Search

Sabtu, 01 Desember 2007

Selamatkan Hutan Indonesia

Selamatkan Hutan Indonesia
Surya, Saturday, 01 December 2007
Persoalan yang dihadapi masyarakat sekarang adalah akibat rusaknya hutan, banjir dan tanah longsor menjadi menu harian masyarakat yang harus dihadapi. Harta benda hilang dalam waktu singkat akibat bencana alam ini.

Kerusakan hutan di Indonesia sudah saatnya dipandang jernih oleh semua pihak. Artinya, masyarakat harus sadar bahwa hutan Indonesia sudah rusak. Maka dari itu harus ada upaya nyata dalam menyelamatkannya. Jika tidak, kehancuran hutan akan mengancam ekosistem alam lain.

Hutan adalah paru-paru dunia. Terdapat banyak makhluk hidup, makan, minum dan mempertahankan keturunannya di dalamnya. Hutan juga sangat bermanfaat untuk menahan laju air hujan. Air hujan di simpan dalam akar dan tanah oleh pohon yang ada di dalam hutan. Ketika hutan gundul, maka tak pelak lagi bencana mengancam. Sebagaimana terjadi di Indonesia saat ini. Bencana alam mulai dari banjir, tanah longsor masih saja terjadi hingga saat ini.

Pertanyaannya, benarkan hutan Indonesia sudah rusak? Menurut data dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau FAO menyebutkan bahwa laju penghancuran (deforestasi) hutan di Indonesia tahun 2002-2005 merupakan terbesar dan terparah di dunia. Setiap tahun menurut FAO rata-rata 1,871 juta hektar hutan Indonesia hancur atau 2 persen dari luas hutan yang tersisa pada tahun 2005, yakni 88,495 juta hektar.
Pernyataan FAO tersebut di atas sempat membuat Departemen Luar Negeri gerah. Deplu mensinyalir ada kesengajaan berdasarkan data tersebut, Indonesia di pojokkan dalam percaturan atau hubungan internasional.

Data yang dikeluarkan oleh FAO menurut Kepala Pusat Perpetaan Departemen Kehutan, Hernawan Indra tidak valid. Menurutnya, data yang dimiliki FAO adalah data tahun 1985-1997.
Adapun berdasarkan periode pemetaan hutan tahun 2000-2005 angka deforestasi hutan Indonesia sudah turun menjadi 1,18 juta hektar.

Sedangkan pada tahun 1997-2000, angka deforestasi meningkat 2,83 juta hektar karena euforia reformasi yang menyebabkan pembabatan hutan secara besar-besaran. Lebih lanjut, luas hutan Indonesia adalah 120 juta hektar bukan 88,495 juta hektar. Dengan demikian, laju kerusakan hutan adalah 0,9 persen bukan dua persen.

Berangkat dari kedua data tersebut nampaknya kita tidak boleh larut terjebak pada hitung-hitungan angka. Hitung-hitungan angka hanya akan menjadi wacana yang melangit tanpa mampu menyentuh atmosfer bumi (persoalan yang dihadapi masyarakat sekarang).

Persoalan yang dihadapi masyarakat sekarang adalah akibat rusaknya hutan, banjir dan tanah longsor menjadi menu harian masyarakat yang harus dihadapi. Harta benda hilang dalam waktu singkat akibat bencana alam ini.

Kerusakan hutan di Indonesia sudah saatnya dipandang jernih oleh semua pihak. Artinya, masyarakat harus sadar bahwa hutan Indonesia sudah rusak. Maka dari itu harus ada upaya nyata dalam menyelamatkannya. Jika tidak, kehancuran hutan akan mengancam ekosistem alam lain.

Kerusakan hutan akibat pembakaran juga pernah dilansir oleh www.wikipedia.org. Menurut data dari www.wikipedia.org, menyebutkan bahwa pada 1982 dan 1983: 3,6 juta hektar ( 36.000 km², 8,9 juta acres, 13.900 mile²). 1987: 49.323 hektar ( 492 km², 121.880 acres, 190 mile²). 1991: 118.881 hektar (1.189 km², 293.761 acres, 459 mile²). 1994: 161.798 hektar (1.618 km², 399.812 acres, 625 mile²). 1997 dan 1998: 9,8 juta hektar (97.550 km², 24,1 juta acres, 37.664 mile²). Sumber data dari ADB. 1999: 44.090 hektar (441 km², 108.989 acres, 170 mile² ). 2000: 8.255 hektar (83 km², 20.399 acres, 32 mile²). 2001: 14.351 hektar (144 km², 35.462 acres, 55 mile²). 2002: 36.691 hektar (367 km², 90.665 acres, 142 mile²). 2003: 3.745 hektar ( 37 km², 9.254 acres, 14 mile²). 2004: 13.991 hektar (140 km², 34.573 acres, 54 mile²). 2005: 13.328 hektar (133 km², 32.934 acres, 51 mile²). (Sumber data sebelum 1997 dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) dan Canadian International Development Agency (CIDA) - Collaborative Environmental Project in Indonesia (CEPI). Data 1997/1998 dari Asian Development Bank (ADB). Data 1999-2005 berasal dari Departemen Kehutanan Indonesia].

Berbagai data dan fenomena alam tersebut sudah saatnya dijadikan acuan bagi masyarakat untuk bergerak. Artinya, masyarakat sudah saatnya menyingsingkan lengan baju guna menyelamatkan hutan Indonesia.

Daniel D Chiras (1985), menyatakan bahwa mentalitas frontier sebagai penyebab utama rusaknya alam, hilangnya sinergi dalam masyarakat, merajalelanya korupsi dan nepotisme.
Mentalitas frontier ini dicirikan dengan tiga persepsi utama. Pertama, bumi adalah sumber alam yang tidak terbatas untuk digunakan oleh manusia, dengan premis dasar bahwa selalu ada yang lebih. Kedua, menganggap bahwa manusia bukan bagian dari alam. Ketiga, bahwa alam harus dikuasai.
Mentalitas frontiers sudah saatnya dihentikan. Salah satunya adalah dengan melakukan proses penyadaran, bahwa sumber daya alam bumi terbatas, manusia adalah bagian dari alam dan manusia mempunyai kewajiban untuk melestarikan alam.

Guna mewujudkan hal tersebut di atas beberapa hal yang perlu dilakukan adalah pertama, mengajarkan pendidikan etika lingkungan kepada masyarakat. Pendidikan etika lingkungan adalah upaya nyata manusia untuk sadar bahwa persediaan sumberdaya alam yang dimiliki planet bumi terbatas. Manusia adalah bagian dari alam dan manusia tidak superior terhadap alam. (Maftuchah Yusuf: 2000).

Pengertian tersebut setidaknya memberikan informasi kepada kita, bahwa alam adalah sebuah hal yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari manusia. Artinya, jika alam rusak maka manusia akan binasa. Oleh karena itu, manusia tidak boleh serakah mengeksploitasi alam demi kepentingan sesaat. Alam wajib dilestarikan sebagai sumber penghidupan makhluk hidup lain, termasuk manusia.
Pendidikan etika lingkungan ini harus ditanamkan sejak dini. Artinya, anak usia TK sudah harus diperkenalkan dengan etika lingkungan. Ambil contoh, ketika menebang pohon maka kewajiban manusia adalah menumbuhkan tumbuhan baru. Hal ini guna tetap menjaga ekosistem yang telah ada. Menebang pohon pun harus mendahulukan asas manfaat. Artinya, sekiranya pohon tersebut tidak mengganggu, maka biarkanlah ia hidup

Kedua, peran serta pemerintah dalam menegakkan hukum. Menghukum seberat-beratnya cukong kayu yang menjual hasil hutan Indonesia keluar negeri adalah agenda nyata. Anggapan masyarakat bahwa cukong kayu dilindungi oleh pejabat pemerintah sudah saatnya dibuktikan ketidakbenarannya oleh aparat penegak hukum. Hukum harus tajam kepada siapun. Hukum harus adil. Hal ini dikarenakan salah satu asas hukum adalah keadilan untuk semua. Hukum tidak boleh hanya tajam kepada orang-orang kecil dan tumpul kepada pejabat negara.

Pada akhirnya, peran serta semua pihak untuk menyelamatkan hutan Indonesia adalah kunci utamanya. Tanpa adanya kesadaran arti penting hutan bagi kehidupan makhluk bumi, maka kerusakan bumi akan menjadi hal nyata. Pada akhirnya, manusialah yang paling merugi akibat kerusakan alam.

Benni Setiawan
Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar