Surya, Jumat, 23 Oktober 2009
Benni Setiawan
Mahasiswa Pascasarjana, sedang riset ihwal poligami
Poligami merupakan kejahatan melawan kemanusiaan (crime againt humanity) dan pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Poligami juga perbuatan haram li qairi (haram karena eksesnya).
Harian Surya edisi 20 Oktober 2009 lalu menurunkan berita utama “Ibu-ibu Deklarasikan Klub Poligami”. Ini menarik untuk ditilik lebih lanjut. Poligami konon menjadi obat mujarab untuk mencegah selingkuh dan akan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini didasarkan pada asumsi, perempuan yang dipoligami akan menderita.
Penderitaan itu akan memudahkan dirinya mendekat kepada Allah. Bahkan, yang cukup mencengangkan, masyarakat poligami Indonesia (Mapolin), tidak mensyaratkan pembatasan istri sebagaimana dalam Qur’an. Sungguh pemikiran yang perlu dibuktikan lebih lanjut.
Artikel ini akan mencoba mengulas perihal poligami dalam perspektif Islam. Asghar Ali Engineer (2003) merujuk surat an-Nisa 4:3, menjelaskan, al-Qur’an “enggan” menerima institusi poligami. Hal ini didasarkan pada lima prinsip perkawinan.
Pertama, kebebasan dalam memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak melanggar kententuan syari’ah. Kedua, prinsip mawaddah warahmah (cinta kasih). Ketiga, prinsip saling melengkapi dan melindungi. Keempat, prinsip mu’asyarah bil ma’ruf (pergaulan yang sopan dan santun). Kelima, prinsip monogami.
Debat poligami dalam Islam memang tidak lepas dari penafsiran surat an-Nisa’ 4:3. Ayat ini seringkali dijadikan dasar bahwa Islam membenarkan poligami. Namun, jika kita menilik lebih lanjut, pada dasarnya Islam sangat menentang poligami. Pasalnya, syarat yang diajukan dalam ayat ini sangat berat. Yaitu harus mampu berbuat adil.
Selama ini kata adil dalam masyarakat (pendukung poligami), diartikan secara kuantitatif. Yaitu bagaimana membagi nafkah harta, membagi hari, dan seterusnya. Masih belum ada untuk menyatakan tidak ada pemahaman adil dalam perspektif kualitatif.
Syafiq Hasyim (2001) berpendapat, keadilan yang dikemukakan oleh paera ahli fiqh cenderung bersifat kuantitatif, yang sebenarnya lebih tepat untuk kata al-qists. Keadilan kuantitatif ini tampak dalam aturan-aturan fiqh mengenai poligami, misalnya tentang pembagian rizki secara merata di antara istri-istri yang dikawini, pembagian jatah harian (giliran), dan sebagainya.
Ahli fiqh tidak memerhatikan aspek kualitatif yang justru sangat menentukan. Misalnya, rasa cinta, tidak pilih kasih, memihak, dan sebagainya. Padahal keadilan kualitatif yang seharusnya menjadi prioritas. Dia juga menegaskan, orang yang bisa mencapai keadilan kuantitatif belum tentu bisa mencapai keadilan kualitatif.
Lebih lanjut, keadilan merupakan pilar utama dalam perkawinan, apapun polanya, baik monogami ataupun poligami. Tetapi, prinsip keadilan dalam perkawinan poligami harus lebih tegas diutarakan, karena menyangkut jumlah istri yang lebih dari satu.
Muhammad Abduh menggarisbawahi, maksud keadilan dalam perkawinan bersifat kualitatif atau hakiki. Seperti curahan kasih sayang, cinta, dan perhatian yang sulit diukur dengan angka. Hal ini sesuai dengan makna ‘adalah yang dikandung dalam al-Qur’an yang bersifat lebih kualitatif.
Sementara ulama fiqh lain menafsirkan keadilan cenderung bersifat kuantitatif. Misalnya dalam pembagian rizki atau nafkah, pembagian jatah atau gilir, dan sebagainya (Siti Musdah Mulia dan Anik Farida: 2007).
Dengan demikian, amatlah sulit bagi seorang laki-laki berbuat adil dalam konsepsi kualitatif. Alih-alih adil dalam arti kualitatif, seorang laki-laki seringkali tidak mampu berbuat adil dalam konsepsi kuantitatif.
Lebih dari itu poligami seringkali meninggalkan duka bagi perempuan. Perempuan tidak berdaya dengan keadaan psikologis dan sosiologisnya. Sebagaimana terjadi baru-baru ini di Jakarta.
Retmiyanti, 27, dibunuh suaminya, Marsan alias Macong, 35, di Jalan Flamboyan RT 12 RW 08 Kelurahan Cengkareng Barat, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, Senin lalu.
Sehari sebelumnya, Retmiyanti babak belur dihajar oleh Marsan. Akibat pukulan Marsan, mata kiri Retmiyanti lebam, leher memar, dan kedua betis membiru serta membengkak (Kompas, 01 Juli 2009).
Retmiyanti merupakan istri muda dengan tiga anak. Ia seringkali dipaksa bekerja oleh Marsan. Ia dipaksa melacur oleh Marsan di tempat karaoke dekat lokalisasi Dadap, Kabupaten Tangerang.
Bahkan anak Retmiyanti dari hasil perkawinan pertamanya, dijual oleh Marsan (Kompas, 30 Juni 2009). Inilah secuil realitas poligami di bumi Nusantara.
Pencegahan poligami dapat menyelamatkan harkat dan martabat perempuan. Perempuan merupakan makhluk mandiri yang wajib dihormati hak-haknya. Pembenaran teks keagamaan untuk mensubordinasi kaum perempuan tidak dibenarkan dalam Islam.
Islam tidak membenarkan adanya semua bentuk perkawinan yang di dalamnya ditemukan unsur-unsur kezaliman, kekerasan, ketidakadilan, pelecehan seksual, pemaksaan dan penindasan (Siti Musdah Mulia: 2004).
Maka dari itu, sudah saatnya kaum intelektual dan “penafsir” teks keagamaan berani menyatakan melarang poligami. Sebagaimana pendapat Siti Musdah Mulia, poligami merupakan kejahatan kemanusiaan (crime againt humanity) dan pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Lebih lanjut ia menyatakan poligami sebagai perbuatan haram li qairi (haram karena eksesnya).
Pada akhirnya, jika tetap memaksakan poligami, ada baiknya menyimak pandangan Muhammad Shahrur (2004). Shahrur mensyaratkan dua hal utama jika tetap ingin poligami. Pertama, syarat istri kedua, ketiga, dan keempat adalah janda mempunyai anak yatim.
Kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak yatim. Surat perintah poligami akan gugur ketika tidak terdapat syarat-syarat di atas. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar