/wakil bupati memberikan uang kepada calon pemilih.

Pada bagian keempat diketengahkan pembanding dari dua negara di Asia, yaitu Malaysia dan India. Isbodroini Suyanto menganggap Malaysia sebagai negara yang tanggap dalam menghadapi perubahan global. Malaysia memiliki pemimpin yang visioner sehingga negaranya mampu bangkit dari krisis multidimensional. (*)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga,Yogyakarta

1 komentar:

Anonim mengatakan...

di fesbuk juga ada nih bro forum bebas bicara, tkp-nya di page http://www.facebook.com/pages/Swara-Indonesia/163029012116

klo ada waktu silahkan main2 ke sana, sekedar obrolan warung kopi, sentil sana sini hehehe

sambil di suggest-in ke teman2 yg lain juga boleh kok

Posting Komentar